Idul Fitri diartikan kembali ke fitrah (awal kejadian manusia), hidup tanpa dosa dengan pengakuan Allah satu-satunya Tuhan. Itu bisa terjadi apabila puasa mampu dilakukan seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Diperlukan ilmu dan amal agar harapan tersebut bisa tercapai. Sikap dan kebribadian tersebut tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat melainkan melalui proses panjang yang melibatkan banyak orang, terutama orang tua dan institusi pendidikan termasuk melalui pembelajaran agama. Sebulan penuh berpuasa tentu telah banyak manfaat yang telah kita ambil terutama bagi kita yang mampu memahami dan melaksanakan puasa secara benar berdasarkan petunjuk dan aturan berpuasa.
Menjadi orang yang sabar, insan yang penuh kasih sayang, dan semakin taat kepada Allah dan Rasulnya merupakan beberapa hikmah dari puasa. Namun, membentuk manusia yang taat pada aturan agama dan siap menjadikan islam sebagai ruh dan jalan hidupnya tidaklah diperoleh secara mudah dan cepat. Melainkan, perlu penanganan serius yang melibatkan banyak pihak semenjak anak manusia lahir sampai menutup mata. Perpaduan pendidikan formal, non formal, dan in formal antara sekolah, rumah tangga, dan masyarakat merupakan pilihan ideal dalam pembentukan karakter anak yang islami.
Peran Orang tua dan Institusi Pendidikan Memperkenalkan Allah dan berbagai sifat keagungannya kepada anak merupakan tugas dan tanggung jawab ayah dan ibu sejak mereka berusia nol tahun yang kemudian dilanjutkan oleh lingkungan terdekatnya. Membentuk karakter tersebut tidak cukup hanya melalui kata-kata melainkan perlu dicontohkan dalam bentuk perbuatan nyata. Sangat ironis kalau seorang ayah/ibu menyuruh anak shalat tepat waktu sementara dia masih nongkrong di depan TV saat azan berkumandang. Sangat miris orang tua meminta anak untuk hidup jujur dan bersahaja, tetapi yang bersangkutan membawa harta ke rumah yang bukan hak dan miliknya.
Diakui peran orang tua sangat penting dalam meletakkan fondasi keimanan dan keislaman pada anak sebagai modal saat mareka tumbuh dan berkembang nanti. Sayangnya, tidak semua orang tua memanfaatkan momen ini dengan berbagai alasan sehingga kehidupan anak dari hari kehari cenderung menjauh dari ajaran agama. Bahkan sangat mungkin akan terjadi seperti disinyalir oleh Rasulullah, yaitu kedua orang tuanya yang menjadikan mereka sebagai Nasrani, Yahudi, atau Majusi. (HR Bukhari).
Orang tua boleh saja berharap bahwa institusi pendidikan mau dan mampu menerapkan nilai-nilai islam dalam kiprahnya, terutama melalui pelajaran agama. Kenyataannya, dalam sillabus dan kurikulum sekolah pendidikan agama tidak mendapat porsi yang besar. Sementara proses pembelajaran secara menyuluruh belum didesain untuk diterapkan nilai-nilai islam, termasuk pada manajemen dan lingkungan sekolah. Dengan kata lain, kedudukan pelajaran agama disekolah tidak beda jauh dengan pelajaran lain, yaitu untuk menghadapi ujian nasional (UN).
Harapan dan keinginan agar terjadi perpaduan antara pendidikan di rumah tangga dengan pendidikan di sekolah terutama dalam pembinaan akidah dan perilaku islami. Jika tidak atau terjadi ketimpangan bahkan pertentangan dari salah satu membuat anak bingung sehingga mereka akan mencari jalan sendiri yang bisa benar dan bisa tidak.
Untuk itu, koordinasi dan saling mengisi antara pendidikan di rumah dan pendidikan di sekolah menjadi keharusan kalau pembentukan pribadi anak yang islami menjadi tujuan. Wajah Pendidikan Agama pada Lembaga Pendidikan Pendidikan agama yang diatur dalam kurikulum di sekolah lebih banyak bersifat teoritis atau pengetahuan yang akan diuji dalam ujian. Artinya, belajar agama tidak beda dengan belajar IPS dan matematika.
Oleh sebab itu, sangat bijaksana apabila sekolah mampu melahirkan konsep yang terintegrasi terhadap pendidikan agama dengan semua aspek pendidikan atau kehidupan yang ada di sekolah, kemudian menghubungkannya dengan kondisi anak di rumah yang ada di bawah kendali orang tua. Lingkungan sekolah, terutama guru, harus mampu memberi contoh bagaimana berperilaku jujur, sopan , dan saling menyayangi. Sekolah harus bisa menerapkan dan membiasakan hidup disiplin, bersih, dan taat pada aturan.
Di samping itu, proses pembelajaran perlu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan dalam suasana yang menyenangkan tanpa intimidasi dan caci maki. Kebersamaan dan kekompakan (ukhuwah) dari semua elemen di sekolah seperti sesama guru dan kepala sekolah harus terlihat nyata. Dengan demikian, belajar agama tidak sebatas pengetahuan, arahan, dan kata-kata tetapi mampu memberi contoh atau model dalam kehidupan nyata. Sekolah dan orang tua termasuk masyarakat harus mempu menunjukkan bahwa semua aturan dan ajaran yang ada dalam Islam benar adanya tanpa ada keraguran sedikitpun dan selalu siap untuk diaplikasikan.
Wajah pendidikan agama yang belum menyenangkan di banyak sekolah di Aceh perlu dibenah dan diaplikasikan secara bertahap, dan peran orang tua yang belum maksimal dalam pembentukan karakter islami pada anak perlu mendapat perhatian dengan tidak membiarkan mereka tumbuh dan berkembanga apa adanya tanpa sentuhan nilai agama. Keterpaduan dan saling melengkapi antara sekolah dan rumah adalah harapan dalam pembentukan karakter anak yang islami. Akhirnya, melalui momen idul fitri ini perlu kita renungan untuk melihat sejauhmana usaha (effort) yang telah kita berikan sesuai tugas dan peran kita masing-masing dalam menyiapkan murid atau putra-putri kita agar memiliki akidah kuat dan akhlak yang mulia sehingga siap mendukung pelaksanaan syariah islam di Aceh dan menghadapi berbagai tantangan dan perkembangan dunia terkait dengan ilmu dan sisi kehidupan lainnya. Semoga.
Dr. Sofyan A. Gani, MA
Dosen pada FKIP UNSYIAH dan Anggota Majelis Pendidikan (MPD) Aceh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !