Setelah sebulan atau beberapa minggu menunaikan ibadah haji, kini jutaan jamaah haji dari seluruh dunia kembali ke kampung halaman dalam arti sebenarnya. Dan sebagian lagi kembali ke kampung halaman abadi (wafat di tanah suci). Perkembangan teknologi dan berbagai hal mempercepat proses beribadah haji. Bandingkan puluhan atau ratusan tahun lalu, orang naik haji menghabiskan waktu minimal enam bulan melalui kapal laut. Kini dalam kisaran 8–15 jam tergantung embarkasi, kita sudah mendarat di lapangan udara Jeddah.
Mayoritas yang telah berhaji ingin kembali berhaji. Selalu ada kerinduan untuk bersujud di Ka’bah. Mengapa tidak? Selama berminggu-minggu di Mekkah dan Madinah, kita sangat asyik beribadah, berdialog serta memohon kepada Allah SWT. Kita merasakan sangat dekat dengan Sang Khalik.
Boleh dikatakan selama di Tanah Suci, kita tenggelam dalam rutinitas membersihkan diri dari noda-noda dosa. Yang pelit di kampung bisa tiba-tiba dermawan, shalat lima waktu di masijd dan sebagainya. Ada perasaaan nyaman dan tenang. Tidak sedikit yang berjanji melanjutkan kebiasaan itu di Serambi Mekkah. Semua yang berhaji berdoa agar memperoleh haji mabrur. “Di antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keinginan melanjutkan ibadah-ibadah selama di Mekakh dan Madinah ke kampung mesti diniatkan sejak awal. Ada perasaan selama di Kota Suci itu berkurang dosa yang dibawa dari Tanah Air. Selama di Rumah Allah, tidak ada waktu memfitnah, korupsi, menipu, meneror dan sebagainya. Kita larut mengamalkan sikap sabar, tabah, berpikir baik kepada teman-teman serta memastikan uang yang digunakan untuk ONH dan keperluan beribadah haji berasal dari uang yang halal 100 persen.
Jika selama 30-40 hari di Tanah Suci kita berusaha menjadi umat yang taat, namun setelah kembali ke tanah air, tidak semua hal-hal yang baik selama di sana berlanjut ke tanah air. Jika kebaikan selama berhaji bisa dibawa dalam kehidupan sehari-hari, maka korupsi di Indonesia pun berkurang bahkan bisa hilang, sebab tidak sedikit yang jadi koruptor adalah yang sudah berhaji. Malahan ada yang korupsi pengadaan al-Quran dan pembangunan masjid. Ini sangat ironis jika dilakukan oleh pejabat-pejabat yang rajin berhaji juga rajin korupsi atau menerima suap. Padahal hakikat berhaji adalah menjadikan kita lebih baik dalam segala aktivitas.
Semestinya, setelah menunaikan Rukun Islam kelima, maka karakter pejabat untuk melayani warga semakin baik. Menjadi birokrat bermakna menjadi pelayan masyarakat. Tidak mempersulit kebutuhan penduduk. “Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari)
Kita tidak perlu repot-repot melihat siapa saja yang sudah memperoleh haji mabrur. Sebab ciri-ciri haji mabrur yang paling utama yakni berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Tidak lagi berbicara yang kasar atau menyakiti pihak lain terutama orang miskin atau pesuruh di kantor/bawahan.
Apakah haji mabrur hanya diperoleh setelah berhaji? Belum tentu juga. dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali disebutkan ada umat yang sudah meraih haji mabrur padahal tidak berhaji. Dia gagal berangkat lantaran menyerahkan ongkos hajinya untuk memberi makan orang miskin. Murizal Hamzah
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !