Headlines News :
Home » » Menjaga Amanah

Menjaga Amanah

Written By MAHA KARYA on Friday, June 13, 2014 | 6/13/2014

Khutbah Jum’at, Tgk. Samsul Bahri, M.Ag, 
Penceramah Masjid Raya Baiturrahman

Amanah, sebuah ungkapan yang terdengar begitu indah. Amanah juga mencirikan identitas sekaligus entitas manusia sebagai khalifah pelestari bumi. Sejumlah makhluk Allah lainnya enggan memikul amanah; dan akhirnya manusia dengan sukacita menerimanya. Firmal Allah SWT : Sesungguhnya Kami telah Menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh (al-Ahzab: 72).

Langit, bumi dan gunung enggan memikul amanah karena kekuatiran akan ketidakmampuan mereka untuk menjalankannya. Hanya manusia yang berani menerima amanah. Apakah karena kehebatan dan kemampuan manusia? Ataukah karena manusia memang nekad? Lantas..apakah karena manusia adalah makhluk zhalim dan bodoh sehingga bersedia menerima amanah? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mari terlebih dahulu kita pahami apa itu amanah.

Amanah menurut pakar bahasa Ibn Manzhur, secara etimologi dibentuk dari ungkapan amana dan seakar kata dengan iman; sehingga antara keduanya saling terkait. Berikut ini adalah salah satu riwayat di mana Rasulullah menggambarkan hubungan antara iman dan amanah; Kata Imam Ahmad; Bahaz menceritakan kepada kami, (katanya) Abu Hilal menceritakan kepada kami dari Qatadah, yang berasal dari Anas ibn Malik, katanya: Rasulullah tidak berkhutbah di hadapan kami kecuali Beliau mengatakan; tidak ada iman bagi yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi yang tidak menepati janjinya. (H.R. Ahmad).

Ungkapan amanah disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak enam kali dalam berbagai konteksnya. Amanah dalam pengertian yang sangat umum dan luas terdapat dalam Surah al-Ahzab ayat 72 seperti kita cermati di awal taushiyah ini. Hal yang sama juga disebutkan dalam surah al-Anfal ayat 27, di mana Allah melarang tegas pengkhianatan terhadap amanah; kemudian Surah al-Mu’minun ayat 8 dan al-Ma’arij ayat 32, yang di dalamnya terdapat pujian Allah kepada orang-orang beriman yang menjaga dan memelihara amanah. Sementara itu, ada amanah yang berkenaan dengan persoalan private atau personal sebagaimana terungkap dalam surah al-Baqarah ayat 283, yang terkait dengan masalah utang-piutang. Akan halnya amanah berkenaan dengan persoalan publik dikemukakan dalam Surah al-Nisa’ ayat 58.

Penjelasan tentang amanah dalam ayat 58 surah al-Nisa’ agaknya patut kita amati lebih mendalam karena disebut-sebut sebagai landasan paling otoritatif bagi pengaturan system politik dan kenegaraan. Muhammad Rasyid Ridha misalnya, mengatakan bahwa seandainya tidak ada aturan lain, maka dengan ayat ini ditambah dengan satu ayat sesudahnya, persoalan kenegaraan sudah dapat diatur.

Bagaimana isi dan kandungan ayat tersebut? Sungguh, Allah Menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang Memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Secara historis, ayat 58 Surah al-Nisa’ yang baru saja dibacakan tadi mempunyai latar belakang turunnya yang diistilahkan dengan sababun nuzul. Diriwayatkan bahwa pemegang kunci ka’bah yang bernama Utsman ibn Thalhah masih berstatus non muslim ketika Rasulullah dan Sahabat menaklukkan Mekah (Fathu Makah). Pada hari tersebut Rasulullah berkeinginan untuk memasuki ka’bah lalu meminta kuncinya kepada Utsman ibn Thalhah. Ketika Rasulullah keluar dari ka’bah dan menguncinya kembali, seorang Sahabat yang bernama al-‘Abbas mengusulkan agar kunci tersebut tidak lagi dikembalikan kepada Utsman ibn Thalhah. Al-‘Abbas malah meminta dirinya saja yang memegang kunci, lalu turunlah ayat 58 surah al-Nisa.

Setelah ayat di atas turun, Rasulullah menugaskan Ali ibn Abi Thalib untuk mengembalikan kunci kepada Utsman ibn Thalhah. Saat pengembalian kunci, Ali menceritakan perihal turunnya ayat ini, yang membuat Utsman ibn Thalhah terharu sehingga memeluk Islam. Disebutkan juga bahwa sampai akhir hayatnya, Utsman ibn Thalhah tetap dipercayakan sebagai pemegang kunci ka’bah.

Penafsir kenamaan Imam Ibn Jarir At-Tabari dalam karyanya Jami’ul Bayan, yang disebut-sebut sebagai karya tafsir paling tua dalam sejarah, mengemukakan bahwa sekalipun sababun nuzul-nya berkenaan dengan kasus pemegang kunci ka’bah, ayat-ayat al-Qur’an di atas ditujukan kepada pemimpin umat agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam dan menyelesaikan masalah mereka dengan baik dan adil. Hal ini dapat dimengerti karena ayat salah satu dari dua ayat di atas berkenaan dengan pengejawantahan kekuasaan seorang pemimpin secara amanah; sementara ayat lainnya terkait dengan kewajiban mentaati pemimpin di samping perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya.

Sampai di sini terlihat bahwa amanah merupakan kepercayaan yang diberikan kepada seseorang untuk ditunaikan dengan baik. Orang yang mendapat kepercayaan itu tentu mempunyai otoritas dan kewenangan dalam perkara yang dipercayai tersebut sehingga jika ia menunaikannya akan tercipta kemaslahatan bagi banyak pihak. Sebaliknya, jika amanah disia-siakan maka akan berakibat pada kesengsaraan banyak orang.
Penyia-nyiaan amanah digambarkan sebagai salah satu cirri kemunafikan. Rasulullah dalam salah satu sabdanya menyebutkan tentang tanda-tanda orang munafiq berikut; Tanda orang munafiq itu tiga; apabila berbicara ia berbohong, apabila berjanji ia memungkirinya, dan apabila diberi kepercayaan ia berkhianat. (Hr. Bukhari).

Ungkapan iza’ tumina dalam hadis di atas maksudnya adalah apabila diberi kepercayaan seperti jabatan dan sebagainya. Jabatan yang diperoleh seseorang itu pada dasarnya adalah kepercayaan atau amanah, dan karenanya tidak boleh disia-siakan.

Dalam satu riwayat yang disandarkan kepada Abu Hurairah dan dicatat dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang kapan terjadinya kiamat. Rasulullah menjawab;  “Kiamat akan terjadi ketika amanah disia-siakan.”Rasulullah ditanyakan lagi;  “Bagaimana (maksudnya) menyia-nyiakan amanah itu?”Rasulullah kembali menejelaskan; “Ketika sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahli (yang berhak), maka tunggulah kiamat.”

Dalam koteks inilah sesungguhnya yang dimaksudkan bahwa manusia zhalim dan bodoh (zhaluuman jahuulaa), karena telah bersedia menerima amanah, dan lalu menyia-nyiakannya. Artinya, yang hendak ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa amanah itu berat sampai-sampai langit, bumi dan gunung yang secara fisik amat kuat tetapi enggan menerimanya. Maka ketika seseorang bersedia menerima amanah, mesti menjadi kuat dan tegar melebihi kekuatan dan ketegaran langit, bumi dan gunung agar dapat menunaikan amanah. Jika tidak, maka ia akan mendapat kecaman sebagai orang zhalim lagi bodoh.

Tugas menunaikan amanah itu memang berat, dan karenanya diingatkan agar berhati-hati menerimanya, apalagi memintanya. Abu Zar al-Ghiffari pernah ditegur oleh Rasulullah karena meminta sebuah jabatan yang tentu saja melekat tugas menunaikan amanah pada jabatan tersebut.

Dari Abu Zar, katanya; saya berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat saya sebagai ‘amil (semakna dengan gubernur)? Rasulullah menepuk bahu saya kemudian bersabda: wahai Abu Zar, sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah dan sesungguhnya jabatan itu merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat nanti, kecuali yang memperolehnya secara benar dan menjalankannya secara benar pula. (H.R. Muslim)

Kita berdoa kepada Allah, semoga diberi kekuatan dan ketegaran dalam menjalankan amanah yang sudah ada pada kita..dan kita lebih-lebih berdoa lagi, semoga diberikan kehati-hatian untuk menerima sesuatu amanah. Jangan sampai kita menerima atau malah memintanya yang kita tidak sanggup menjalankannya.semoga!
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin