Opini | M. Syukur Hasbi
Mahasiswa Universitas Al Mustafa,
Iran
Kemestian untuk taat memegang
peranan penting dalam memahami hakikat hukum-hukum taklifi dalam syari’at. Ia
seharusnya lebih terdahulu untuk dipahami sebelum hukum-hukum itu dilaksanakan
dalam bentuk perintah (wajib) dan larangan (haram). Sehingga dengannya tidak
lahir keengganan atau keberatan dalam pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Sebagaimana diketahui,
hukum-hukum syariat bagi muslim (taklifi) yang sudah mukallaf itu sendiri
dibagi menjadi lima;
wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah. Baginya akan berlaku wajib shalat,
puasa, zakat, haji, dan seterusnya, termasuk perbuatan-perbuatan
mustahab. Seperti halnya juga haram zina, riba, mencuri, dan
seterusnya, termasuk perbuatan-perbuatan makruh.
Kepada kita hanya diminta untuk
mengikuti perintah dan meninggalkan larangan atas hukum-hukum tersebut, walau
kita tidak mengetahui hakikatnya di sisi Allah. Artinya, kita tidak tau kenapa
Allah menyuruh kita ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya di dalam shalat.
Kenapa shalat subuh dua rakaat tidak empat atau lima, kenapa sebelum shalat harus wudu’ tidak
mandi dan seterusnya. Kita juga tidak mengetahui kenapa harus menahan lapar
(puasa) di bulan ramadhan, tidak di bulan lainnya.
Sebab, apa saja yang diperintah
oleh Rasulullah swt yang tentunya dari Allah swt harus mengamalkannya, begitu
juga harus meninggalkan apa saja yang dilarang olehnya, sebagaimana termaktub
dalam al-Quran surat al-Hasyr,
ayat tujuh. Di sini bukan tempatnya bertanya kenapa terhadap hukum-hukum
syariat itu, tapi hanya mengamalkan saja. Ini berbeda dengan
hukum-hukum buatan manusia, dimana kita bisa mengetahui sebab-sebab hukum itu
dan bisa mengkritik atau mengusulkan pendapat kita terhadapnya.
Tentu saja kita meyakini
secara i’tibari (bukan hakekat) bahwa segala aturan-aturan yang
ditujukan kepada manusia adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia itu
sendiri. Keyakinan ini lebih masuk akal dari pada pendapat sebagian ulama ilmu
kalam bahwa Allah berhak dan berkuasa memberi aturan apa saja yang dikehendaki
kepada manusia, baik adanya kemaslahatan maupun tidak.
Namun yang menjadi pembahasan
kita kali ini adalah apa hakikat dari hukum-hukum taklifitersebut
diberikan kepada manusia? Kenapa kita harus menjalankan apa yang diperintahkan
dan meninggalkan apa yang dilarangnya? Apakah kita butuh kepada aturan-aturan
itu? Dan berbagai pertanyaan laninya.
Tidak lain, hakikat dari
hukum-hukum taklifi itu merupakan bentuk dari keharusan dan kemestian
taat (haqqut at-ta’ah) kepada Allah ta’ala selaku Pencipta,
Pemelihara, Penjaga atau Pemberi nikmat kepada manusia. Keharusan taat ini
lebih terdahulu (muqaddam) dari amalan-amalan perintah dan larangan dalam
syariat (muakkhir).
Sebagai contoh untuk mendekatkan
pemahaman, ketika anda mengakui atau mengangkat seseorang sebagai atasan di
kantor kerja, secara otomatis anda punya keharusan taat kepadanya sebagai
atasan untuk mengikuti apa saja yang diperintahkan. Ketika atasan menyuruh anda
menfotocopy atau membeli sesuatu, anda seharusnya tidak berhak bertanya kenapa
ini difotocopy tidak itu, kenapa harus dibeli ini bukan itu dan seterusnya.
Malah bila terlalu banyak bertanya, bisa-bisa anda dipecat sebagai bawahannya.
Seperti halnya syariat Islam di
Aceh, terlepas dari kekurangan di sana
sini, bila keberadaannya dipandang sebagai bentuk dari haqqut
at-ta’ah kepada Allah akan lebih bermakna dari pada sekedar qanun-qanun
perintah dan larangan. Karena dengan mengetahui keharusan taat tersebut,
dengan sendirinya kita akan butuh kepada syariat Islam itu sendiri.
Boleh dikatakan bahwa hukum-hukum
syariat seperti wajib, haram, makruh, mustahab dan mubah itu banyak dimasukkan
dalam cabang-cabang agama (furu’uddin). Karena tugasnya mutlak mengamalkan apa
yang diperintahkan (wajib) serta meninggalkan apa yang dilarang (haram). Ketika
tidak mengindahkan perintah-perintah tersebut (ingkar), maka sudah merupakan
keadilan dan keharusan Allah untuk menghukum manusia tersebut. Begitu juga
keharusan memberi fahala berdasarkan keadilan-Nya bagi yang mengikuti perintah.
Sementara persoalan haqqut
at-ta’ah itu sendiri lebih kepada pembahasan ketauhidan (ushuluddin).
Ketika meyakini tentang keharusan adanya Allah (wajibul
wujud) sebagai pencipta, pemelihara dan pemberi nikmat atas segala
sesuatu, maka akan lahir keharusan untuk tunduk, patuh, taat kepadanya. Darinya
akan lahir kepatuhuan untuk menjalankan apa yang diwajibkan dan menjauhi yang
diharamkan.
Akal manusia mengetahui keharusan
adanya haqqut at-ta’ah tersebut, namun akal tidak mengerti bentuk
atau amalan-amalan yang harus dilakukan. Karena itu, datanglah para nabi dan
rasul sebagai duta Allah dalam mengajarkan bentuk-bentuk ibadah tersebut kepada
manusia dalam bentuk hukum taklifi dalam syari’at.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !