Headlines News :
Home » » Hakikat Keharusan Taat

Hakikat Keharusan Taat

Written By MAHA KARYA on Friday, May 16, 2014 | 5/16/2014

Opini | M. Syukur Hasbi
Mahasiswa Universitas Al Mustafa, Iran

Kemestian untuk taat memegang peranan penting dalam memahami hakikat hukum-hukum taklifi dalam syari’at. Ia seharusnya lebih terdahulu untuk dipahami sebelum hukum-hukum itu dilaksanakan dalam bentuk perintah (wajib) dan larangan (haram). Sehingga dengannya tidak lahir keengganan atau keberatan dalam pelaksanaan hukum-hukum tersebut.

Sebagaimana diketahui, hukum-hukum syariat bagi muslim (taklifi) yang sudah mukallaf itu sendiri dibagi menjadi lima; wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah. Baginya akan berlaku wajib shalat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya, termasuk perbuatan-perbuatan mustahab.  Seperti halnya juga haram zina, riba, mencuri, dan seterusnya, termasuk perbuatan-perbuatan makruh.

Kepada kita hanya diminta untuk mengikuti perintah dan meninggalkan larangan atas hukum-hukum tersebut, walau kita tidak mengetahui hakikatnya di sisi Allah. Artinya, kita tidak tau kenapa Allah menyuruh kita ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya di dalam shalat. Kenapa shalat subuh dua rakaat tidak empat atau lima, kenapa sebelum shalat harus wudu’ tidak mandi dan seterusnya. Kita juga tidak mengetahui kenapa harus menahan lapar (puasa) di bulan ramadhan, tidak di bulan lainnya.

Sebab, apa saja yang diperintah oleh Rasulullah swt yang tentunya dari Allah swt harus mengamalkannya, begitu juga harus meninggalkan apa saja yang dilarang olehnya, sebagaimana termaktub dalam al-Quran surat al-Hasyr, ayat tujuh. Di sini bukan tempatnya bertanya kenapa terhadap hukum-hukum syariat itu, tapi hanya mengamalkan  saja. Ini berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia, dimana kita bisa mengetahui sebab-sebab hukum itu dan bisa mengkritik atau mengusulkan pendapat kita terhadapnya.

Tentu saja kita meyakini secara i’tibari (bukan hakekat) bahwa segala aturan-aturan yang ditujukan kepada manusia adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia itu sendiri. Keyakinan ini lebih masuk akal dari pada pendapat sebagian ulama ilmu kalam bahwa Allah berhak dan berkuasa memberi aturan apa saja yang dikehendaki kepada manusia, baik adanya kemaslahatan maupun tidak.

Namun yang menjadi pembahasan kita kali ini adalah apa hakikat dari hukum-hukum taklifitersebut diberikan kepada manusia? Kenapa kita harus menjalankan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarangnya? Apakah kita butuh kepada aturan-aturan itu? Dan berbagai pertanyaan laninya.

Tidak lain, hakikat dari hukum-hukum taklifi itu merupakan bentuk dari keharusan dan kemestian taat (haqqut at-ta’ah) kepada Allah ta’ala selaku Pencipta, Pemelihara, Penjaga atau Pemberi nikmat kepada manusia. Keharusan taat ini lebih terdahulu (muqaddam) dari amalan-amalan perintah dan larangan dalam syariat (muakkhir).

Sebagai contoh untuk mendekatkan pemahaman, ketika anda mengakui atau mengangkat seseorang sebagai atasan di kantor kerja, secara otomatis anda punya keharusan taat kepadanya sebagai atasan untuk mengikuti apa saja yang diperintahkan. Ketika atasan menyuruh anda menfotocopy atau membeli sesuatu, anda seharusnya tidak berhak bertanya kenapa ini difotocopy tidak itu, kenapa harus dibeli ini bukan itu dan seterusnya. Malah bila terlalu banyak bertanya, bisa-bisa anda dipecat sebagai bawahannya.

Seperti halnya syariat Islam di Aceh, terlepas dari kekurangan di sana sini, bila keberadaannya dipandang sebagai bentuk dari haqqut at-ta’ah kepada Allah akan lebih bermakna dari pada sekedar qanun-qanun perintah dan larangan. Karena dengan mengetahui keharusan taat tersebut, dengan sendirinya kita akan butuh kepada syariat Islam itu sendiri.

Boleh dikatakan bahwa hukum-hukum syariat seperti wajib, haram, makruh, mustahab dan mubah itu banyak dimasukkan dalam cabang-cabang agama (furu’uddin). Karena tugasnya mutlak mengamalkan apa yang diperintahkan (wajib) serta meninggalkan apa yang dilarang (haram). Ketika tidak mengindahkan perintah-perintah tersebut (ingkar), maka sudah merupakan keadilan dan keharusan Allah untuk menghukum manusia tersebut. Begitu juga keharusan memberi fahala berdasarkan keadilan-Nya bagi yang mengikuti perintah.

Sementara persoalan haqqut at-ta’ah itu sendiri lebih kepada pembahasan ketauhidan (ushuluddin). Ketika meyakini tentang keharusan adanya Allah (wajibul wujud) sebagai pencipta, pemelihara dan pemberi nikmat atas segala sesuatu, maka akan lahir keharusan untuk tunduk, patuh, taat kepadanya. Darinya akan lahir kepatuhuan untuk menjalankan apa yang diwajibkan dan menjauhi yang diharamkan.

Akal manusia mengetahui keharusan adanya haqqut at-ta’ah tersebut, namun akal tidak mengerti bentuk atau amalan-amalan yang harus dilakukan. Karena itu, datanglah para nabi dan rasul sebagai duta Allah dalam mengajarkan bentuk-bentuk ibadah tersebut kepada manusia dalam bentuk hukum taklifi dalam syari’at.
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin