Seorang teman, dosen dari pantai barat Aceh mengusulkan supaya Baitul Mal Aceh (BMA) merumuskan standar calon kepala baitul mal dan karyawan amil zakat. Saya bertemu dia di sebuah toku buku Jalan Muhammad Jam. Dia tahu saya bekerja di BMA sejak tujuh tahun lalu. Dia prihatin terhadap pergantian Kepala Baitul Mal salah satu kabupaten di Aceh baru-baru ini. Kepala dan “kabinet”nya diganti seluruhnya atas perintah bupati.
Saya katakan pada dia, memang belum ada regulasi tentang standar kepala baitul mal dan karyawan amil. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal hanya mengatur kriteria seorang pejabat/pimpinan baitul mal, seperti termuat dalam pasal 4 ayat (3): bertaqwa kepada Allah swt dan taat beribadah; amanah, jujur, dan bertanggungjawab; memiliki kredibelitas dalam masyarakat.
Qanun juga mensyarakat seorang pimpinan baitul mal harus mempunyai pengetahuan tentang zakat, waqaf, dan harta gama lainnya serta manajemen zakat. Memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengelolaan zakat, waqaf dan harta agama. Dalam diskusi di Panleg DPRA (2007), seorang kepala baitul mal juga diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup di bidang ekonomi syariah dan mememiki kemampuan manajerial yang baik.
Untuk mendapatkan calon Kepala BMA dan Kepala Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) yang berkualitas, qanun telah mengatur dengan prosedur fit and propertest. Masalahnya adalah, dari pengalaman pergantian kepala beberapa BMK dan BMA, proses fit and propertest yang dilakukan bisa dianggap belum ideal. Masih saja ada ruang “intervensi” pimpinan daerah. Memang ketentuan qanun telah dilaksanakan, namun hasilnya belum maksimal.
Karena itu, apa yang disampaikan teman dari zona ABAS (Aceh Barat Selatan) itu, merupakan hal penting mendapat pengaturan oleh BMA. Hal ini juga pernah mengemuka dalam forum Raker dan Bimtek BMA (2009). Teman-teman amil dari Aceh Utara juga beberapa kali mendiskusikan tentang kualitas dan proteksi amil. Termasuk bagaimana mendapatkan Kepala BMA/BMK yang berkualitas.
Dalam mangatur Prosedur Rekrutmen Kepala BMA/BMK (baca: kepala amil) dan karyawan amil, seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip manajemen SDM dan kualifikasi amil zakat yang karakteristiknya sangat spesifik. Kualifikasi sorang amil (juga kepala amil) harus dilihat dari dua sisi: pertama, sisi keilmuan/keterampilan yang dibutuhkan oleh badan amil dan kedua, sisi spritualitas/keislaman seseorang. Seorang amil tak cukup hanya cakap dalam bekerja, tapi sekaligus dia haruslah seorang muslim yang taat beribadah (taqwa).
Jadi, sudah saatnya kita memulai lebih serius memikirkan tentang SDM amil, dari level kepala, kabid, sekretariat hingga tingkat paling bawah (pesuruh). Kita rancang prosedur rekrutmen, kualifikasi dan kompetensi, hak dan kewajiban amil. Bahkan teman-teman amil Aceh Utara mengingatkan, supaya diatur juga proteksi amil, sehingga ada kepastiannya dalam kariernya dan jangan sampai begitu kepala baru diganti, diganti pula para amil. Terjadi lake and dislike.
Upaya pengaturan tentang keamilan sebenarnya telah dirintis sejak tahun pertama BMA beroperasi (2004), hanya saja tidak berkelanjutan. Misalnya telah disepakati, bahwa calon amil direkrut oleh lembaga independen (Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi) dan setiap karyawan amil yang lulus dikirim ke Jakarta atau Malaysia untuk mengikuti training dan magang manajemen zakat, sehingga seorang amil mendapat bekal yang cukup dalam bekerja (profesional).
Bisa jadi, hal ini tak berlanjut akibat pergantian pimpinan dan transisi kepemimpinan akibat musibah tsunami Desember 2004. Kini, saatnya gagagan kita aktualkan kembali.
Penulis, Kabid Pengumpulan Zakat Baitul Maal Aceh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !