
“Jeritan kesedihan dan penderitaan tak bisa lagi didengar para penyelenggara negara. Akan pernah adakah perdamaian di atas bumi, selagi orang miskin bekerja untuk memberi makan orang kuat dan menyumpal perut para tiran. Tidakkah anda sadari betapa kekacauan telah terjadi di negeri ini. Para pemungut pajak yang korup menindas rakyat yang bodoh demi kepentingan mereka sendiri,” (Dikutip dari Buku, Nasihat Bagi Penguasa, Penerbit Mizan, cet I 1994)
Kutipan tersebut merupakan salah satu dari surat Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali Al Sayi’i Al Asy’ari, lebih dikenal dengan sebutan Al Ghazali yang ditujukan kepada Mujiruddin, seorang penguasa di Saljuk.
Isi surat Al Ghazali tersebut merupakan sebuah gambaran situasi dan kondisi pemerintahan ketika itu, pemerintah yang tidak lagi peduli terhadap kehidupan rakyat dipimpinnya. Penyelewengan terjadi dimana-mana, mulai penyelewengan di instansi-intansi pemerintah yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, sampai dengan penyelewengan pada pajak.
Pada tahun 2009 lalu, Transparency International Indonesia (TII) merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia berada pada posisi 111. sebuah peringkat yang sangat memiriskan. Bangsa yang besar ini dipandang sangat ‘kotor’ akibat korupsinya yang merajalela.
Banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah sedemikian parah ini dihubungkan dengan masalah moral. Akar permasalahan utama korupsi di Indonesia adalah moralitas bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. “Benarkah demikian?” gugat seorang teman dalam sebuah diskusi di jejaringan kompasiana.
Jujur saja, gambaran Al Ghazali itu tidak jauh berbeda dengan situasi yang sedang berlangsung di zaman kini. Ketika rakyat dianjurkan menyetor pajak, tapi hasilnya tidak lari ke kas negara. Ratusan miliar dana kewajiban masyarakat untuk pembangunan negara, malah masuk ke kantong dan rekening pribadi oknum pejabat.
Al Ghazali dikenal sebagai ulama vokal dalam menentang para penguasa zhalim dan korup. Bagaimana sikap yang memberontak terhadap penguasa Raja Maliksyah dan Barkiyuq yang membiarkan korupsi dan kezaliman merajalela di kerajaan. Hujjatul Islam ini, langsung meletakkan jabatannya sebagai guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad .
Selanjutnya, beliau ber-uzlah mengasingkan diri jauh. Dan pada suatu kesempatan, Al Ghazali bersumpah di depan Makam Nabi Ibrahim bahwa ia tak akan lagi menginjak kakinya ke istana. Janji itu ia pegang hingga akhir hayatnya.
Ulama sekaliber Al Ghazali mungkin tidak ada lagi di zaman sekarang ini. Namun, kita yakin, Aceh Serambi Mekkah memiliki para ulama yang masih mampu membaca karya-karya para ulama terdahulu seperti Al Ghazali dan ulama lainnya.
Sehingga dengan kemampuan itu, ia dapat mentransfer ilmu kepada ummat, juga ia berani memberi teguran dan peringatan kepada penguasa yang terlalu jauh menyimpang dari misi pembangunan dan keummatan. Sebagaimna dilakukan Al Ghazali terhadap pemerintah yang korup dan dhalim. Begitu juga Aceh, kini butuh sentuhan gerakan moralitas dari para Ulama.
Penulis, Ketua Umum DPP ISKADA Aceh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !