Manusia ibarat ulat bulu. Kadang keberadaannya dapat membuat orang lain gatal karena ia suka menyakiti hati saudaranya dan mendhalimi hak-hak orang lain. Bukan tidak sedikit orang yang mereguk kesenangan di atas penderitaan orang lain. Ia makan apa saja meskipun bukan haknya. Seorang muslim dikatakan berhasil menjalani ibadah Ramadan, diukur dari perubahan sikap pribadi menjadi lebih baik. Artinya setelah Ramadan pribadi keseharian seorang muslim harus menjadi lebih baik dalam bersikap dan bertindak. Selama sebulan ummat Islam mendapat pendidikan berharga dari pesantren Ramadhan.
Dampakpun kian terasa tidak hanya secara fisik namun juga psikis dan spiritual. Seyogianya orang-orang yang berpuasa akan melahirkan dampak positif menjadi manusia paripurna atau insan muttaqin sebagaimana difirmankan Allah "la 'allakum tattaqun". Ibarat kupu-kupu dengan sayapnya yang cantik dan warna warni, sesungguhnya sebelumnya berupa ulat bulu yang menjijikkan, namun melalui proses metamorfosa menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang disukai banyak orang.
Secara sunatullah, ulat bulu menjalani puasa dalam kepompong selama beberapa hari untuk selanjutnya keluar menjadi makhluk lain yang berubah ujud secara totalitas. Jika manusia berhasil menjadi "kupu-kupu" setelah Ramadhan, maka tidak boleh kembali lagi menjadi ulat bulu. Harus ada tekad dari pribadi masing-masing untuk menuju perubahan. Seyogianya puasa dapat meningkatkan kedisiplinan, membentuk insan yang jujur, akhlak mulia, berkepribadian luhur, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi, dapat melahirkan pencerahan etika dan perilaku positif.
Tidak cuma itu, puasa dapat meningkatkan etos kerja dan produktifitas, bahkan dapat mewujudkan pencerahan spiritual dan intelektual. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa kejujuran mulai dikesampingkan, kolusi dan korupsi merajalela, produktivitas dan etos kerja menurun, semangat mengamalkan ajaran agama menjadi luntur, pencerahan spritual dan intelektual menjadi gelap, jiwa kepekaan sosial semakin membatu, tidak disiplin, kurang menghargai waktu dan sebagainya.
Manakala 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri tiba, seakan-akan manusia kembali bebas berbuat apa saja termasuk tindakan maksiat karena berprinsip Ramadhan tahun depan masih dapat memohon ampunan Allah. Bukankah hal tersebut justru menipu diri sendiri, ibarat mencelup kain yang putih ke dalam air comberan yang berkuman dan kortor? Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin mengatakan, bahwa setelah kita melaksanakan ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya, kita harus menyikapinya dengan dua maqam. Yaitu, khauf (khawatir) dan raja' (harap). Maksudnya, "kita takut kalau-kalau ibadah kita tidak diterima Allah, dan "berharap" kiranya ibadah kita diterima-Nya".
Tidak ada kata lain bila ingin menjadi manusia lebih baik kecuali komitmen pribadi bahwa sesungguhnya ijazah yang diperoleh dari Pesantren Ramadhan harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Hanya diri kita yang mampu membentuk jiwa dan kepribadian seutuhnya menjadi insan kamil yang mendapat perlindungan Allah dunia akhirat.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !