Headlines News :
Home » » Memahami Ayat-Ayat Hukum Al-Qur’an

Memahami Ayat-Ayat Hukum Al-Qur’an

Written By MAHA KARYA on Friday, April 23, 2010 | 4/23/2010

Oleh: DR. TGK. H. SYUKRI M. YUSUF, LC. , MA

PARA pakar telah merumuskan bahwa yang dimaksud dengan ayat hukum ialah ayat-ayat al-Quran yang berisi tentang khithab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu) atau takhyir (kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu). Oleh Ibn Jazzi al-Kalbi (741-792 H) ayat-ayat hukum diformulasikan sebagai ayat-ayat al-Quran yang berisikan rangkaian perintah dan larangan, atau masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Dengan kata lain, ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat al-Quran yang berisikan tentang masalah-masalah hukum.

Sementara Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan umat manusia, baik secara individual maupun sosial, maka ayat-ayat hukum merupakan bagian dari petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al-Qur’an. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar “ (QS. Ai-Isra’: 9).

Untuk mengambil petunjuk dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman yang benar terhadap makna dan pesan yang dikandungnya. Namun memahaminya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan sebab Al-Qur’an selain berbahasa Arab juga memakai gaya bahasa dan sastra Arab yang tinggi yang benar-benar indah dan merdu (badi’ dan baligh), yang tidak mungkin dapat dipahami dengan baik kecuali dengan penguasaan bahasa Arab dan tata bahasanya, ilmu balaghah dan sastra Arab Jahiliyah.

Selain itu, banyak ayat Al-Quran yang sulit dipahami secara konkret karena sebagian ayat-ayatnya, selain mengandung kalimat-kalimat yang bersifat umum, juga mengusung makna ganda sehingga harus mendapatkan penjelasan berdasarkan riwayat dari Rasul SAW sebagaimana yang dikemukakan oleh para sahabatnya. Oleh karenanya, seseorang yang ingin melakukan istinbath hukum dari ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dituntut untuk memenuhi beberapa persyaratan dan memakai metode dan kaedah yang tepat dan benar.

Karakteristik ayat-ayat hukum
Ayat-ayat hukum dapat dibedakan dalam dua kategori. Pertama, ayat-ayat yang bersifat qath’iyah. Ayat-ayat ini tidak dapat berubah hukumnya dalam berbagai keadaan, situasi, kondisi, zaman, tempat dan waktu. Artinya tidak boleh ada intervensi akal dan fikiran manusia dalam merumuskan hukum-hukumnya, akan tetapi hukum-hukumnya berlaku sejak ayat-ayat itu diturunkan sampai berakhir kehidupan di atas permukaan bumi ini, dan tidak akan pernah mengalami perubahan. Para mujtahid tidak diberi wewenang untuk melakukan ijtihad dalam bidang ini, baik dengan melakukan penafsiran, pensyarahan maupun membuat penakwilan yang berbeda dengan tekstual ayat. Penunjukannya terhadap hukum tertentu dengan sangat detail, jelas dan tidak memiliki penafsiran ganda, seperti halnya ayat-ayat tentang ibadah, mawaris, hudud dan qishash.

Kategori kedua, ayat-ayat yang bersifat dhanniyah. Ayat-ayat ini dapat berubah hukumnya sesuai dengan perubahan keadaan, ‘uruf, zaman dan tempat. Artinya para mujtahidnya diperkenankan mengintervensi dalam memformulasi hukum-hukum yang dikandungnya sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tempat, waktu dan keadaan. Penunjukannya terhadap hukum tidak mendetail, akan tetapi memuat norma dasar yang bersifat global, sehingga memiliki penafsiran ganda.


Kedua, jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit. Diperkirakan jumlah ayat hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam Ahkam al-Quran Ibn al-Arabi. Sedangkan menurut penghitungan Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnya sekitar 228 ayat. Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari perbedaan jumlah ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu, namun yang jelas ada semacam kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat hukum tidak lebih dari 500 ayat.

Ketiga, menggunakan bahasa hukum yang luas, luwes, lugas dan akurat. Luas, karena al-Quran hampir atau bahkan selalu menampilkan kosa kata pilihan yang bersifat substansial universal (jawami’ al-kalim). Luwes, karena ayat-ayat hukum dalam al-Quran memiliki banyak makna (musytarak) di samping kaya dengan sinonim (muradif) tetapi bukan berarti ayat hukum al-Quran tidak memiliki kata yang bersifat pemutus.

Dengan bahasa hukum yang singkat dan akurat, tetapi luas dan luwes, pada satu pihak menyebabkan ayat-ayat hukum Al-Quran mampu menjangkau persoalan-persoalan hukum sejenis, sementara pada pihak yang lain, juga mudah beradaptasi yang menyebabkan hukum Al-Quran tetap dianamis. Di sinilah letak elastisitas hukum Al-Quran yang selalu sesuai dengan tuntutan zaman.

Seiring dengan hal itu fitrah manusia yang memiliki naluri untuk berfikir (berijtihad) tidak terhambat. Seterusnya pintu ijtihad untuk mengembangkan kreatifitas nalar manusia (mujtahid) dalam bidang hukum terbuka lebar tidak pernah ditutup. Ijtihad dipandang mampu untuk menjawab dinamika umat Islam masa kini dan akan datang yang terus berkembang. Adalah tidak mungkin masyarakat terus berubah dengan segala persoalan yang semakin kompleks, namun hukum Islamnya tetap dan tidak berubah.

Karena itu al-Quran dalam banyak ayatnya mengajak umat manusia untuk berfikir dan mengambil pelajaran. Sebagai contoh, dalam surat Ibrahim ayat 52 Allah menyatakan: “(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”.

Merujuk kepada pemahaman para shahabat
Para shahabat ra adalah generasi yang tumbuh bersama Al-Quran, hidup di bawah naungannya, menikmati ayat-ayatnya, selalu berinteraksi dengan nash-nashnya dan memahami petunjuk-petunjuknya. Mereka disinari oleh cahaya Al-Quran, sehingga mereka menjadi generasi Qurani yang unik.

Menelaah bagaimana mereka merealisasikan Al-Quran dalam kehidupannya membantu kita untuk dapat meneladani dan menempuh jalan yang pernah mereka tempuh. Dengan demikian, untuk memahami ayat-ayat hukum kita harus merujuk kepada yang dipahami oleh para salafus shalih terutama pemahaman para shahabat. Hal ini dikarenakan mereka lebih ahli dibanding profesor Al-Quran terpintar saat ini sekalipun, karena mereka mendapat petunjuk langsung dari Rasulullah saw dan mengetahui asbabun nuzul ayat.

Adalah suatu hal yang mustahil untuk memahami suatu ayat tanpa mengetahui latar belakang dan konteks historis ayat tersebut, kapan turunnya, dan bagaimana keadaan waktu itu. Apalagi ayat-ayat yang berkenaan dengan pensyariatan suatu hukum yang secara terus menerus perlu diistimbathkan dari ayat tersebut.

Strategi memahami ayat-ayat hukum
Pertama, tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu. Al-Qur’an mengajak manusia untuk tidak mengikuti secara buta kepada kepercayaan dan norma-norma yang diajarkan masyarakat. Akan tetapi memikirkannya dengan terlebih dahulu menghilangkan segala atribut, prasangka, hal-hal yang tabu dan yang mengikat pikiran mereka. Hal ini untuk menghindari agar pemahaman ayat-ayat hukum tidak dipaksakan supaya sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi untuk mendukung pendapat yang ia yakini, bukan mempelajari ayat tersebut untuk meluruskan pemahamannya.

Kedua, merasa bahwa setiap ayat ditujukan kepada kita. lmam al-Ghazali dalam al-Ihya’ berkata: “Merasa bahwa kitalah yang dimaksud oleh setiap khithab Al-Quran. Jika Al-Quran memerintah maka kitalah yang diperintah, jika Al-Quran melarang maka kitalah yang dilarang, jika Al-Quran memberi janji maka kitalah yang diberi janji, jika Al-Quran mengancam maka kitalah yang diancam, jika Al-Quran bercerita maka kitalah yang harus mengambil ibrahnya, bahkan jika khithab Al-Quran berbentuk jama’ maka kitalah yang paling dimaksud (QS. Al-An’am : 19). Bagaikan seorang budak yang membaca surat dari majikannya, sehingga dengan demikian maka bacaan Al-Quran akan menambah keimanan, iltizam (komitmen), pengamalan dan menjadi rijal Quraniy (generasi Quran) yang memberikan atsar dan manfaat pada dirinya dan orang lain.”

Ketiga, tunduk dan patuh kepada hukum-hukum Al-Quran. Setiap orang harus tunduk dan patuh kepada hukum Al-Quran, baik yang rasional, maupun yang irrasional. Ini adalah sifat dan prilaku Nabi dan para shahabat, sementara mengkritisi hukum Tuhan yang qath’i dengan alasan tidak logis adalah sifat dan prilaku iblis. Selain itu, membedakan hukum-hukum Tuhan antara yang layak diamalkan dengan yang tidak layak merupakan sifat dan prilaku Yahudi.

Keempat, tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat. Al-Quran adalah kitab suci yang bersifat universal untuk semua masa. Ayat-ayat hukumnya berlaku untuk semua manusia, baik bagi orang yang ada pada waktu diturunkan maupun yang tidak.

Dengan demikian harus kita fahami bahwa ayat-ayat hukum Al-Quran sesuai dengan masa kini terdapat relevansi yang sangat kuat. Sekiranya dapat disikapi dengan cerdas kita akan mendapat jawaban hukum yang sempurna dari ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Quran tentang segala masalah yang kita hadapi. Wallahu a’lam
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin