Kutipan dua pasal qanun di atas menunjukkan betapa ulama sejak zaman kesultanan memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam masyarakat Aceh. Ulama tidak hanya memiliki kekuatan secara pribadi, tapi juga diberi otoritas politik serta kewenangan menjatuhkan sanksi. Bukan sebatas dipicu faktor kharisma atau kemapanan ilmu agama, keberartian ulama dalam masyarakat Aceh bahkan dipositifkan secara hukum melalui qanun.
Berbagai kajian telah mengaminkan hal ini. Hampir tidak ada catatan sejarah Aceh yang meremehkan peran dan posisi ulama, baik di tataran masyarakat maupun pemerintahan. Bisa dikatakan, ulama sudah menjadi sub tersendiri dalam kultur masyarakat Aceh.
Generasi qanun yang lahir dibawah payung Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh juga tidak melupakan hal ini. Ulama masih mendapat tempat untuk mengeluarkan fatwa, memberi masukan dan pertimbangan kepada Pemerintah Aceh, menentukan kebijakan daerah dari aspek syari’at Islam, serta memfasilitasi pengkaderan ulama. Ulama masih disebut bersifat independen, sejajar, dan berfungsi sebagai mitra.
Tetapi dibanding ulama dulu, ulama masa kini telah mengalami pergeseran peran secara substantif. Ulama hanya mampu bermain dalam peran-peran yang sempit dan kurang terdengar gaungnya dalam masalah-masalah yang menyangkut kondisi riil kehidupan masyarakat, seperti kemiskinan, transparansi, pelayanan masyarakat yang buruk, pendidikan yang rendah, serta fasilitas publik yang masih minim. Ulama sekarang berperan sebagai kolaborator kekuasaan.
Ulama menjadi agent of change yang selalu mendukung kebijakan pemerintah. Kita harapkan, pengkaderan calon ulama yang tengah berlangsung dan dimotori oleh MPU Aceh, bahkan sudah angkatan ke 15, tidak melupakan upaya melahirkan ulama-ulama yang independen jiwa dan pikirannya. Demi memunculkan ulama-ulama kritis yang berani menyampaikan kebenaran di hadapan siapa saja. Kita rindu ulama-ulama Aceh yang mampu menyejarah.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !