Oleh: Drs. Tgk. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd.
Ibadah Haji bagi pribadi muslim adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan jika telah mencapai syarat “istitha’ah”. Setiap tahun jumlah masyarakat yang melakukan ibadah haji semakin bertambah, semoga saja ibadah haji tidak dilakukan sebagai seremonial semata, tanpa dapat diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku setelah haji serta umrah. Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima difardhukan bagi setiap muslim yang mampu sebanyak satu kali dalam seumur hidup.
Ibadah Haji bagi pribadi muslim adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan jika telah mencapai syarat “istitha’ah”. Setiap tahun jumlah masyarakat yang melakukan ibadah haji semakin bertambah, semoga saja ibadah haji tidak dilakukan sebagai seremonial semata, tanpa dapat diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku setelah haji serta umrah. Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima difardhukan bagi setiap muslim yang mampu sebanyak satu kali dalam seumur hidup.
Dalam Al Quran dinyatakan: “Mengerjakan haji adalah suatu kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi mereka yang mampu untuk melakukan perjalanan ke baitullah. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban tersebut maka sesungguhnya Allah itu tidak memerlukan sesuatu daripada seluruh alam semesta” (Surah Ali Imran : 97).
Ibadah haji dilakukan secara sempurna dengan melakukan beberapa bentuk ibadah yang termasuk dalam rukun dan wajib haji seperti thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di Mudzdalifah, melontar jamrah, tahallul dan lainnya sebagai bagian dari aktivitas ibadah yang dilakukan untuk mencari keridhaan Allah. Ibadah haji, bukan hanya sebatas ritual saja, tetapi sarat tujuan dan makna filosofis. Rukun dan wajib haji tidak hanya merupakan ibadah semata, tetapi mempunyai makna dan falsafah mendalam sebagai pelajaran berharga baik bagi pelaksana ibadah haji itu sendiri maupun bagi kita yang tidak melaksanakannya, mari kita coba perhatikan beberapa falsafah dari pelaksanaan ibadah haji untuk meningkatkan rasa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Pertama, Makna dan Falsafah Ihram. Ihram adalah lambang kesucian diri, itulah sebabnya dalam ihram kita memakai pakaian yang suci dan bersih. Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci tanpa dosa. Setelah baligh dan dewasa, manusia menjalani kehidupan dengan memilih jalan hidupnya masing masing. Sepatutnya manusia yang dilahirkan dalam keadaan suci ini harus dapat kembali kepada Tuhan, menghadap kepada-Nya juga dalam keadaan suci. Kesucian diri inilah yang merupakan kehormatan seorang muslim. Itulah sebabnya sebelum menghadap Allah, mengunjungi baitullah, jamaah haji perlu melakukan ihram dengan pakaian yang suci dan bersih. Sebelum menghadap Allah, manusia perlu mensucikan dirinya terlebih dahulu, mensucikan badannya, mensucikan hatinya, mensucikan pikirannya, mensucikan harta kekayaannya, dan mensucikan seluruh kehidupannya. Kesucian diri dalam menghadap Tuhan adalah syarat mutlak sebab Tuhan yang Maha Suci hanya menerima sesuatu yang suci. Kesucian diri dan siap untuk menghadap Ilahi inilah makna daripada ihram bagi jamaah haji dan umrah.
Kedua, Makna dan Falsafah Talbiyah. Kesucian diri dan kesiapan diri dalam memenuhi panggilan Allah harus dinyatakan dengan lisan. Inilah sebabnya jamaah haji dan umrah setelah memakai pakaian ihram dan berniat ihram diharuskan untuk mengucapkan lafadz talbiyah : “Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syariika laka, Inal hamda wanni’mata wal mulka laka..laa syarika lak”. “Ya Allah, aku datang menghadapmu Ya Allah, memenuhi seruan-Mu… Aku datang menghadap-Mu tanpa ada sedikitpun syirik kepada-Mu..Sesungguhnya segala pujian, segala kenikmatan, segala kekuasaan , semuanya itu adalah milik-Mu, tiada sedikitpun syirik kepada-Mu “. Ucapan talbiyah ini adalah sikap untuk memenuhi seruan Allah dengan sikap tauhid, tanpa sedikitpun syirik kepada-Nya. Manusia akan lulus di depan Allah jika dia dapat menghadap Allah tanpa sedikitpun syirik kepada-Nya, walaupun hanya riya dan ujub sekalipun.
Sudahkah amal perbuatan kita terlepas dari syirik..? Sudahkah harta kekayaan kita terlepas daripada syirik? Sudahkah kekuasaan kita terlepas daripada syirik..? Sudahkan semua kenikmatan, harta kekayaan, kekuasaan, kehidupan kita kita pergunakan sesuai dengan seruan dan perintah Allah..? Sadarkah kita bahwa segala sesuatu nanti semuanya akan dipertanggungjawabkan di depan Allah, akan ditanya di depan mahkamah Ilahi..? Inilah makna talbiyah, kesiapan diri untuk menjawab panggilan Tuhan, kesiapan diri untuk mempersembahkan seluruh kehidupan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Inilah makna “labbaikallahumma labaik” Ya Allah..aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu ya Allah.
Ketiga, Makna dan Falsafah Thawaf. Dalam melakukan ibadah haji umat Islam melakukan thawaf, yaitu ibadah dengan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Ka’bah adalah tempat beribadah kepada Allah yang pertama kali dibangun oleh manusia. “Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibina untuk tempat beribadah bagi manusia adalah Baitullah di kota Makkah yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi umat manusia “ (Surah Ali Imran : 96 ). Thawaf melambangkan nilai-nilai tauhid. Dalam thawaf manusia diarahkan agar selalu mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana dekatnya badan dengan ka’bah. Mendekatkan diri kepada Allah bukan hanya satu kali saja, tetapi berulang kali dan setiap waktu dalam kehidupan, sebagaimana dilambangkan dalam ibadah thawaf yang dilakukan tujuh kali putaran. Ini melambangkan agar manusia selalu mendekatkan diri kepada Allah selama tujuh hari dalam seminggu, bermakna manusia harus dapat mendekatkan diri kepada Alah setiap saat dan setiap hari dalam kehidupan.
Keempat, Makna dan Falsafah Ibadah Sa’i. Kehormatan diri di dunia hanya dapat dicapai dengan etos kerja dan usaha. Kekayaan dan kesenangan hidup di dunia dapat diraih dengan kerja sepenuh tenaga. Semangat kerja yang tak mengenal penat dan terus menerus inilah yang dilambangkan dalam ibadah Sa’i yang dilakukan dengan berjalan dan berlari sebanyak tujuh kali putaran dari satu bukit Safa menuju bukit Marwah. Ibadah ini melambangkan kepada manusia jika ingin berhasil maka dia harus melakukan kerja keras menaklukkan bukit dan gunung dan seluruh potensi alam yang dilakukan dengan terus menerus. Sa’i diharuskan untuk mendidik umat Islam supaya dapat menguasai dunia, menjadi khalifah dengan cara bekerja keras, berdisiplin, berusaha dengah sepenuh tenaga. Sa’i mendidik umat Islam agar menjadi umat kuat baik material maupun spiritual tidak menjadi manusia malas dan lemah.
Kelima, Makna dan Falsafah Wuquf di Arafah. Setelah Thawaf sebagai simbul kedekatan dan ketaatan kepada Allah dan Sa’i sebagai simbul usaha dan kinerja, maka umat Islam yang sedang melakukan haji harus melakukan ibadah wukuf di Arafah yang dilakukan pada sembilan dzulhijjah. “Wukuf”yang berasal dari kata “wa-qa-fa” bermakna berhenti, sedang kata-kata “Arafah” yang berasal dari kata “a-ra-fa” bermakna mengenal. Dalam ibadah wukuf di padang Arafah semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di depan Allah sebagai hamba.
Dengan wukuf, dimaksudkan agar manusia yang telah mencapai bahagia di akhirat dengan simbul ibadah thawaf, dan mencapai bahagian dunia dengan simbul ibadah sa’i, jangan merasa sombong dan takabbur. Karena ibadah wukuf di Arafah ini akan menimbulkan sikap rahmah, sikap kasih sayang sesama makhluk baik yang kaya maupun miskin, yang berpangkat atau rakyat biasa, semuanya sama pada saat wukuf di arafah, sikap inilah yang dilambangkan dengan adanya Jabal Rahmah, sebuah bukit yang berada di Arafah. Di Jabal Rahmah, Nabi Adam dan Hawa bertemu kembali setelah berpisah dari surga, mereka bertemu untuk memberikan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Itulah sebabnya dengan wukuf di Arafah ini kita dididik untuk menjadi manusia yang mempunyai rasa kasih dan rasa sayang kepada semua makhluk, untuk tercapainya persaudaraan dan persatuan dengan landasan iman.
Keenam, Makna dan Falsafah Tahallul. Tahallul adalah menggunting rambut untuk melepaskan diri dari ihram. Islam adalah agama yang mengatur hubungan dengan Allah dan juga dengan manusia yang lain. Ibadah dalam Islam bukan hanya berhubungan dengan Allah sahaja tetapi juga mencakupi hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan manusia dan makhluk yang lain.
Oleh sebab itu kesempurnaan ibadah bukan hanya terbatas dengan melakukan shalat dan zikir sahaja, tetapi juga harus dilengkapi dengan zakat, sedekah, menolong faqir miskin, berbuat baik kepada orangtua, saudara dan jiran dan lain sebagainya. Sikap berbuat baik dan membantu yang lain inilah yang terdapat dalam pelajaran tahallul. Dengan mengunting rambut, berarti kita bersedia memberikan sesuatu yang kita miliki kepada orang lain. Rambut adalah kebanggaan setiap insan, maka memberikan sesuatu yang berharga baik itu tanaga, pikiran, harta kekayaan dan apa saja yang dimilikinya kepada orang lain adalah merupakan kesempurnaan iman.
Disinilah perlunya memahami secara tulus pelaksanaan ibadah haji, bukan hanya sebatas ritual saja, tetapi makna filosofisnya. Haji hanyalah simbol yang amat indah. Apabila dihayati dan dimaklumi serta diamalkan secara baik dan benar, ibadah ini akan melahirkan kesadaran Ilahiyah dan Islamiyah. Sehingga gelar haji bukan sekedar atribut semata, tetapi sebagai anugerah tuhan untuk menjadi sosok yang patut diteladani. Bukan saja dalam hubungan nya dengan Allah (theologis spiritual) tetapi juga hubungannya dengan sesama dan alam lingkungan (sosiologis-humanis). Inilah makna konstektual ibadah haji yang mabrur.
KHATIB, Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh
KHATIB, Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !