
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry dan pendiri Kilinik Hukum Aceh
Keberadaan Kadis dalam Pelaksanaan Syariat Islam?
Pelaksanaan syariat Islam sekarang tergantung pada umat sendiri. Keberadaan kepala dinas syariat Islam dalam hal ini hanya sebagai admistrator, yang mengelola administrasi syariat, penggerak utama adalah umat Islam itu sendiri. Apalagi pernyataan bahwa syariat Islam mesti dilakukan secara kaffah.
Kita perlu berkaca, gema sosialisasi syariat hingga kini masih kurang. Melekatkan Syariat Islam yang dibangun oleh penguasa, atau hukum yang dibangun oleh legislatif, tidak sama dibandingkan syariat Islam yang dibangun bersama masyarakat muslim.
Siapa saja yang berkiprah dalam mendesain sosialisasi, yang berkaitan dengan administrasi. Perlu peran aktif umat Islam termasuk diantaranya apakah DPRA, legislatif, karena sepanjang mengaku umat Islam, kita tidak boleh main-main dengan syariat Islam. Kecuali umat Islam sendiri yang melepaskan islamnya.
Terus, apa pasal kita mengulur waktu pengesahan, padahal dari dalam syariat, ada kepentingan, ada kemaslahatan, ada kesejukan, ada kenyamanan lewat pelaksanaan syariat Islam di Seuramoe Mekkah nyoe.
Langkah yang perlu dibangun?
Sekarang jangan menunggu sampai ada umat Islam menjerit dengan syariat Islam. Dalam hal ini Dinas Syariat Islam sebagai administrator perlu mendorong, karena dia punya peran dan memiliki kekuasaan penuh menurut tingkatnya. Dia harus berkiprah, sedangkan masyarakat juga ikut menghidupkan syariat Islam. Itu yang dimaksud kaffah, semua unsur terlibat dalam syariat Islam.
Namun yang terpenting, perangai atau akhlak sudahkah sesuai syariat Islam? itu perlu dipertanyakan oleh kita semua. Ditambah tampak kurang semangat pelaksanaannya, padahal komponen masyarakat ini bagian dari juru dakwah. Bagaimana dengan syariat Islam bisa menyejukkan, bisa menyamankan dan bisa menetramkan.
Terutama juga aparat penegak hukumnya, bahwa dengan hukum apakah bisa rahmatan lil alamin. Jadi kalau logika hukum yang dipertahankan tidak diikuti perangai aparat penegak hukum, dan perangai rakyat Aceh seluruhnya bergabung dalam syariat Islam. Maka butuh waktu lama Islam membahana di Serambi Mekkah ini.
Jadi, tinggalkan logika hukum dalam satu tempat, gabungkan dalam perangai Islam. Perangai atau akhlak mulailah bercermin sekarang! Dalam hal baca Al-Quran, masih banyak putra-putri Aceh belum bisa mengaji. Pembinaan akhlak masih lemah, kalau itu sudah baik, tidak ada yang lebih daripada itu, mungkin moral atau etika.
Peran Penegak Hukum?
Kalau kita pertahankan porsi-porsi hukum, maka terjadi kekakuan dalam masyarakat kita. Misalnya; kita mengatakan WH saja memperkosa orang. Dia mesum, bukan manusia, apakah WH langsung di kebiri. Itulah mencari logika hukum untuk menjelekkan syariat Islam. Kalau ada kesalahan orang lain, mari kita saling nasehat menasehati lewat rahmatan lil alamin.

Berarti kita belum menganggap syariat Islam adalah bagian dari diri kita. Kita masih senang melihat kalau ada guru ngaji yang melakukan pelecehan, langsung diberitakan di headline news.
Pemerintah Aceh saat ini, saya kira tidak boleh main-main lagi, kalau mencari langkah mundur dalam pelaksanaan syariat Islam lebih lanjut, kalau tidak ditanggapi serius menjadi masalah dalam masyarakat, jangan sampai masyarakat mengaktifkan hukum sendiri. Jika pemerintah diam, masyarakat akan bangkit. Karena bisa saja masyarakat tidak sabar melihat dan menyakini kalau itu termasuk pelangggaran syariat Islam, maka dilakukanlah tindakan mengambil inisiatif sendiri.
Dalam artian, harus mendesain secara ideal dan secara bagus penerapan syariat Islam dalam semua komponen, termasuk masyarakat. Bagaimana melibatkan semua masyarakat dalam penerapan syariat Islam, jangan hanya panggil WH.
WH yang kita angkat beserta bebankan tanggung jawab yang maha dahsyat. Pada orang-orang seperti itu dibebankan syariat Islam dan bercermin akan masyarakat juga, jadi jangan selalu diserahkan kepada WH.
Masyarakat mengugat, bagaimana langkah ulama?
Saya sarankan, peran ulama harus lebih aktif lagi. Dan eksekutif harus lebih berperangai. Dua hal ini bisa menjadi tolak ukur, Ibaratnya penjual ikan, terlebih dahulu berperangai baik untuk tidak memasukkan formalin dalam ikan, baru bisa pembeli percaya dan menyakini kalau ikan itu tidak berformalin.
Dan sebagai masyarakat juga, tidak hanya saling menyalahkan, terhadap Satpol PP, atau WH. Seperti kejadian Bupati Aceh Barat, dimana kita sebagai rakyat, kalau salah orang jadi senang, lalu dicerca habis-habisan.
Jadi poin terpenting, dengan berubahnya perangai dari penegak hukum dan masyarakat bersyariat, tentunya perlu perlibatan eksekutif dan legislatif dalam mendesain rapih syariat Islam. Kalau mau mendesain secara bagus, tahap awal yang perlu kita tuntaskan adalah pendidikan. Misal ngaji, berapa orang Aceh yang tidak bisa ngaji? Dan siapa yang hingga saat ini belum paham syariat Islam?
Didesain pelan-pelan secara keseluruhan, mulai qanun yang disesuaikan, perlu diingat qanun bukan Al-Quran. Makanya drafnya perlu disesuaikan dengan kejadian hari ini. Jika perlu kalau bisa direvisi. Misal hukum maisir, perlu pendalaman unsur-unsur Islam terkait hukumannya. Jangan langsung memindahkan hukum fiqih, tanpa dikaji dulu.
Berbeda memang dengan hukum zaman Rasulullah, karena rakyatnya ada mengaku. Kalau kita maksimalkan hukum didunia ini, berarti menafikkan hukum Allah di akhirat yang lebih dahsyat. Sistem hukum fiqih berbeda dengan sistem hukum Indonesia. (Nel)
Keberadaan Kadis dalam Pelaksanaan Syariat Islam?
Pelaksanaan syariat Islam sekarang tergantung pada umat sendiri. Keberadaan kepala dinas syariat Islam dalam hal ini hanya sebagai admistrator, yang mengelola administrasi syariat, penggerak utama adalah umat Islam itu sendiri. Apalagi pernyataan bahwa syariat Islam mesti dilakukan secara kaffah.
Kita perlu berkaca, gema sosialisasi syariat hingga kini masih kurang. Melekatkan Syariat Islam yang dibangun oleh penguasa, atau hukum yang dibangun oleh legislatif, tidak sama dibandingkan syariat Islam yang dibangun bersama masyarakat muslim.
Siapa saja yang berkiprah dalam mendesain sosialisasi, yang berkaitan dengan administrasi. Perlu peran aktif umat Islam termasuk diantaranya apakah DPRA, legislatif, karena sepanjang mengaku umat Islam, kita tidak boleh main-main dengan syariat Islam. Kecuali umat Islam sendiri yang melepaskan islamnya.
Terus, apa pasal kita mengulur waktu pengesahan, padahal dari dalam syariat, ada kepentingan, ada kemaslahatan, ada kesejukan, ada kenyamanan lewat pelaksanaan syariat Islam di Seuramoe Mekkah nyoe.
Langkah yang perlu dibangun?
Sekarang jangan menunggu sampai ada umat Islam menjerit dengan syariat Islam. Dalam hal ini Dinas Syariat Islam sebagai administrator perlu mendorong, karena dia punya peran dan memiliki kekuasaan penuh menurut tingkatnya. Dia harus berkiprah, sedangkan masyarakat juga ikut menghidupkan syariat Islam. Itu yang dimaksud kaffah, semua unsur terlibat dalam syariat Islam.
Namun yang terpenting, perangai atau akhlak sudahkah sesuai syariat Islam? itu perlu dipertanyakan oleh kita semua. Ditambah tampak kurang semangat pelaksanaannya, padahal komponen masyarakat ini bagian dari juru dakwah. Bagaimana dengan syariat Islam bisa menyejukkan, bisa menyamankan dan bisa menetramkan.
Terutama juga aparat penegak hukumnya, bahwa dengan hukum apakah bisa rahmatan lil alamin. Jadi kalau logika hukum yang dipertahankan tidak diikuti perangai aparat penegak hukum, dan perangai rakyat Aceh seluruhnya bergabung dalam syariat Islam. Maka butuh waktu lama Islam membahana di Serambi Mekkah ini.
Jadi, tinggalkan logika hukum dalam satu tempat, gabungkan dalam perangai Islam. Perangai atau akhlak mulailah bercermin sekarang! Dalam hal baca Al-Quran, masih banyak putra-putri Aceh belum bisa mengaji. Pembinaan akhlak masih lemah, kalau itu sudah baik, tidak ada yang lebih daripada itu, mungkin moral atau etika.
Peran Penegak Hukum?
Kalau kita pertahankan porsi-porsi hukum, maka terjadi kekakuan dalam masyarakat kita. Misalnya; kita mengatakan WH saja memperkosa orang. Dia mesum, bukan manusia, apakah WH langsung di kebiri. Itulah mencari logika hukum untuk menjelekkan syariat Islam. Kalau ada kesalahan orang lain, mari kita saling nasehat menasehati lewat rahmatan lil alamin.
Berarti kita belum menganggap syariat Islam adalah bagian dari diri kita. Kita masih senang melihat kalau ada guru ngaji yang melakukan pelecehan, langsung diberitakan di headline news.
Pemerintah Aceh saat ini, saya kira tidak boleh main-main lagi, kalau mencari langkah mundur dalam pelaksanaan syariat Islam lebih lanjut, kalau tidak ditanggapi serius menjadi masalah dalam masyarakat, jangan sampai masyarakat mengaktifkan hukum sendiri. Jika pemerintah diam, masyarakat akan bangkit. Karena bisa saja masyarakat tidak sabar melihat dan menyakini kalau itu termasuk pelangggaran syariat Islam, maka dilakukanlah tindakan mengambil inisiatif sendiri.
Dalam artian, harus mendesain secara ideal dan secara bagus penerapan syariat Islam dalam semua komponen, termasuk masyarakat. Bagaimana melibatkan semua masyarakat dalam penerapan syariat Islam, jangan hanya panggil WH.
WH yang kita angkat beserta bebankan tanggung jawab yang maha dahsyat. Pada orang-orang seperti itu dibebankan syariat Islam dan bercermin akan masyarakat juga, jadi jangan selalu diserahkan kepada WH.
Masyarakat mengugat, bagaimana langkah ulama?
Saya sarankan, peran ulama harus lebih aktif lagi. Dan eksekutif harus lebih berperangai. Dua hal ini bisa menjadi tolak ukur, Ibaratnya penjual ikan, terlebih dahulu berperangai baik untuk tidak memasukkan formalin dalam ikan, baru bisa pembeli percaya dan menyakini kalau ikan itu tidak berformalin.
Dan sebagai masyarakat juga, tidak hanya saling menyalahkan, terhadap Satpol PP, atau WH. Seperti kejadian Bupati Aceh Barat, dimana kita sebagai rakyat, kalau salah orang jadi senang, lalu dicerca habis-habisan.
Jadi poin terpenting, dengan berubahnya perangai dari penegak hukum dan masyarakat bersyariat, tentunya perlu perlibatan eksekutif dan legislatif dalam mendesain rapih syariat Islam. Kalau mau mendesain secara bagus, tahap awal yang perlu kita tuntaskan adalah pendidikan. Misal ngaji, berapa orang Aceh yang tidak bisa ngaji? Dan siapa yang hingga saat ini belum paham syariat Islam?
Didesain pelan-pelan secara keseluruhan, mulai qanun yang disesuaikan, perlu diingat qanun bukan Al-Quran. Makanya drafnya perlu disesuaikan dengan kejadian hari ini. Jika perlu kalau bisa direvisi. Misal hukum maisir, perlu pendalaman unsur-unsur Islam terkait hukumannya. Jangan langsung memindahkan hukum fiqih, tanpa dikaji dulu.
Berbeda memang dengan hukum zaman Rasulullah, karena rakyatnya ada mengaku. Kalau kita maksimalkan hukum didunia ini, berarti menafikkan hukum Allah di akhirat yang lebih dahsyat. Sistem hukum fiqih berbeda dengan sistem hukum Indonesia. (Nel)
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !