Tanpa ada keraguan secuil pun, Islam menempatkan keadilan dalam posisi yang tegas. Di sisi lain, Islam mengutamakan mencegah terjadinya mungkar yang menyebabkan warga dihukum. Pembinaan alias sosialisasi dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW secara sabar, berlanjut dan tekun. Rasulullah telah mewarisi sistem pendidikan yang terbaik tanpa gegabah atau karena unsur politis. Nah bagaimana kita di Aceh?
Isu penerapan Syariat Islam di Serambi Mekkah mencuat pasca dicabut status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 7 Agustus 1998. Kala itu, Jakarta menyodorkan bahwa Syariat Islam sebagai solusi konflik Aceh. Hal ini diperkuat oleh ucapan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) usai keliling Eropa pada tahun 2000-an yakni orang Aceh itu minta Syariat Islam, bukan minta merdeka. Wal hasil, pernyataan ini menenggelamkan fakta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap umat Islam di Aceh.
Secepatnya peraturan daerah (Perda) alias qanun yang berkaitan dengan hal-hal masyarakat disusun dan ditetapkan. Hasilnya antara lain, hukum cambuk yang pertama di Aceh digelar di Bireuen pada 24 Juni 2005 terhadap 27 penjudi (maisir) karena melanggar Qanun No 13 Tahun 2003. Hingga kini sudah ratusan rakyat jelata dicemeti karena melanggar tiga perda yakni yang bermain judi, melakukan khalwat dan minum khamar.
Ironisnya, cambuk ini hanya dijalani oleh orang kecil yang tidak ada akses ke militer atau birokrat. Tentu rakyat Aceh belum lupa kisah hakim di Sabang, anggota Wilayatul Hisbah di Lampineung Banda Aceh, anggota dewan di Aceh Utara dan lain-lain yang dituduh khalwat, khamar atau maisir tidak terjamah rotan sepanjang satu meter. Mengapa warga biasa seperti tukang becak, mahasiswa, petani, supir dan lain-lain sangat gampang dicambuk? Marilah kita merujuk pada sabda Rasulullah yang tetap memotong tangan Fatimah jika mencuri.
Dalam prakteknya, hukum cambuk yang hanya untuk muslim yang di Aceh tidak berlaku bagi TNI dan Polri di Aceh walaupun beragama Islam. Mereka (TNI dan Polri) memiliki peraturan masing-masing yang dari segi kekuatan hukum lebih tinggi daripada sekedar perda alias qanun. Tidak salah saya menyebutkan penerapan ceunuet (cambuk) di Aceh berjalan tebang pilih alias diskriminatif.
Inilah yang disebut dalam tataran hukum negara sudah merupakan bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada perbedaan penerapan hukuman dari negara terhadap warga. Agaknya perlu moratorium hukum cambuk karena ini bukanlah tontontan yang menyehatkan. Lebih elok yang melanggar Syariat Islam tersebut misalnya dialihkan membersihkan masjid-masjid atau dayah sebagai kompensasi sanksi yang lebih ”arif” dan bermanfaat untuk ummat. Wallahu a’lam.
(Wartawan Gema Baiturrahman di Jakarta)
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !