Oleh: Dr. Syabuddin Gade, M.Ag
Kehidupan muda-mudi Islam dewasa ini sering terperosok ke dalam 'lobang buay'a yang sangat dalam. Rasa malu sudah hampir-hampir punah dan tercabut dalam jiwa mereka sementara 'keberanian' berbuat maksiat semakin menjadi-jadi. Justru suatu pemandangan yang dianggap ‘aneh’ bila ada remaja yang merasa malu melakukan maksiat. Gelaran ‘kuper’, ‘kutu buku’, ‘sok alim’, ‘anak kampungan’, atau yg lain bakal segera menghampirinya.
Di kala rasa malu sudah terkikis dalam, mereka tidak sungkan lagi melakukan segala sesuatu yg dianggap 'aib oleh syariat. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW, dari Ibn Mas’ud: "Sesungguh di antara apa yang didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yang terdahulu adalah ‘Apabila engkau tidak malu maka lakukan apa pun yang engkau mau’.” (H.R. Bukhari).
Mengapa rasa malu mulai memudar bahkan ada yang sudah tercabut dari lubuk hati remaja kita? Jawabnya secara ringkas, karena imannya sudah mulai pudar dan menipis. Semakin redup dan pudar iman seseorang, maka semakin terkikis rasa malu dalm jiwanya. Sebaliknya rasa malu akan semakin tumbuh dan berkembang ketika iman semakin kukuh bercahaya. Bukankah malu merupakan sebahagian dari iman?
Malu
Kata malu الحياء (malu) adalah leburan dari kata الحياة (hidup). Malu dibangun diatas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia adalah orang mati di dunia dan kecelaka di akhirat.
Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Bari berkata, berkata Ar Raghib "malu adalah menahan jiwa dari segala keburukan, ia adalah kekhususan manusia untuk menahan dari segala bentuk keinginan agar tidak seperti binatang".
Berkata yang lainnya malu adalah menahan diri karena takut melakukan perbuatan yang tidak disukai, lebih umum dari sekedar menurut syar’i atau menurut akal atau menurut kebiasaan, tidak malu dalam ruang lingkup syari’ah adalah fasiq, tidak malu dalam kategori akal adalah gila, dan tidak malu dalam hal ‘urfi (kebiasaan) adalah kepandiran.
Malu dalam kewajiban adalah haram, malu dalam perkara yang makruh adalah mustahab (sangat dianjurkan) dan malu dalam hal yang mubah adalah kebiasaan manusiawi (fathul bari, 1/89)
Rasa malu dibagi menjadi dua : Pertama, rasa malu sifat dasar atau fithrah/tabi’at manusia. Malu fithri adalah : malu yang difithrahkan oleh Allah kepada diri menusia, seperti malu seorang yang untuk membuka auratnya, atau berzina depan umum. Sebagaimana yang dialalami oleh bapak kita Nabi Adam AS dan Siti Hawa. Sebagaimana firman Allah : “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga”. (Thaha : 121)
Kedua, malu karena dorongan keimanan. Haya’un muktasab adalah malu karena dorongan keimanan untuk mencegah seorang mu’min dari kemaksiatan karena malu kepada Allah jalla wa’ala. Rasa malu akan melahirkan penghayatan terhadap nikmat beriringan dengan intropeksi diri terhadap kelalailai kita dihadapan Allah.
Rasulullah bersabda : “Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridlai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak meperdulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.” (H.R Bukhari,Muslim dan Ahmad).
Orang yang memiliki rasa malu akan memperioleh kebajikan. Rasulullah SAW menyatakan demikian dalam sabda yang disampaikan oleh ‘Imran bin HushainRA : “Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.” Jika tidak ada rasa malu, maka tentu manusia ini akan cenderung melakukan apa yang ia sukai dan bertindak seperti binantang.
Iman
Secara etimologis kata “iman” berasal dari bahasa Arab yang artinya pembenaran hati (percaya). Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan/tindakan/perbuatan. (Lihat: At-Taudhiih wal Bayaan li Syaratil Iimaan, karya Imam Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, dan At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-’Ali, karya Al-Allamah Shalih Fauzan Al-Fauzan).
Dengan demikian, pengertian beriman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Islam.
Malu sebahagian dari Iman
Rasul SAW melarang seorang sahabat yg mencela teman kerena rasa malu yg dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar RA, NabiSAW pernah menjumpai seseorang yg sedang mencela saudara krn malu. Dia mengatakan “Kamu ini merasa malu” sampai dia katakan “Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” maka Rasulullah SAW pun berkata “Biarkan dia karena malu itu termasuk keimanan.”
Abu Hurairah RA pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yg paling utama adl ucapan ‘tak ada sesembahan yg haq kecuali Allah’ yg paling rendah menghilangkan gangguan dari jalan dan malu itu salah satu cabang keimanan.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu dan ulama yg lain menjelaskan “Sesungguh malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Bahkan malu dan iman ibarat sekeping mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Abdullah bin ‘Umar RA pernah mengatakan: “Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari kedua hilang pula yg lainnya.”
Menumbuhkan rasa malu dengan Memperkuat Iman
Bagaimana caranya manusia memiliki rasa malu. Jawabnya adalah perkukuh iman. Bagaimana caranya memperkukuh iman? Hal itu bisa dilakukan dengan cara membaca Kitabullah; mengkajinya dan mentadabburi makna dan hukum-hukumnya, mengkaji sunnah Nabi SAW dan mengaetahui rician syariat darinya, mengamalkan isinya dan komitmen terhadapnya dalam perbuatan dan ucapan; menjadikan diri selalu dalam pengawasan Allah dan menyadarikan hati akan keagunganNya; mengingat hari akhir dan adanya hisab, pahala, siksa dan kepedihan serta hal-hal yang menyeramkan; bergaul dengan orang-orang yang dikenal keshalihannya dan menjauhi para pelaku kejahatan dan kerusakan. (Kumpulan Fatwa Islam, Lajnah Da’imah, Jus IV, hal. 495)
Penutup
Iman yang kukuh akan menimbulkan rasa malu yang dalam, rasa malu akan mendatangkan kebaikan. Hiasilah drimu dengan rasa malu dan iman yang kukuh! Hidupkan malumu dengan beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, dan Qadha dan Qadar-Nya. Wallhu A’lam
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !