Headlines News :
Home » » Hukuman Cambuk Tidak Melanggar HAM

Hukuman Cambuk Tidak Melanggar HAM

Written By MAHA KARYA on Saturday, February 13, 2010 | 2/13/2010

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) minta agar hukuman cambuk yang berlaku di Aceh dihapuskan. Permintaan ini disampaikan karena pidana cambuk dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). "Penerapan hukum cambuk di Aceh kami minta dihapus, karena hukuman itu digolongkan pada pelanggaran HAM secara sistematis," kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Fadli kepada media beberapa waktu lalu.

Lebih jauh Hendra menghimbau Pemerintah Aceh agar segera menghentikan segala praktik pemidanaan fisik. “Pemerintah Aceh harus merevisi ketentuan pemidanaan dalam hukum syariah ke bentuk lain yang tidak bertentangan dengan instrument HAM dan diterima oleh komunitas internasional,” katanya.


Maka, bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pernyataan tersebut? Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pun angkat bicara. Tgk Prof Dr H Muslim Ibrahim selaku ketua MPU Aceh menyebutkan, cambuk adalah hal yang dibenarkan Agama Islam dan disetujui Mahkamah Agung Indonesia. Pun dalam diskusi yang dilakukan MPU dengan para ahli di bidang HAM, telah diperoleh kesimpulan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak bertentangan dengan HAM.

“Sesuatu ketentuan yang disepakati oleh komunitas masyarakat secara bersama-sama tidaklah melanggar HAM. Apalagi jika itu ditempuh dengan prosedur tertentu seperti rapat musyawarah. Tidak ada alasan lagi menyebut ini berlawanan dengan HAM,” tegas Tgk Muslim Ibrahim.

Dasar hukum
Suatu pemidanaan dikatakan melanggar HAM jika pidana tersebut dijatuhkan tanpa dasar hukum yang jelas. Sementara untuk persoalan cambuk di Aceh, telah ada qanun yang mengaturnya. “Karena itu tidak tepat jika dikatakan hukum cambuk melanggar HAM,” jelas Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Rusjdi Ali Muhammad.


Semua hukuman, sebut Rusjdi, pada hakikatnya menyinggung HAM karena ia berupa nestapa atau derita yang ditimpakan kepada seseorang. Pada hukuman penjara misalnya, jika ditelusuri hukuman kurungan ini juga menghambat kebebasan bergerak orang yang terpidana. Tetapi kemudian, hukuman (punishment) tersebut menjadi legal karena dilakukan berdasarkan aturan hukum positif.

“Dalam konteks Aceh apabila hukuman cambuk itu dijatuhkan melalui lembaga peradilan yang fair maka itu sah. Sama sahnya seperti hukuman penjara atau hukuman mati yang dijatuhkan oleh peradilan umum,” kata Rusjdi.
Yang harus ditentang adalah segala bentuk hukuman yang dijatuhkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki wewenang hukum, tidak ada dasar hukum, serta tidak memiliki legitimasi yang jelas. “Legitimasinya sendiri ada tiga. Ada legitimasi yuridis, sosiologis dan filosofis. Kalau sudah memenuhi tiga legitimasi ini maka dia sah,” tegas Rusjdi.

Dari sisi Yuridis, penjatuhan hukuman cambuk sudah jelas diatur dalam tiga qanun, yaitu Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang khamar (minuman keras), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Sementara tehnis dan tata cara pelaksanaannya bersandar pada Peraturan Gubernur Aceh No 10 Tahun 2005.

“Pada tataran sosiologis, masyarakat juga sudah sejalan. Begitu juga dengan falsafat hidup masyarakat Aceh yang berlandaskan falsafat Islam, sudah memenuhi legitimasi filosofis untuk qanun ini. Kalau ada segelintir orang yang masih tidak setuju, itu normal saja di era demokrasi,” imbuh Rusjdi.

Tidak berwenang
Sementara itu, menanggapi permintaan pegiat HAM terkait penghapusan hukuman cambuk di Aceh, Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, Makmur Ibrahim mengatakan, Pemerintah Aceh tidak punya kewenangan untuk menghentikan hukuman cambuk di Aceh. Qanun yang memuat hukum cambuk sudah dilembar-daerahkan dan diakui sebagai hukum yang berlaku di Aceh.

“Itu sudah menjadi hukum positif yang berlaku di Aceh, kalau dihentikan harus melalui judicial review ke Mahkamah Agung (MA),” kata Makmur sebagaimana dilansir Tempo, Selasa (01/02).
Lebih jauh ia menyebutkan, kalau ada unsur masyarakat yang keberatan terhadap hukuman tersebut, bisa mengajukan uji materil ke Mahkamah Agung. Kalau sudah MA memutuskan dihentikan, baru hukuman tersebut bisa dihentikan.

Penghentian hukuman cambuk juga bisa dilakukan melalui legislatif review oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), juga dapat dilakukan melalui executive review. Itu pun kalau ada desakan yang sangat besar dari masyarakat Aceh. “Sejauh ini tidak desakan itu, baru dari KontraS yang meminta,” ujarnya.
riza rahmi
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin