Sebagai
daerah yang memiliki umat Islam mayoritas dan taat, banyak persamaan yang
melekat antara Provinsi Aceh dan Kalimantan Selatan, terutama sisi religius
yang tampak dalam aktivitas keseharian warganya. Bahkan, ada yang menyebut
Kalimantan Selatan sebagai “Daerah Serambi Mekkah” juga, sama seperti julukan
untuk Aceh yang telah dikenal sejak ratusan tahun lalu itu.
Akhir Maret 2013,
selama empat hari, wartawan Gema
Baiturrahman, H. Hilmi Hasballah
mengunjungi Provinsi Kalimantan Selatan. Berikut ini merupan catatan perjalanan
yang sengaja dikemas untuk para pembaca tabloid jumatan ini, seputar kilau dan
dakwah Islam di Negeri Banjar
tersebut. Selamat membaca.
Banyak persamaan
yang teramati pada wajah masyarakat Aceh dan Kalimantan Selatan. Salah satu
yang menyamakan keduanya adalah memiliki masyarakat yang kuat melaksanakan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ciri khas lainnya, di sepanjang
menyusuri desa, masjid dan mushalla/surau, sangat banyak. Tak heran, bila Bumi
Banjar digelar sebagai “Kota 1.000 Menara”. Tatkala azan menggema, rumah Allah
ramai dikunjungi warga. Kilau Islam dan dakwah di sini juga sangat kentara.
Para pelajar juga mayoritas berbalut pakaian muslim dan muslimah.
Rombongan kami
dari Aceh mendarat di Bandara Syamsuddin Noor, Kalimantan Selatan, pukul 20.00
WIT. Perjalanan jauh dari Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh Besar hampir
mencapai 6 jam. Waktu perjalanan terasa agak membosankan ketika pesawat yang
hendak kami tumpangi, setelah transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta
Jakarta, sempat delay hampir 2 jam.
Lelah!
Namun, semangat
untuk mengintip kilau Islam dan dakwah di Kalimantan Selatan membuat diri
kembali termotivasi. Begitu mendarat di Kalimantan Selatan, rombongan harus
menggunakan taksi atau bus ukuran sedang untuk bergerak ke Kota Banjarmasin,
ibukota provinsi. Lumayan jauh juga jarak Bandara Syamsuddin Noor dengan Kota
Banjarmasin. Ada sekitar 35 Km.
Sepanjang jalan,
teramati warga yang baru saja pulang dari masjid dan surau untuk melaksanakan
shalat Isya berjamaah. Walaupun waktu sudah bergerak malam, namun lampu-lampu
yang terpasang cantik dan rapi di sepanjang jalan membuat Kota Banjarmasin
seperti masih baru senja. Aktivitas perekonomian juga terus berputar.
Alhamdulillah, saat ini telah berada di Kotamadya Banjarmasin yang menjadi
tujuan perjalanan. Dari Serambi Mekkah
Aceh ke Serambi Mekkah Kalimantan
Selatan.
Esoknya, waktu
shalat Subuh tiba. Yang terintip segera adalah, sangat ramainya jamaah yang
memenuhi masjid dan surau di seluruh wilayah. Keindahan masjid yang ada juga
sangat menawan dengan arsitekturnya yang menakjubkan. Wajar, sebab Kalimantan
Selatan memang kaya dengan hasil alam, termasuk pertambangan dan pesona budaya
serta pariwisata. Namun sebetulnya, Kotamadya Banjarmasin tak terlalu luas.
Hanya 98,46 Km2 atau 0,26% dari total keseluruhan luas wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan. Penduduknya lumayan banyak, mencapai 720.683 jiwa. Pantas,
sangat padat dan kerapkali menimbulkan kemacetan di jalan raya, terutama pada
pagi antara pukul 07.30-08.30 WIT atau ketika pulang pulang kantor.
Di Kota
Banjarmasin, tercatat ada 141 masjid dan 872 surau. Ketaatan warganya sangat
tampak. Aktivitas di rumah Allah selalu ramai. Bahkan, di beberapa desa, ada
banyak warga yang mempersiapkan diri untuk berangkat atau baru saja pulang
umrah dari Tanah Suci. Suasana pengajian anak-anak di masjid dan surau juga
terlihat ramai. Aceh dan Kalimantan Selatan ibarat saudara kandung dalam hal
kondisi masyarakatnya yang agamis. Semoga semua masyarakat terus mendukungnya.
Rombongan kami
sempat dijamu makan malam oleh salah seorang tokoh Aceh, yang juga mantan
Bupati Aceh Besar, Drs H Sayuthi Is MM, yang saat ini diberi amanah oleh negara
sebagai Kakanwil BPN Kalimantan Selatan. Suasana silaturahmi dan keakraban
langsung saja muncul. Kepada kami, Sayuthi Is yang juga mantan Asisten I
Pemprov Aceh itu menjelaskan banyak hal tentang kesamaan nilai-nilai spiritual
antara masyarakat Aceh dan Kalimantan Selatan. “Masyarakat di sini sangat taat
beragama. Sama seperti mayoritas kita di Aceh,” ungkap Sayuthi.
Kalimantan Selatan juga memiliki pesona menarik dengan menghasilkan berbagai perhiasan berharga seperti intan, permata, dan batu perhiasan lainnya. Pada hari kedua kunjungan, rombongan kami diajak “cuci mata dan berbelanja” ke Martapura (sekitar 2 jam perjalanan darat dari Kota Banjarmasin). Kota ini merupakan incaran bagi penikmat perhiasan berharga. Setiap hari, ratusan wisatawan asing dan dari provinsi lain menghabiskan waktu untuk berbelanja aneka perhiasan berharga. Harga yang ditawarkan juga bervariasi, dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Woww!
Siti, seorang
guide lokal menjelaskan, pusat perjualan perhiasan berharga di Martapura ini
tak pernah sepi dari pengunjung. Artis, bahkan eksekutif serta legislatif
takkan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbelanja aneka perhiasan mewah
di sini. Aksi borong juga tak terelakkan. Martapura menjadi pilihan bagi
orang-orang “berduit”. Pantas, seorang teman sengaja mengirim sms. “Jika ke
Martapura, jangan lupa ole-ole batu cincinnya ya”.
Mengunjungi Pasar
Terapung di Sungai Barito merupakan obyek wisata menarik lainnya. Di sini,
keramaian akan berlangsung dalam 2 jam saja. Dimulai usai shalat Subuh.
Aktivitas jual beli berbagai kebutuhan sehari-hari dan souvenir khas Kalimantan
Selatan berlangsung mengasyikkan. Semuanya terjadi di tengah sungai dengan
menggunakan perahu kecil dan klotok
(perahu ukuran sedang). Mau kopi, teh, sayur-sayuran dan buah-buahan segar,
atau soto banjar? Bisa langsung dibeli di atas perahu. Harganya juga sangat
terjangkau. Agaknya, belum lengkap berkunjung ke Banjarmasin jika tidak
berbelanja di lokasi pasar terapung Sungai Barito yang sangat padat ini.
Bagi warga
setempat, sungai merupakan sumber ekonomi dan pengembangan pariwisata.
Sepanjang jalan menyusuri Sungai Barito dan Sungai Martapura, terlihat ribuan
pemukiman warga yang didirikan persis di kiri-kanan sungai. Masjid dan surau
juga hadir menyertai kehidupan warganya. “Di sini, anak kecil pun sudah pandai
berenang, karena memang sungai menjadi bagian dari kehidupan keseharian
mereka,” tambah Siti.
Kunjungan
rombongan kami berakhir di Hutan Wisata Alam Pulau Kembang Kabupaten Barito
Kuala. Jaraknya sekitar 30 menit perjalanan menyusuri aliran sungai dari lokasi
Pasar Terapung Sungai Barito. Di lokasi berbentuk pulau kecil ini, ada lebih
dari 2.000 populasi monyet yang dilestarikan. Begitu pengunjung mendarat, langsung
saja pasukan monyet “menyerbu”. Alhasil, bawaan seperti pisang, kacang, permen,
dan coklat disambar “penghuni pulau”.
Aksi rebutan tak terelakkan. Monyet yang merasa dirinya lebih perkasa dan kuat langsung mendominasi perburuan makanan. Aksi saling merampas makanan sangat seru. Seorang anggota rombongan sempat takut dan langsung membuang plastik berisi pisang, permen, dan kacang agar tak “diganggu” pasukan monyet. Di lokasi wisata alam ini, setiap hari ada ratusan wisatawan yang berkunjung, sehingga kelompok monyet selalu merasa betah, sebab banyak makanan yang bisa dinikmati.
Jadi, kalaupun ada
monyet yang kemudian dibawa ke daratan oleh manusia, pasti si monyet segera saja berenang kembali
mengarungi luasnya Sungai Barito untuk bisa kembali ke Hutan Wisata Pulau
Kembang. Di hutan wisata ini, monyet-monyet merasa lebih nyaman dan kenyang
bersamaan dengan kunjungan ratusan wisatawan setiap harinya. Begitulah!
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !