Headlines News :
Home » » Tantangan Dayah di Era Moderen

Tantangan Dayah di Era Moderen

Written By MAHA KARYA on Friday, March 25, 2011 | 3/25/2011

Khatib : Ust. Syarifuddin, MA., Ph.D

Salah satu lembaga pendidikan tertua di Aceh adalah dayah. Kata dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah, yang secara literal bermakna sudut. Ini diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan menyebut sudut masjid Madinah ketika nabi memberi pelajaran kepada para shahabat di awal Islam.

Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama. Pada waktu-waktu tertentu juga dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.

Perspektif sejarah
Sejak Islam menapak di Aceh hingga tahun 1903, tidak ada lembaga pendidikan di Aceh kecuali dayah. Dayah lah yang mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, dan sebagainya.

Ulama, bagi masyarakat Aceh sering dipanggil abu atau teungku. Secara kultural, abu atau teungku merupakan orang-orang tamatan dayah, atau setidaknya pernah belajar di lingkungan dayah. Untuk kultur Aceh, dayah masih dipandang sebagai soko guru pendidikan agama dan keulamaan. Posisi ulama di Aceh tidak hanya sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi juga sebagai pemimpin-pemimpin dan panglima perang. Mereka juga selalu dapat membuat interpretasi situasional berdasarkan nilai agama.

Ketika Iskandar Muda memerintah Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syeikh Syamsuddin al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti yang bertanggungjawab dalam urusan keagamaan. Nuruddin Ar-Raniri dipilih sebagai Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam pada periode Sultan Iskandar Tsani. Ulama ini bertugas tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam ekonomi dan politik. Syeikh 'Abdul Rauf al-Singkili di tetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaan Islam Aceh selama periode empat orang ratu di Aceh. Abdul Rauf sudah banyak meninggalkan jasanya dalam menyelesaikan konflik-konflik masyarakat Aceh (Hasbi: 2008).

Konteks kesejarahan di atas memberikan kemungkinan-kemungkinan menarik dalam perkembangan dayah. Pendidikan dayah merupakan latar belakang pendidikan yang mampu membentuk pola pikir dan prilaku santri serta masyarakatnya. Ini adalah fakta yang menunjukkan kebutuhan riil masyarakat akan peran partisipatif pendidikan dayah dalam menjawab problematika dan tantangan modernitas.

Salah satu sisi penting masa kini adalah respon dayah terhadap di kalangan masyarakat Aceh kontemporer. Apa yang dilakukan sebuah lembaga pendidikan Islam, dianggap “tradisional” dalam merespon perubahan-perubahan yang sedang terjadi di sekelilingnya. Perubahan ini baik dalam konteks yang luas seperti perubahan sosial politik lokal maupun nasional, atau perubahan dalam bentuk strategi dan muatan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Termasuk dalam hal kurikulum pendidikan dengan segala perubahan dan penyesuaiannya.

Menjawab Tantangan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menjawab tantangan modernitas dunia pendidikan. Pertama, perlunya proses reorientasi ulama dayah. Ulama dayah adalah tokoh kunci dalam kemajuan sebuah dayah itu sendiri. Sebagai public figure dalam komunitas masyarakat lokal, ulama dayah haruslah memiliki karakter kepemimpinan dan penguasaan ilmu agama yang tinggi. Ulama dayah dianggap sebagai culture symbol dan tokoh yang jadi panutan masyarakat dalam hukum-hukum Islam.

Kedua, harapan masyarakat umum agar pendidikan dayah tetap menjalankan peran pentingnya dalam transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi calin-calon ulama. Ketiga, dayah dituntun mampu memberikan perhatian pada penguatan keterampilan santri dan keahlian (life skill) pada bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan ciri masa globalisasi.

Keempat, perlu terobosan keterlibatan dayah dalam program-program non-kependidikan seperti pengembangan dayah sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi. Dan terakhir, penguatan kelembagaan dan manajemen dayah. Adanya Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah, berdasarkan qanun nomor 5 Pemerintahan Aceh, mengharuskan dayah untuk memperkuat dan memberdayakan kelembagaan dan pengembangan manajemen, yang bertitiktolak pada prinsip-prinsip kemandirian (otonom), akuntabilitas dan kredibilitas, yang sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan lain, agaknya dapat pula mulai dikaji dan dikembangkan di lingkungan pendidikan dayah.

Meski dayah menghadapi berbagai tantangan, peluang bagi pendidikan dayah jelas masih tetap besar. Pendidikan dayah harus berperan aktif menjawab tantangan dan tuntutan modernitas sesuai dengan perkembangan dan pembangunan masyarakat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin