Proses pengurusan izin rencana membangun Hotel Best Western dan Mall bertaraf internasional tengah berlangsung. Rencananya hotel dan mall tersebut didirikan di atas bangunan eks Geunta Plaza yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Kendatipun proses perizinan tersebut telah mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Kota Banda Aceh maupun DPRK, namun hingga Rabu (4/1) lalu, berdasarkan informasi yang didapat oleh Gema, IMB Hotel dan mall tersebut belum dikeluarkan oleh Walikota Banda Aceh.
Menghadapi persoalan ini, Pemko Banda Aceh dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, jika IMB dikeluarkan pasti mendatangkan keuntungan bagi investasi dan ekonomi Pemko dan warga, namun di sisi lain Pemko juga akan berhadapan dengan tuntutan warga yang menolak pembangunan hotel dan mall yang lokasinya sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman dan dikhawatirkan jika hal ini terwujud maka lebih banyak mudharat daripada manfaat yang didapat. Begitu pun argumentasi lain telah disuarakan oleh warga kota. Intinya meminta Pemko Banda Aceh untuk tidak mengeluarkan IMB pendirian hotel dan mall pada lokasi dimaksud.
Namun demikian, MPU Kota Banda Aceh belum punya sikap tegas terkait hal dimaksud. Ketua MPU Kota Banda Aceh, mengatakan sementara ini pihak MPU masih merujuk pernyataan Ketua MPU Aceh, sebagaimana dilansir oleh sejumlah media massa pekan lalu.
Ketua Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Muslim Ibrahim menyebutkan, bahwa rencana pembangunan hotel dan mall di kawasan atau di lingkungan Masjid Raya Baiturrahman dapat mengganggu kehormatan Masjid Raya Baiturrahamn. Oleh sebab itu MPU menyarankan agar perlu meneliti lebih jauh terhadap efek yang timbul di tengah-tengah masyarakat bila izin mendirikan bangunan hotel dan mall tersebut dikeluarkan oleh Pemko Banda Aceh.
Pada prinsipnya seperti dikutip harian tersebut, Ketua MPU Aceh mengatakan tidak menolak pembangunan hotel, tetapi jangan di lingkungan Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan simbol dari Banda Aceh dan Aceh khususnya. Menanggapi hal tersebut, tampaknya keresahan di tengah masyarakat semakin bertambah. Sejumlah kalangan telah memberikan tanggapan pro dan kontra berkaitan dengan rencana pembangunan hotel bertaraf internasional yang kabarnya akan dibangun setinggi 42 meter 12 lantai dan sangat dekat Masjid Kebanggaan masyarakat Aceh.
Ketua PWNU Aceh, Tgk H Faisal Ali ketika dimintai pendapatnya, mengatakan, tidak tepat jika Pemerintah Kota Banda Aceh memberikan izin pendirian hotel Best Western di lokasi eks Geunta Plaza dulu. Alasannya sebut Tgk Faisal, kalau kita melihat terutama sekali dalam kajian dan konteks keagamaan lokasi pembangunan hotel dan mall tersebut sangat berdekatan dengan masjid kebanggaan masyarakat Aceh.
Menurut Faisal, mengapa pihaknya menolak, karena juga selama ini pihaknya menilai bahwa perkembangan nilai-nilai bisnis dan cara-cara bisnis perhotelan di Indonesia jauh berbeda dengan bisnis perhotelan yang ada di Mekkah dan di Madinah.
“Jangan dikaitkan kenapa di Mekkah bisa, kenapa di sini tidak bisa. Karena konteks hotel yang ada di Madinah adalah untuk orang-orang yang sudah khusus beribadah baik umrah maupun haji. Apalagi hotel di kawasan Mekkah dan Madinah ini diharamkan masuk orang yang non muslim,” ujar Faisal Ali.
Ia menambahkan, apabila hotel itu dibangun berdekatan dengan masjid, ini tidak bisa kita terima karena penggunaan hotel itu tidak sama dengan yang ada di Mekkah dan Madinah. Ditambah lagi dengan melihat perkembangan masyarakat Aceh yang dari hari ke hari tidak begitu fanatik lagi dengan agamanya.
Makanya, kata Faisal, dari tahun ke tahun dikhawatirkan keberadaan hotel dan mall itu sangat rentan terhadap memburuknya citra Masjid Raya sebagai simbol keagamaan bagi masyarakat Aceh. Ketika ditanya tentang argumentasi keagamaan lainnya, Faisal Ali menyebutkan ada kaedah dalam ilmu ushul fiqih Islam yang mengatakan, “menolak hal-hal yang bisa berpotensi kepada kerusakan, itu lebih diutamakan ketimbang melakukan hal-hal misalnya dapat menghasilkan ekonomi masyarakat dan sebagainya”, ujarnya.
Penolakan yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM. Zulfikar. Ia menawarkan pem,baunguna hotel tersebut tidak berdekatan dengan masjid, tetapi mencari lokasi lain yang lebih strategis.
Sementara itu seorang pemerhati sejarah dan budaya di Aceh, M. Adli Abdullah mengatakan, Masjid Raya adalah masjid bersejarah yang menjadi kebanggaan orang Aceh. Makanya jangan sampai ada pembangunan bangunan apapun yang sifatnya mengundang hura-hura di kawasan Masjid Raya. Best Western Internasional. “Kita harus tegas, karena jangankan kita orang Islam, orang kafir pun menghargai gerejanya. Mereka tidak ingin ada kegiatan apapun disekitar gereja mereka yang dapat mengganggu aktivitas peribadatan mereka,” tandas Adli.
Komentar senada, diungkapkan oleh Ir. Irwan Djohan, Warga Gampong Baru, Kota Banda Aceh yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Masjid Raya. Ia mengatakan, sejak awal sudah ikut serta dalam proses penolakan pembangunan hotel ini. “Sebagai orang Aceh, sebagai orang Islam saya yakin 99 persen warga Aceh pasti menolak, kecuali orang-orang terlibat dan yang menyetujui pembangunan hotel ini,” tegas Irwan.
Irwan menambahkan, sejak kecil ia telah tinggal bertetangga dengan Masjid Raya dan merasakan ikatan batin yang cukup kuat dengan Masjid Raya. “Ibu saya masih tinggal disini, belum lagi sejarah almarhum orang tua saya (Alm. T. Djohan.red) juga meninggal di sini,” kisahnya.
Menurut Irwan lagi, sebagai seorang arsitek ia berpandangan tidak tepat kalau terlaksana pembangunan hotel pada lokasi dimaksud. Baik itu dari segi tata kota, arsitek, bangunan, maupun estetikanya. Demikian juga halnya pandangan Irwan dari aspek ekonomi. Ia menilai bahwa dampak ekonominya lebih banyak negatifnya bagi pengusaha kecil di sekitar pasar Aceh dan Masjid Raya. Ia mencontohkan hadirnya Hermes Mall dengan Mataharinya yang juga dapat mematikan banyak pedagang di kawasan Pasar Ulee Kareng.
“Tapi saya sepakat bahwa kita bukan menolak pembangunan mall atau hotel, tetapi menolak lokasinya. Kalaulah secara qanun atau secara hukum tidak ada yang dilanggar, bahwa mereka punya alasan yang kuat dalam menskenariokan pembangunan itu dan apapun alasannya. Tetapi marilah kita kedepankan pertimbangkan asas kepatutan dan etika,” harap Irwan.
Sementara itu anggota DPRK Kota Banda Aceh Yudi Kurnia, SE berpikir lain. Menurutnya, dengan adanya hotel tersebut bisa menunjang untuk memakmurkan masjid itu sendiri karena memang selama ini yang kita tahu banyak juga wisatawan-wisatawan dari luar itu seperti wisatawan spiritual yang ingin juga ke Masjid Raya untuk shalat lima waktu. “Kalau menurut saya pembangunan hotel dekat masjid Raya itu bisa saja menunjang untuk memakmurkan masjid itu sendiri,” ujarnya meyakinkan.
Pro kontra dalam masyarakatpun bergulir bagaikan bola salju. Tentu saja diperlukan kearifan lokal dalam menyikapi berbagai pendapat yang berkembang, sehingga apapun yang kita tanam hari ini tidak sia-sia kita panen di kemudian hari. mad
Kendatipun proses perizinan tersebut telah mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Kota Banda Aceh maupun DPRK, namun hingga Rabu (4/1) lalu, berdasarkan informasi yang didapat oleh Gema, IMB Hotel dan mall tersebut belum dikeluarkan oleh Walikota Banda Aceh.
Menghadapi persoalan ini, Pemko Banda Aceh dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, jika IMB dikeluarkan pasti mendatangkan keuntungan bagi investasi dan ekonomi Pemko dan warga, namun di sisi lain Pemko juga akan berhadapan dengan tuntutan warga yang menolak pembangunan hotel dan mall yang lokasinya sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman dan dikhawatirkan jika hal ini terwujud maka lebih banyak mudharat daripada manfaat yang didapat. Begitu pun argumentasi lain telah disuarakan oleh warga kota. Intinya meminta Pemko Banda Aceh untuk tidak mengeluarkan IMB pendirian hotel dan mall pada lokasi dimaksud.
Namun demikian, MPU Kota Banda Aceh belum punya sikap tegas terkait hal dimaksud. Ketua MPU Kota Banda Aceh, mengatakan sementara ini pihak MPU masih merujuk pernyataan Ketua MPU Aceh, sebagaimana dilansir oleh sejumlah media massa pekan lalu.
Ketua Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Muslim Ibrahim menyebutkan, bahwa rencana pembangunan hotel dan mall di kawasan atau di lingkungan Masjid Raya Baiturrahman dapat mengganggu kehormatan Masjid Raya Baiturrahamn. Oleh sebab itu MPU menyarankan agar perlu meneliti lebih jauh terhadap efek yang timbul di tengah-tengah masyarakat bila izin mendirikan bangunan hotel dan mall tersebut dikeluarkan oleh Pemko Banda Aceh.
Pada prinsipnya seperti dikutip harian tersebut, Ketua MPU Aceh mengatakan tidak menolak pembangunan hotel, tetapi jangan di lingkungan Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan simbol dari Banda Aceh dan Aceh khususnya. Menanggapi hal tersebut, tampaknya keresahan di tengah masyarakat semakin bertambah. Sejumlah kalangan telah memberikan tanggapan pro dan kontra berkaitan dengan rencana pembangunan hotel bertaraf internasional yang kabarnya akan dibangun setinggi 42 meter 12 lantai dan sangat dekat Masjid Kebanggaan masyarakat Aceh.
Ketua PWNU Aceh, Tgk H Faisal Ali ketika dimintai pendapatnya, mengatakan, tidak tepat jika Pemerintah Kota Banda Aceh memberikan izin pendirian hotel Best Western di lokasi eks Geunta Plaza dulu. Alasannya sebut Tgk Faisal, kalau kita melihat terutama sekali dalam kajian dan konteks keagamaan lokasi pembangunan hotel dan mall tersebut sangat berdekatan dengan masjid kebanggaan masyarakat Aceh.
Menurut Faisal, mengapa pihaknya menolak, karena juga selama ini pihaknya menilai bahwa perkembangan nilai-nilai bisnis dan cara-cara bisnis perhotelan di Indonesia jauh berbeda dengan bisnis perhotelan yang ada di Mekkah dan di Madinah.
“Jangan dikaitkan kenapa di Mekkah bisa, kenapa di sini tidak bisa. Karena konteks hotel yang ada di Madinah adalah untuk orang-orang yang sudah khusus beribadah baik umrah maupun haji. Apalagi hotel di kawasan Mekkah dan Madinah ini diharamkan masuk orang yang non muslim,” ujar Faisal Ali.
Ia menambahkan, apabila hotel itu dibangun berdekatan dengan masjid, ini tidak bisa kita terima karena penggunaan hotel itu tidak sama dengan yang ada di Mekkah dan Madinah. Ditambah lagi dengan melihat perkembangan masyarakat Aceh yang dari hari ke hari tidak begitu fanatik lagi dengan agamanya.
Makanya, kata Faisal, dari tahun ke tahun dikhawatirkan keberadaan hotel dan mall itu sangat rentan terhadap memburuknya citra Masjid Raya sebagai simbol keagamaan bagi masyarakat Aceh. Ketika ditanya tentang argumentasi keagamaan lainnya, Faisal Ali menyebutkan ada kaedah dalam ilmu ushul fiqih Islam yang mengatakan, “menolak hal-hal yang bisa berpotensi kepada kerusakan, itu lebih diutamakan ketimbang melakukan hal-hal misalnya dapat menghasilkan ekonomi masyarakat dan sebagainya”, ujarnya.
Penolakan yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM. Zulfikar. Ia menawarkan pem,baunguna hotel tersebut tidak berdekatan dengan masjid, tetapi mencari lokasi lain yang lebih strategis.
Sementara itu seorang pemerhati sejarah dan budaya di Aceh, M. Adli Abdullah mengatakan, Masjid Raya adalah masjid bersejarah yang menjadi kebanggaan orang Aceh. Makanya jangan sampai ada pembangunan bangunan apapun yang sifatnya mengundang hura-hura di kawasan Masjid Raya. Best Western Internasional. “Kita harus tegas, karena jangankan kita orang Islam, orang kafir pun menghargai gerejanya. Mereka tidak ingin ada kegiatan apapun disekitar gereja mereka yang dapat mengganggu aktivitas peribadatan mereka,” tandas Adli.
Komentar senada, diungkapkan oleh Ir. Irwan Djohan, Warga Gampong Baru, Kota Banda Aceh yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Masjid Raya. Ia mengatakan, sejak awal sudah ikut serta dalam proses penolakan pembangunan hotel ini. “Sebagai orang Aceh, sebagai orang Islam saya yakin 99 persen warga Aceh pasti menolak, kecuali orang-orang terlibat dan yang menyetujui pembangunan hotel ini,” tegas Irwan.
Irwan menambahkan, sejak kecil ia telah tinggal bertetangga dengan Masjid Raya dan merasakan ikatan batin yang cukup kuat dengan Masjid Raya. “Ibu saya masih tinggal disini, belum lagi sejarah almarhum orang tua saya (Alm. T. Djohan.red) juga meninggal di sini,” kisahnya.
Menurut Irwan lagi, sebagai seorang arsitek ia berpandangan tidak tepat kalau terlaksana pembangunan hotel pada lokasi dimaksud. Baik itu dari segi tata kota, arsitek, bangunan, maupun estetikanya. Demikian juga halnya pandangan Irwan dari aspek ekonomi. Ia menilai bahwa dampak ekonominya lebih banyak negatifnya bagi pengusaha kecil di sekitar pasar Aceh dan Masjid Raya. Ia mencontohkan hadirnya Hermes Mall dengan Mataharinya yang juga dapat mematikan banyak pedagang di kawasan Pasar Ulee Kareng.
“Tapi saya sepakat bahwa kita bukan menolak pembangunan mall atau hotel, tetapi menolak lokasinya. Kalaulah secara qanun atau secara hukum tidak ada yang dilanggar, bahwa mereka punya alasan yang kuat dalam menskenariokan pembangunan itu dan apapun alasannya. Tetapi marilah kita kedepankan pertimbangkan asas kepatutan dan etika,” harap Irwan.
Sementara itu anggota DPRK Kota Banda Aceh Yudi Kurnia, SE berpikir lain. Menurutnya, dengan adanya hotel tersebut bisa menunjang untuk memakmurkan masjid itu sendiri karena memang selama ini yang kita tahu banyak juga wisatawan-wisatawan dari luar itu seperti wisatawan spiritual yang ingin juga ke Masjid Raya untuk shalat lima waktu. “Kalau menurut saya pembangunan hotel dekat masjid Raya itu bisa saja menunjang untuk memakmurkan masjid itu sendiri,” ujarnya meyakinkan.
Pro kontra dalam masyarakatpun bergulir bagaikan bola salju. Tentu saja diperlukan kearifan lokal dalam menyikapi berbagai pendapat yang berkembang, sehingga apapun yang kita tanam hari ini tidak sia-sia kita panen di kemudian hari. mad
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !