Headlines News :
Home » » Pendidikan yang Memerdekakan Pasca Ramadhan

Pendidikan yang Memerdekakan Pasca Ramadhan

Written By MAHA KARYA on Sunday, August 3, 2014 | 8/03/2014

Oleh Muhammad Yakub Yahya

Mohon maaf lahir dan batin. Mohon maaf atas kurangnya semangat kita dalam melanjutkan spirit dari peringatan Nuzulul Qur’an, perintah iqra’, 17 Ramadhan lalu. Mohon maaf juga atas dosa sebagian kita, saya dan pembaca, yang tergolong besar juga. Dosa  malas belajar. Malas meneladankan anak-anak untuk membaca, tapi malangnya sukses memberi contoh suka nonton tv. Malas membaca, di samping itu tanda kurang mencintai ilmu, juga kurang menyukai pencinta ilmu.

Dosa orang tua, di antaranya, meneladankan dan memaksakan kesan ke generasi muda, bahwa belajar itu tugas anak-anak saja. Sedangkan bapak hanya mencari uang: meukat, meula-öt, meutani, meuglé, meukantö dan seterusnya. Konsep ini salah. Yang tepat adalah bapak, ibu dan anak sama-sama menuntut ilmu. Hanya beda cara dan jam belajar, tentu.

Kebanyakan kita, mungkin hanya menjadi orang keempat yakni ‘binatang yang berbicara’ yang tak belajar: bukan pelajar, bukan pengajar, dan bukan pendengar pembelajaran (menguping orang belajar). Dalam pandangan Allah, yang disebut ‘orang’ itu, yang mengisi siang dan malam itu dengan: belajar, atau mengajar, atau duduk-duduk menyimak --walaupun di teras masjid, mushalla, balè atau balai, sekolah-- akan pengajian atau pelajaran. Berapa di antara kita laksana ‘binatang’, yang berangkat pagi pulang senja, hanya untuk mengisi perut, bukan hati dan otak. “Lebih baik perut kosong daripada kepala kosong,” banding satu pepatah.

Membaca itu jalan belajar. Memang, daripada tak belajar sama sekali, sudah tercatat dan terus bertekad sebagai santri, murid, thâliban, student’s, siswa, mahasiswa, thulab, ureueng beuet, atau ureueng meureunoe sepekan sekali, sekali dua pekan pun boleh. Asal rutin dan kontinyu. Status pelajar hingga mati, ini syarat yang memudahkan ampunan Allah. Andai kita kurang di sana sini dalam mutu ibadah dan nilai hidup ini, Insya Allah, diampuni-Nya. Sebab kita orang ‘kurang ajar’ atau yang sedang belajar.     

Pendidikan ada rukunnya. Fasilitas dan biaya, di antaranya. Biaya pun hanya urutan terakhir, menurut Imam Syafi‘i, agar bisa pandai atau alim. Sedangkan yang penting adalah ada kemauan (gigih), punya otak (waras, tak ideot), waktu yang banyak (bukan sambilan), buku (kitab) dan perlengkapan, dan petunjuk guru (teungku, guru, dosen). Ada yang terpenting dari itu adalah niat. Kesadaran mendapat ilmu adalah cahaya. Cahaya itu tidak akan kompromi dengan hati yang kotor, atau bercampur antara yang haq dan bathil. Menjalani suka duka di dunia pendidikan adalah jihad bagi pencapaian keutamaan. Kuncinya adalah tulus supaya lempang untuk lulus. Mahasiswa baru, murid baru, pemimpin hari esok, mari perbaiki niat sebelum telat, sebelum akhir semester.  

 “Bagaimana tipe pemuda hari ini, begitu rupa masyarakat esok.” Demikian Imam Al-Ghazali mengingatkan kita. Hari ini, kita sedang membenah sistem dan fasilitas pendidikan, usai musibah. Lewat tuntunan guru di sekolah, tontonan di masyarakat, bacaan di kamarnya, orang tua sekarang sedang memberi pilihan, corak dan warna apa  baju kehidupan putra-putrinya. Jika anak jarang di rumah, bolos dari sekolah, tak mau mengaji, lingkungan akan mengajarkan nilai apa pun, postif dan negatif. Lingkungan di mana pun, ialah sekolah ketiga setelah bangku sekolah dan pendidikan keluarga.

Menatap potret anak didik hari ini, pilihan mendesak untuk mendesain dan merehab keluarga agar lebih mencinta ilmu dan komunitas sosial yang sehat secara edukasi. “Jika ingin sukses di masa depan, cerdaskanlah anak-anak anda.” Demikian kata-kata  bijak klasik. Kita baru peringati hari anak 23 Juli, dalam puasan, dan dalam Syawal 1435 H, kita rayakan HUT RI 2014, moga kita merdekakan dari perbudakan kemalasan dan kebodohan.

Karakter anak tak perlu diubah, apalagi secara kasar, menurut kemauan kita sekarang. Namun hanya perlu diberi warna secukupnya, agar lebih islami. Sebab dunia dia kelak, bukan lagi seperti dunia kita sekarang. Mereka mesti dinamis dengan problemnya. Tantangannya bukan seperti tantangan kita sekarang. Dalam memori otak anak, tatkala tampil dalam keluarga dan masyarakat, bukanlah bagaikan gelas kosong. Dia telah diwarnai duluan oleh lingkungan (mileu), jahat atau baik.   

Pendidikan semestinya akan membuka cakrawala peri kehidupannya, bukan malah terkungkung dalam kemandegan. Seharusnya anak, seperti harap Malcolm Forbes bahwa, “Tugas pendidikan adalah menggantikan pikiran yang kosong dengan pikiran yang terbuka.” Tidak boleh terjadi, visi murid, anak kita, kian picik sesempit ruang kantin, funland, game, atau PS (play station) yang dia singgahi. Lingkungan mesti mencerdaskan dan membuka cakrawala anak. “Kita bisa mengantar orang memasuki universitas, tetapi belum tentu bisa membuatnya berpikir,” ejek Finley Peter Dunne lagi.

Visi guru juga tidak terkungkung dalam kelas. Pandangannya wajib jauh, hingga ke akhirat. Guru harus melihat, anak didik bukan dia yang sekarang dididik, tapi dia puluhan tahun yang akan datang. Jadi pendidikan untuk anak tidak hanya berputar pada persoalan spesifik: bagaimana menghadapi tetek bengek anak, mengembangkan kreativitas dan menjawab pertanyaan ‘aneh’ dan ‘gawat’ anak, dan yang bersifat atomik picik. Namun lebih daripada itu, pendidikan anak sebagai sub-sistem dari pembangunan kebudayaan dan peradaban Islam yang lebih menyeluruh dalam lingkup global atau mondial (mendunia). Pendidik membutuhkan kemampuan pendidik yang memadai dan ‘tinggi’. Guru mesti memiliki wawasan yang luas. Di manakah kita tumbuh? “Tuhan tidak pernah menaruh kita di tempat yang terlalu kecil untuk tumbuh,” kata orang bijak. Kita dan santri mesti diberi visi besar. “Kita harus memikirkan hal-hal besar saat kita melakukan hal-hal kecil, sehingga semua perkara kecil berjalan ke arah yang benar,” ramal Alvin Toffler.   

Cepat tanggap dengan penuh kebijakan dan kebijaksanaan adalah gaya dan peforman lain dari guru dan ustadz. Teladan guru dan kepala keluarga akan membentuk prilaku anak. “Tujuan pendidikan yang paling tinggi bukanlah pengetahuan, melainkan perbuatan,” ujar Herbert Spencer. Generasi Islam yang pandai yang telah menggenggam dunia dulu adalah pelajar dan sarjana yang tawadhu’. Tanpa menantang perintah Tuhan. Jangan sampai anak-anak kita cuma pandai intelektualitsa, tapi bodoh spiritualitas. Juga emosionalnya.
Penulis, Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin