Headlines News :
Home » » Halqah Mesjid Raya Akankah di-TV-kan? (2)

Halqah Mesjid Raya Akankah di-TV-kan? (2)

Written By MAHA KARYA on Friday, June 8, 2012 | 6/08/2012

Gebrakan siaran langsung ini memiliki demensi ganda. Pertama, sebagai media menambah kwalitas ilmu agama bagi umat, dengan adanya halqah -halqah disetiapMaghrib dan kuliah-kuliah disetiap subuh maka umat akan tercerahkan, sebab di sana diberikan beberapa bidang ilmu, diantaranya, penafsiran Al-Qur’an, penafsiran hadits, ilmu tauhid, ilmu fiqh, sejarah, akhlak, tashawwuf, tarich tasyri’ dan lain-lain.

Dan kalau kebijakan ini terwujud nanti maka pihak Mesjid Raya perlu memikirkan dan memformat kembali materi-materi yang disajikan yang sesuai dengan kunsumsi umat dalam segala tingkatan umur.

Yang kedua adalah sebagai pendukung Pencanangan Gerakan Magrib Mengaji yang telah dicanangkan oleh Gubernur sebelumnya. Biasanya kita terlena dengan deklarasi , pencanangan, terobosan, lonching dan apapun namanya akan tetapi setelah itu hilang tanpa bekas. Setelah yang satu itu hilang dicari hal baru lainnya untuk menarik simpati masyarakat, apalagi yang menggagasnya itu punya kepentingan-kepentingan tertentu. Kita sempat muak dengan pernyataan pencanangan gemar mengaji setelah magrib, akan tetapi setelah itu tidak ada yang mensosialisasikannya dan tidak ada yang mengaplikasikannya dalam kehidupan, apalagi yang mencetuskannya itu “telah meninggal ”.

Realitas Kita
Bila dicermati soal pendidikan agama di kalangan genarasi muslim di Aceh sekarang ini sudah pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Mereka telah menjauh dengan halqah-halqah atau bimbingan-bimbingan agama atau pengajian-pengajian yang sifatnya serius, berencana dan bersahaja bagi kaum remaja putra dan putri maupun kaum tua baik laki-laki maupun perempuan yang dapat mengarah untuk memantapkan iman atau aqidah mereka. Masih banyak di kalangan orang Aceh yang tidak lagi memegang kitab suci Al-Qur’an dengan alasan tidak ada air sembahyang (berwudhu’).

Kalau ditanya kenapa tidak berwudhu’ alasannya karena tidak shalat. Kalau ada yang tanya lagi kenapa tidak shalat, jawabnya karena tidak mengerti melakukannya. Kenapa anda tidak mengerti, jawabnya karena tidak belajar. Kenapa tidak belajar, jawabnya karena di meunasah tidak ada lagi orang yang mengajarkan wudhu’ dan shalat. Berarti kegelisahan ini berpunca dari tokoh-tokoh di kampung seperti Teugku Imum dan Pak Geuchik, yang banyak kedapatan di meunasah-meunasah atau mushalla-mushalla para pemuda yang rajin baca dalail khairat sampai larut malam sehingga orang sekitarnya sulit tidur ketimbang belajar agama. Mereka membacanya tanpa ada seorang guru yang membimbingnya sehingga yang membaca tidak tahu apalagi yang mendengarnya, akhirnya menjadi amalan sia-sia.

Mereka lebih mengenal kitab Majmu’ Syarif ketimbang Al-Qur’an karena di sana tertera surat Yasin, ayat tujoh, doa talqin mayat. Rasulullah tidak hanya menganjurkan membaca surat Yasin seumur hidup akan tetapi membaca membaca Al-Qur’an secara keseluruhan. Wirid Yasin ada di mana-mana lebih-lebih para kaum ibu, mereka menyibukkan diri dengan wirid Yasin ketimbang belajar bagaimana membaca Al-Qur’an termasuk surat Yasin dengan benar atau bertajwid sehingga kita tidak terdengar lagi orang banyak salah dalam membaca Al-Qur’an.

Mereka lebih suka berkumpul tarik julo-julo ketimbang belajar ilmu-ilmu agama terutama yang berhubungan dengan bidang ilmu fardhu ‘ain, seperti ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Orang baru sibuk belajar manasik haji pada saat telah mendapat perintah berangkat naik haji. Jadi ilmu manasik haji dipelajari bukan karena suatu kewajiban agamanya akan tetapi dipelajari karena sudah mendesak mau pergi haji. Orang baru mau belajar shalat untuk keperluan akad nikah. Orang lebih rajin mengahadiri upacara shamadiah di tempat orang meninggal ketimbang menghadiri shalat berjama’ah.

Padahal membaca shamadiyah sebagai suatu upaya mengirimkan bingkisan doa kepada saudara kita yang telah meninggal. Kita sibuk dengan kiriman-kiriman pahala yang belum tentu sampai dan tidaknya. Kalau demikian kenapa kita tidak mencari sendiri untuk kita atau melaksnakan shalat berjama’ah dadulu, kemudian baru kita kirim untuk orang lain. Ternyata sangat sedikit orang yang melaksanakan shalat berjama’ah dibandingkan dengan orang yang ikut shamadiah.

Ada kesan dari sebagian orang bahwa kalau tidak saya pergi bershamadiyah kerumahnya maka saya tidak akan dishamadiahi oleh keluarga mereka kelak bila saya meninggal. Itu adalah salah kaprah dalam memahami cara beramal. Kita tidak boleh menjadi seorang yang bertipe peminta-minta dalam soal pahala. Tidak ada jaminan do’a orang hidup akan sampai kepada di mayat kalau ia di masa hidupnya tidak shalat, tidak puasa apalagi haji atau tidak berakhlak mulia. Bila tiang atau pondasinya tidak ada maka dimana kiranya akan tersangkut dinding atau atapnya. Kalau batangnya tidak ada mana mungkin akan tumbuh cabang, ranting apalagi buahnya.

Akhirnya melalui media ini penulis mengajak Bapak Gubernur Aceh di masa trasisi ini untuk mempertimbangkan dasar-dasar pikiran yang sangat sederhana ini tentang kebijakan siaran langsung Halqah dan Kuliah Shubuh Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hal ini akan memberikan nuansa baru bagi pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh ini. Kalau kita mau menolong syari’at Allah maka Allah bakal menolong kita dan memantapkan pendirian kita. In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit aqdamakum. Demikian semoga bermanfa’at kepada kita semuanya. Amin.

Drs. H. Ramly M.Yusuf, MA (Penulis, Mahasiswa S3 Universitas Islam Umdurman – Sudan)
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin