“Kita dukung penerapan Syariat Islam di Aceh. Sebab penerapan itu merupakan keinginan dari rakyat di Nanggroe Endatu”. Demikian cuplikan pidato oleh pejabat di Negeri Syariat. Sebuah komitmen yang sangat bagus dan rakyat pun terlena dengan retorika idealis tersebut.
Untuk merealisasikan komitmen itu, anggota parlemen melalui Angaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) mengklaim anggaran itu sudah pro Syariat Islam. Dalilnya, para anggota terhormat sudah menyusun qanun yang bermuara pada penerapan Syariat, menglokasikan anggaran kepada dayah, balai pengajian, memberangkatkan para ulama untuk berumrah dan sebagainya.
Plot anggaran dari dana APBA untuk pelaksanaan Syariat Islam pada tahun 2013 adalah 3 persen dari 20-an triliun APBA. Kita bisa mengklaim, angka itu masih minim mengingat tantangan yang dihadapi semakin menggunung dengan fasilitas yang semakin mengecil. Di sisi lain, kita sadar, pelaksanaan agenda berbanding lurus dengan besarnya plot anggaran.
Pihaknya lain meminta DPRA mengalokasikan 5 persen anggaran dari total APBA tahun 2013 untuk penegakan syariat Islam. Sebab tanpa dana yang yang mencukupi, maka semakin bertambah tantangan yang dihadapi oleh para penegak Syariat Islam. Sebut saja, bagaimana para da’i-da’i yang bertugas di perbatasan Aceh itu butuh vitamin dan kebutuhan lain agar memiliki stamina yang kuat menghadapi para misionaris yang dananya luar biasa membludak.
Tuntutan rakyat agar dana untuk penegakan syariat itu sejalan dengan salah satu program prioritas pembangunan hingga lima tahun ke depan oleh pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf seperti tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. Sebagai langkah kongkrit mendukung penerapan Syariat dengan memberikan alokasi dana kepada pihak yang bergerak di ranah Syariat.
Sekedar diketahui, total APBA 2013 mencapai Rp 11,256 triliun atau bertambah Rp 2,198 triliun dari pagu dalam Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) 2013 yang diusul Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) kepada DPRA sebesar Rp 9,058 triliun. Salah satu usulan yang menjadi tanda tanya masyarakat yakni dana kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh mencapai Rp 100 miliar. Sebelumnya, usulan gubernur Rp 68 miliar. Serta biaya operasional Lembaga Wali Nanggroe (WN) Rp 40 miliar, penyelesaian Meuligoe WN Rp 10 miliar.
Bagaimana jika pada akhirnya dana untuk kiprah Syariat Islam tidak sebanding dengan beban yang diembangkaan? Tidak ada kata lain, umat Islam mesti menopang pada kemampuan yang dimilikinya. Dalam setiap pergerakan, maka faktor kaum konglomerat, hartawan atau dermawan tetap dibutuhkan. Jika kita bercermin pada dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, tetap ada yang mendukung dari aspek dana yakni Rasulullah yang juga kaya, ada Abubakar dan sahabat-sahabat lain. Orang menyebutkan, duit bukanlah segala-galanya namun tanpa duit, tidak ada segala-galanya.
Sekali lagi, jika pada akhirnya, anggaran Pemerintah Aceh tidak pro Syariat Islam alias sedikit yang dikucurkan, maka organisasi yang bekerja dalam mengawal penerapan Syariat Islam mesti giat mencari lubang-lubang yang menyimpan sumber dana dakwah tersebut.
Kita percaya, dengan keikhlasan bekerja, maka Insya Allah dana dalam bentuk shadaqah, infaq, zakat dan sebagainya bakal mengalir. Faktor amanah dari pengelola lembaga menjadi salah satu kunci keberhasilanorganisasi bernapas Islam. Murizal Hamzah
Untuk merealisasikan komitmen itu, anggota parlemen melalui Angaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) mengklaim anggaran itu sudah pro Syariat Islam. Dalilnya, para anggota terhormat sudah menyusun qanun yang bermuara pada penerapan Syariat, menglokasikan anggaran kepada dayah, balai pengajian, memberangkatkan para ulama untuk berumrah dan sebagainya.
Plot anggaran dari dana APBA untuk pelaksanaan Syariat Islam pada tahun 2013 adalah 3 persen dari 20-an triliun APBA. Kita bisa mengklaim, angka itu masih minim mengingat tantangan yang dihadapi semakin menggunung dengan fasilitas yang semakin mengecil. Di sisi lain, kita sadar, pelaksanaan agenda berbanding lurus dengan besarnya plot anggaran.
Pihaknya lain meminta DPRA mengalokasikan 5 persen anggaran dari total APBA tahun 2013 untuk penegakan syariat Islam. Sebab tanpa dana yang yang mencukupi, maka semakin bertambah tantangan yang dihadapi oleh para penegak Syariat Islam. Sebut saja, bagaimana para da’i-da’i yang bertugas di perbatasan Aceh itu butuh vitamin dan kebutuhan lain agar memiliki stamina yang kuat menghadapi para misionaris yang dananya luar biasa membludak.
Tuntutan rakyat agar dana untuk penegakan syariat itu sejalan dengan salah satu program prioritas pembangunan hingga lima tahun ke depan oleh pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf seperti tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. Sebagai langkah kongkrit mendukung penerapan Syariat dengan memberikan alokasi dana kepada pihak yang bergerak di ranah Syariat.
Sekedar diketahui, total APBA 2013 mencapai Rp 11,256 triliun atau bertambah Rp 2,198 triliun dari pagu dalam Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) 2013 yang diusul Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) kepada DPRA sebesar Rp 9,058 triliun. Salah satu usulan yang menjadi tanda tanya masyarakat yakni dana kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh mencapai Rp 100 miliar. Sebelumnya, usulan gubernur Rp 68 miliar. Serta biaya operasional Lembaga Wali Nanggroe (WN) Rp 40 miliar, penyelesaian Meuligoe WN Rp 10 miliar.
Bagaimana jika pada akhirnya dana untuk kiprah Syariat Islam tidak sebanding dengan beban yang diembangkaan? Tidak ada kata lain, umat Islam mesti menopang pada kemampuan yang dimilikinya. Dalam setiap pergerakan, maka faktor kaum konglomerat, hartawan atau dermawan tetap dibutuhkan. Jika kita bercermin pada dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, tetap ada yang mendukung dari aspek dana yakni Rasulullah yang juga kaya, ada Abubakar dan sahabat-sahabat lain. Orang menyebutkan, duit bukanlah segala-galanya namun tanpa duit, tidak ada segala-galanya.
Sekali lagi, jika pada akhirnya, anggaran Pemerintah Aceh tidak pro Syariat Islam alias sedikit yang dikucurkan, maka organisasi yang bekerja dalam mengawal penerapan Syariat Islam mesti giat mencari lubang-lubang yang menyimpan sumber dana dakwah tersebut.
Kita percaya, dengan keikhlasan bekerja, maka Insya Allah dana dalam bentuk shadaqah, infaq, zakat dan sebagainya bakal mengalir. Faktor amanah dari pengelola lembaga menjadi salah satu kunci keberhasilanorganisasi bernapas Islam. Murizal Hamzah
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !