Headlines News :
Home » » Hukuman Public Service Bisa Jadi Alternatif

Hukuman Public Service Bisa Jadi Alternatif

Written By MAHA KARYA on Saturday, February 13, 2010 | 2/13/2010

Wawancara
Hendra Fadli SH,

Koordinator KontraS Aceh

Awal Februari lalu, pelaksanaan ‘uqubat cambuk kembali menjadi topik perbincangan. Pelaksanaan hukuman cambuk ditujukan pada pelaku khalwat, maisir, dan khamar (sedang untuk zina hingga kini belum disahkan), dipandang bertentangan dengan Hak Azasi Manusia. Bagaimana sebenarnya pandangan HAM terhadap hukuman ini? Dan secara hukum pidana Islam, benarkah cambuk melanggar HAM? Simak petikan wawancara Hendra Fadli dari KontraS Aceh bersama Eriza dan Nelly berikut ini.

Pandangan HAM terkait hukuman cambuk?
Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) ada beberapa pandangan yang menyebutkan, cambuk bertentangan dengan instrument HAM universal. Salah satunya kovenan sipil dan politik dimana Indonesia juga sudah menandatanganinya. Kemudian juga konvensi tentang anti penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Ada komentar dari komite HAM bahwa bentuk penyiksaan juga harus diperluas dalam bentuk penghukuman formal atau legal formal. Apakah itu yang merendahkan martabat manusia atau dianggap sebagai penghukuman yang kejam. Diantaranya misalnya cambuk, pemukulan dengan kayu dan sebagainya. Juga termasuk rajam. Maka komite covenant anti toucher pada tanggal 16 Mei 2008 meminta pemerintah Indonesia untuk menghapuskan bentuk penghukuman yang dianggap berlawanan dengan konvensi ini. Secara khusus disebutkan hukum pidana Aceh yang mengizinkan hukuman kontak badan sebagai sanksi pidana.

Aspek hukum cambuk yang dikatakan melanggar HAM?
Berdasarkan kovenan sipil politik, dari konvensi anti toucher, komentar komite HAM PBB termasuk rekomendasi komite anti toucher. Ini tafsiran resmi, jadi ketika bicara perspektif HAM, ini bukan bicara teori tetapi bicara instrument HAM yang secara legal sudah diakui secara universal. Jadi bukan debat teori hukum positif atau lain sebagainya.

Rekomendasi komite CAT dimana Indonesia ikut.. Ini kesimpulan kita. Makanya kita minta kepada pemerintah Aceh untuk mempertimbangkan instrument HAM universal ini.

Aspek lain ada pada penerapannya. Kita tidak bisa pungkiri penerapan hukum cambuk sangat diskriminatif. Misalnya hanya untuk kalangan masyarakat bawah. Sementara ada fakta misalnya anggota WH yang melakukan “zina” di Ie Masen Kaye Adang atau pejabat di Sabang, sampai hari ini tidak dihukum.

Jika bukan hukuman cambuk, apa hukuman lain yang lebih pantas?
Banyak. Justru itu menjadi wacana kontemporer. Misalnya Restorative Justice System. Artinya penghukuman tidak hanya melihat pada soal membuat orang sejera-jeranya, tetapi ada aspek lain yang harus dilihat yaitu pembelajaran. Bagaimana menjamin orang tidak mengulangi perbuatan tersebut. Ini jauh lebih penting dalam aspek penegakan hukum. Banyak alternatif lain dan sedang dikembangkan dalam rancangan kitab hukum pidana di Indonesia.

Misalnya sanksi sosial dalam makna bekerja secara social pada public service misalnya atas kemauan pelaku disetujui oleh komunitas atau oleh aparat penegak hukum. Dia diberi sanksi membersikan masjid misalnya, ngepel masjid saban hari 1 jam sehari sampai sekian bulan. Sambil ada proses pembinaan oleh Imam masjid, dia harus shalat berjamaah dan lain-lain. Ini jauh lebih mendidik. Kalau dihukum cambuk setelah itu tidak ada aspek pembinaan. Bisa saja muncul dendam dan sebagainya.

Dampak psikologis keluarga, anak dan isteri yang tidak bersalah ikut terbebani dan menanggung malu seumur hidup. Saya kira ini harus dipertimbangkan.

Bagaimana dengan pidana kurungan yang melanggar kebebasan seseorang?
Dalam HAM ada namanya non regu duplex. Ada hak yang bisa dibatasi dalam situasi tertentu. Ini kesepakatan HAM universal. HAM ini dinamis dan berkembang terus. Ketika ditemukan metode baru bahwa tidak melulu dengan penyiksaan orang bisa mengakui kemudian bisa dihapuskan.

Apakah hukum penjara selama ini sudah mampu memberi efek jera?
Dalam hal ini harus ada risetnya. Apalagi jika membandingkan antara efek penjara dengan efek cambuk. Tidak bisa berdasarkan asumsi. Ini harus di cek. Jangan-jangan ketika di penjara dia tidak dibina atau ada diskriminatif dalam pengelolaan lapas. Kasus Ayin misalnya dia orang kaya, bisa bayar orang yang memiliki otoritas sehingga tidak ada dampak jera bagi dia.

Hukum cambuk telah diatur dalam qanun. Jika ini kemudian minta dihapus, bagaimana dengan qanun-qanun yang sudah disahkan? Inilah yang kita usulkan kepada pemerintah. Pemerintah mempertimbangkan bahwa ada konsekuensi pergaulan internasional. Kemudian ada dampak-dampak lain yang muncul dalam penerapan qanun yang diskriminatif. Menurut kita, ini tidak adil, tidak punya kepastian. Tugas pemerintah melakukan revisi. Peluangnya bisa melalui executive review bisa melalui legislative review, bisa juga atas inisiatif masyarakat sipil melakukan judicial review ke Mahkamah Agung. Tapi pemerintah memilih tidak direvisi pun itu tidak masalah karena itu urusan pemerintah. Tidak dalam posisi memaksakan kehendak. Tapi dampak-dampak ini tolong dipertimbangkan.
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin