Oleh. Yunidar Z.A, S. Ag., M. Si
“Tiap-tiap kalian Kami buatkan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya Allah menghendaki, pasti Dia jadikan kalian (manusia) satu umat (saja), tetapi (dijadikan beragam) itu Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang Dia anugerahkan kepada kalian. Maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan-kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan kembali dan kelak Dia akan menjelaskan kepada kalian apa-apa yang pernah kalian perselisihkan.” (Q.S. al- Maidah. V: 48)
Muqaddimah.
Era reformasi telah melahirkan berbagai tatanan baru. Setelah Pemilu 2004 yang dinilai sukses, maka mulai tahun 2005 kita telah memulai dalam perubahan politik di Indonesia. Pada tahun 2006 Provinsi Aceh melaksanakan Pilkada langsung demokratis. Ini merupakan terobosan dari Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen keempat yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan Pasal ini kemudian diturunkan ke dalam rumusan Pasal 56 UU Nomor 32/Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Semangat pemilihan langsung kepala daerah, memberi ruang yang luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan dari Pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya. Lebih mendekatkan Pemerintah kepada rakyat.
Selanjutnya pertanyaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pilkada, dari persiapan aparat di berbagai tingkatan, panitia, pengawas, logistik, keamanan dan penyelesaian sengketa akibat kurang puas konstituen yang kandidatnya tidak terpilih atau tidak dapat mengikuti pilkada? Bagaimana peran lembaga-lembaga independen (stakeholders) yang lain dalam mengawasi dan memantau pilkada agar berjalan jujur, adil dan terbuka?
Menjadi penting adalah Penegakan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam proses pilkada tidak hanya pada saat pelaksanaan pilkada saja, tapi telah dimulai dari awal proses persiapan pilkada, mulai dari tingkat perumusan teknis dan pembiayaan pilkada. Melibatkan pihak-pihak independen yang merupakan representasi dari aspirasi rakyat.
Konflik Sosial dan Bencana Alam
Perjalanan sejarah rakyat Aceh telah mengalami dua hal yang sangat besar dan luar biasa dalam sejarah kemanusian. Pertama, berkaitan dengan Konflik dengan Kekerasan, dan yang ke dua, terjadinya bencana alam gempa bumi yang disertai dengan badai tsunami yang sangat dahsyat. Aceh berada pada titik nol, dan merenungkan kembali arti dan makna masa depan sehingga dapat bangkit kembali mengembalikan masa depan yang damai dan sejahtera.
Perdamaian di Aceh adalah hasil perjuangan dan kerja keras berbagai komponen masyarakat yang tujuan utamanya membangun kesejahteraan untuk seluruh masyarakat Aceh. Secara umum manusia sebagai makhluk sosial ingin mendapatkan penghargaan terhadap Kebutuhan atas kehidupan baik kebutuhan primer (sandang, papan, dan pangan) yang tidak boleh dibatasi. Maupun kebutuhan sekunder. Kemulian, pernghormatan terhadap nilai-nilai, penghargaan yang telah melekat (adat Islam), dan kepentingan untuk berbagai keinginan terhadap kehidupannya.
Konflik di Aceh adalah konflik Kebutuhan, konflik nilai-nilai, dan konflik kepentingan.
Oleh karenanya kompleksitas konflik yang sangat rumit juga telah tertanam dalam struktur dan kultur masyarakat. Berbagai metode telah dilakukan untuk penyelesaian konflik Aceh pada masa lalu belum terwujudnya perdamaian yang hakiki karena bukan saja tentang ekonomi bagi hasil, bukan hanya tentang penghargaan terhadap adat istiadat, bukan hanya tentang syariat Islam. Namun, mencakup semua hal dan ini kemudian diakomodir oleh Pemerintah Indonesia, singkat cerita penandatangan kesepahaman Mou Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Mengkhiri konflik dengan kekerasan.
Kemudian DPR RI dengan Pemerintah menyetujui Undang – Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Aceh selanjutnya mendapatkan Otonomi khusus seluas-luasnya kesempatan yang sangat besar “pemerintahan sendiri” bahkan mendapat dana yang sangat besar dibandingkan dengan Daerah Provinsi lain (tahun ini saja mengelola dana 8, 9 Triliun) yang penduduknya hanya lebih kurang empat ( 4) Juta jiwa. Bandingkan dengan Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Provinsi Jawa Timur ( Jatim )yang penduduknya sangat banyak. Pemerintah dan Pemerintah Aceh harus mendorong agar dapat membangun, mengejar atas ketertinggalan akibat konflik dengan kekerasan dan bencana alam dengan dana Otonomi khusus (Otsus) tahun 2012 mencapai Rp 5,4 Triliun. Besaran dana Otsus yang diterima Aceh setiap tahun adalah 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional. Sesuai dengan pasal 183 UU PA No. 11 Tahun 2006, dana Otsus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastuktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, social dan kesehatan. Dan Otsus akan berakhir 2028.
Bencana alam. Gempa bumi yang disertai dengan badai tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tidak dapat dilupakan dalam pikiran dan hati, peristiwa yang sangat dalam bagi masyarakat Aceh. Bagaimana tidak? Penderitaan, kehancuran yang sangat luar biasa, kehilangan yang masih terasa, harta benda, tempat tinggal hilang, orang yang sangat dicintai dan dikasihi dikulum badai tsunami, terbawa arus, hilang bahkan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata akibat dari bencana alam tersebut. Masyarakat dunia berkabung untuk mereka semuanya yang tertimpa musibah tersebut.
Solidaritas masyarakat Dunia memberikan harapan untuk bangkit kembali membangun puing - puing dan masa depan bagi masyarakat di Aceh. Pada saat itu tidak mempedulikan siapapun yang memberikan bantuan datang menolong diterima dengan lapang dada, bangunan-bangunan di Aceh dibangun oleh tangan-tangan kemanusian dan sepatutnyalah kita berterima kasih.
Dan dalam penderitaan kita telah bisa berbagi dengan sipapun membuka diri tidak terkotak-kota oleh sekat Agama, politik, budaya, bangsa, warna kulit, social dan sebagainya. Ternyata kita bisa hidup dengan siapa saja dalam “solidaritas kemanusian” total. Solidaritas, empati, kebersaman dan ke bhinnekaan ini lah seyogyanya kita pelihara sampai sekarang untuk empati, perdamaian, ketertiban, keamanan lingkungan kita, hilangkan rasa curiga, berburuk sangka dan sejumlah kosa-kata yang dapat menjerumuskan kita untuk kembali ke konflik dan saling memusnahkan.
Periodeisasi Konflik Aceh
Menurut para pakar perdamaiaan, konflik merupakan interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda serta berlawanan yang didalamnya terjadi perselisihan, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan. Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau tidak sejalan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial atau lingkungan, menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.
Kompleksitas konflik yang terjadi di Aceh akibat banyaknya permasalahan dan sebab-sebab ganda oleh akumulasi multiaspek, seperti kekecewaan, identitas, ekonomi, sakit hati dan sebagainya. Dengan memahami akar permasalahan terjadinya konflik dengan kekerasan akan memudahkan untuk mencari jalan penyelesaian pengakhiran konflik termasuk konflik sengketa pilkada. Periodeisasi sejarah bisa membantu ingatan kita terhadap masalah yang dihadapi masyarakat Aceh.
Pada tahun 1873 Belanda memaklumatkan perang dan terbangunnya semangat keacehan. Sampai dengan Pada Tanggal 15 Agustus 2005. Penandatangan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Tahun 2006 Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah ditunaikan dan berlangsung dengan damai.
Periode sejarah konflik membekas menjadi konflik laten dan konflik terbuka dan bila ada kegiatan politik biasanya akan memunculkan kemba,li berbagai persoalan akan masalah konflik yang tidak pernah tuntas dalam bahasanya kemudian “memaafkan namun tidak melupakan” Semoga Aceh bukan hanya sekedar pelaksanaan pemilihan demokrasi prosedural. Namun, jauh lebih penting esensi demokrasi yaitu keadilan. Konsep kedepan dalam membangun perdamaian dan mensejahterakan rakyat Aceh dapat terwujud.
Pengakhiran Konflik pasca Pemilukada
Pertama, bahwa konflik adalah suatu yang wajar dan dapat terjadi kapan saja sebagai (interaksi) realitas kehidupan social, konflik dapat mengeratkan hubungan, kreatifitas dan sebagainya. Namun, yang harus dihindari adalah Kekerasan, baik kekerasan secara langsung maupun kekerasan yang tidak terjadi secara langsung.
Untuk menyelesaikan konflik dengan kekerasan secara permanen maka dibutuhkan pengetahuan sebab akibat dan akar daripada penyebab konflik tersebut karena kalau tidak tahu akar penyebabnya maka konflik sebagai benang kusut, bisa-bisa menjadi konflik laten yang terkumpul “alam bawah sadar” kemudian menjadi besar dan meletus sebagai bom waktu seperti “api dalam sekam”. Nah, bila meledak dan sangat besar maka akan terjadi kekerasan. Konflik laten juga harus dikeluarkan menjadi konflik terbuka agar tahu akar permasalahan.
Dus, dalam ranah Pilkada sumber potensi konflik, terutama terdapat kelemahan baik pada beberapa ketentuan maupun dari proses mulai dari tahapan persiapan hingga pasca pemilihan. Kedua, sumber rawan konflik berikutnya adalah berasal dari karakteristik politik lokal dan tingkah laku rata - rata elit partai politik, elit masyarakat, para calon konstestan atau pemilih yang belum kondusif bagi sebuah penyelenggraan pemilihan langsung dan memang potensi kerawanan konflik cukup besar dalam Konflik antara kelompok pendukung, konflik karena karakteristik, suku, marga, atau agama yang berbeda dan ini menjadi bahaya laten dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum.
Akhirnya. Semoga Pemilukada dapat menjadi Resolusi Konflik. Rakyat Aceh mendapat pemimpin yang dipilih secara demokratis: Bupati/Wakil Bupati. Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/ Wakil Gubernur terpilih menjadi Pemimpin untuk semua golongan rakyat Aceh dalam membangun Aceh yang bermartabat menuju Perdamaian dan kesejahteraan bersama. Ingat petuah Srikandi Aceh Tjut Nyak Dien “ Bek na lee prang”. Semoga.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !