
Drs. H. A. Rahman TB, Lt
Salah satu agenda bangsa dan masyarakat kita sekarang yang perlu ditempuh dalam menciptakan hidup rukun dan damai, dalam kaitan kerukunan antar ummat beragama adalah mengembangkan wawasan keberagamaan (multikulturalisme) di kalangan masyarakat. Agenda ini seyogyanya dilakukan dalam semua tatanan kehidupan dalam keluarga, pendidikan formal dan informal, politik, budaya (adat istiadat), hukum, agama, dan lain-lain sebagainya.
Keberagaman sebagai sebuah pendekatan dalam memahami makna heterogenitas masyarakat dan bangsa mengindikasikan minimal pada tiga hal :pertama, menjadikan keragaman sebagai patron alamiah yang menyenangkan bagi sesama orang, bukan menyebabkan kebencian. kedua, keragaman itu hendaknya mengarah pada proses pengukuhan nasionalitas (keutuhan) untuk semua anak bangsa. Dan ketiga, ada kesungguhan untuk mempertahankan keragaman itu sebagai identitas bangsa.
Dengan indikasi seperti itu diharapkan keragaman bukan menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan sebuah bangsa, tetapi sebaliknya ia menjadi kekuatan besar dalam membangun kebersamaan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam kerangka paham yang berbeda. “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Sebagai masyarakat dan bangsa yang majemuk dari sisi suku, budaya dan adat, bahkan agama, sangat berkepentingan untuk mengembangkan wawasan keberagaman di kalangan masyarakat kita. Dengan demikian akar-akar integrasi masyarakat akan tumbuh dan kuat, dan benih-benih konflik sedikit demi sedikit akan sirna. “Bersatulah kamu dengan agama Allah dan jangan bercerai berai…..(Ali Imran : 103)”
Potensi konflik
Dewasa ini, seluruh dunia sedang menantikan kelahiran peradaban baru (new civilization), sebuah peradaban yang lahir ketika dunia semakin sempit untuk menampung perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Interaksi antar bangsa dan negara sedemikian intensif, sehingga dunia telah menyatu dalam satu komunitas yang mondial; “one for all and all for one” (satu untuk semua dan semua untuk satu) semakin menjadi kenyataan. Ketunggalan ini tidak perlu diartikan sebagai suatu kesamaan yang menyeluruh melainkan dalam pengertian satu keterikatan nilai dan komitmen kemanusiaan dari paham dan kultur serta pengamalan nilai-nilai agama yang berbeda. Diantara unsur pembeda sekaligus pemersatu yang melekat pada peradaban masyarakat dunia sekarang adalah agama, sebab, pada agamalah orang mengatakan dia memiliki Tuhan.

Sekarang sudah menggejala bahwa dalam kegiatan dakwah dan atau anjuran pengamalan nilai-nilai agama terjadi tarik menarik pengikutnya. Ketika suatu kelompok agama tampak agresif melakukan kegiatan dakwahnya, maka kelompok agama lain akan merasakan sebagai ancaman kehilangan pengikutnya. Kekhawatiran kita adalah terjadinya konflik intern umat beragama bahkan antar umat beragama. Kepada kaum muslimin kita merasa harus berhati-hati terhadap hal-hal yang mengakibatkan kepada disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat yang beragama tetapi menyatu dimasa mendatang, tantangannya adalah bagaimana mengembangkan kearifan dan kebijakan yang pada satu sisi dapat mendorong lahirnya rambu-rambu atau kode etik penyiaran nilai-nilai agama agar tetap dalam bingkai kesatuan dan persatuan, dan pada sisi lain dapat mendorong para pemuka agama dalam kegiatan dakwahnya lebih mengedepankan nilai-nilai kebenaran universal dari pada simbol-simbol atau kebenaran partikular nilai agama yang telah terlembagakan.
Para tokoh agama perlu menyadari bahwa tujuan akhir ajaran agama adalah penerapan nilai-nilai kebaikan universal oleh manusia dan bukan bertambahnya keanggotaan keagamaan institusional. Apabila hal ini dilalaikan, maka berarti penyiaran agama sendiri sedang mendegradasi keluhuran ajaran agama menjadi ambisi politik kekelompokan atau golongan.
Pilar perekat
Untuk masa yang akan datang, kita memerlukan pilar-pilar perekat keberagaman untuk bersatu. Menurut pemikiran khatib, pertama, ialah adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisispasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik yang diambilnya. Kedua, adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai dari pada agama institusional. Ketiga, adanya masyarakat yang berpendidikan dan rasional dalam menyikapi keberagaman nilai-nilai keagamaan (religious market) dan perubahan sosial.
Dengan demikian kerukunan intern dan antar umat beragama akan terjaga dengan baik. Dan jangan jadikan agama sebagai alat politik, apalagi untuk mengadu domba. Potensi integrasi harus diartikan sebagai suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern dan antar umat beragama di tanah air tercinta ini.

Pada era modern ini kita harus sangat hati-hati sebab agama secara sosiologi horizontal memunculkan wajah ganda, satu sisi agama tidak bisa bertindak sebagai kekuatan integrasi, tetapi pada sisi lainya agama bisa saja menjadi kekuatan disintegrasi. Agama mampu menciptakan ikatan kolusi sekelompok masyarakat, dan pada waktu yang sama agama dapat menciptakan pemisah dari kelompok yang lain.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepadaKu. Kemudian mereka (para pengikut Rasul itu) menjadikan agama terpecah belah menjadi beberapa partai (golongan). Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka masing-masing” (Al Mukminun 52-53)
Keberagaman sebagai sebuah pendekatan dalam memahami makna heterogenitas masyarakat dan bangsa mengindikasikan minimal pada tiga hal :pertama, menjadikan keragaman sebagai patron alamiah yang menyenangkan bagi sesama orang, bukan menyebabkan kebencian. kedua, keragaman itu hendaknya mengarah pada proses pengukuhan nasionalitas (keutuhan) untuk semua anak bangsa. Dan ketiga, ada kesungguhan untuk mempertahankan keragaman itu sebagai identitas bangsa.
Dengan indikasi seperti itu diharapkan keragaman bukan menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan sebuah bangsa, tetapi sebaliknya ia menjadi kekuatan besar dalam membangun kebersamaan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam kerangka paham yang berbeda. “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Sebagai masyarakat dan bangsa yang majemuk dari sisi suku, budaya dan adat, bahkan agama, sangat berkepentingan untuk mengembangkan wawasan keberagaman di kalangan masyarakat kita. Dengan demikian akar-akar integrasi masyarakat akan tumbuh dan kuat, dan benih-benih konflik sedikit demi sedikit akan sirna. “Bersatulah kamu dengan agama Allah dan jangan bercerai berai…..(Ali Imran : 103)”
Potensi konflik
Dewasa ini, seluruh dunia sedang menantikan kelahiran peradaban baru (new civilization), sebuah peradaban yang lahir ketika dunia semakin sempit untuk menampung perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Interaksi antar bangsa dan negara sedemikian intensif, sehingga dunia telah menyatu dalam satu komunitas yang mondial; “one for all and all for one” (satu untuk semua dan semua untuk satu) semakin menjadi kenyataan. Ketunggalan ini tidak perlu diartikan sebagai suatu kesamaan yang menyeluruh melainkan dalam pengertian satu keterikatan nilai dan komitmen kemanusiaan dari paham dan kultur serta pengamalan nilai-nilai agama yang berbeda. Diantara unsur pembeda sekaligus pemersatu yang melekat pada peradaban masyarakat dunia sekarang adalah agama, sebab, pada agamalah orang mengatakan dia memiliki Tuhan.

Sekarang sudah menggejala bahwa dalam kegiatan dakwah dan atau anjuran pengamalan nilai-nilai agama terjadi tarik menarik pengikutnya. Ketika suatu kelompok agama tampak agresif melakukan kegiatan dakwahnya, maka kelompok agama lain akan merasakan sebagai ancaman kehilangan pengikutnya. Kekhawatiran kita adalah terjadinya konflik intern umat beragama bahkan antar umat beragama. Kepada kaum muslimin kita merasa harus berhati-hati terhadap hal-hal yang mengakibatkan kepada disintegrasi bangsa.
Untuk mewujudkan masyarakat yang beragama tetapi menyatu dimasa mendatang, tantangannya adalah bagaimana mengembangkan kearifan dan kebijakan yang pada satu sisi dapat mendorong lahirnya rambu-rambu atau kode etik penyiaran nilai-nilai agama agar tetap dalam bingkai kesatuan dan persatuan, dan pada sisi lain dapat mendorong para pemuka agama dalam kegiatan dakwahnya lebih mengedepankan nilai-nilai kebenaran universal dari pada simbol-simbol atau kebenaran partikular nilai agama yang telah terlembagakan.
Para tokoh agama perlu menyadari bahwa tujuan akhir ajaran agama adalah penerapan nilai-nilai kebaikan universal oleh manusia dan bukan bertambahnya keanggotaan keagamaan institusional. Apabila hal ini dilalaikan, maka berarti penyiaran agama sendiri sedang mendegradasi keluhuran ajaran agama menjadi ambisi politik kekelompokan atau golongan.
Pilar perekat
Untuk masa yang akan datang, kita memerlukan pilar-pilar perekat keberagaman untuk bersatu. Menurut pemikiran khatib, pertama, ialah adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisispasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik yang diambilnya. Kedua, adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai dari pada agama institusional. Ketiga, adanya masyarakat yang berpendidikan dan rasional dalam menyikapi keberagaman nilai-nilai keagamaan (religious market) dan perubahan sosial.
Dengan demikian kerukunan intern dan antar umat beragama akan terjaga dengan baik. Dan jangan jadikan agama sebagai alat politik, apalagi untuk mengadu domba. Potensi integrasi harus diartikan sebagai suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern dan antar umat beragama di tanah air tercinta ini.

Pada era modern ini kita harus sangat hati-hati sebab agama secara sosiologi horizontal memunculkan wajah ganda, satu sisi agama tidak bisa bertindak sebagai kekuatan integrasi, tetapi pada sisi lainya agama bisa saja menjadi kekuatan disintegrasi. Agama mampu menciptakan ikatan kolusi sekelompok masyarakat, dan pada waktu yang sama agama dapat menciptakan pemisah dari kelompok yang lain.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepadaKu. Kemudian mereka (para pengikut Rasul itu) menjadikan agama terpecah belah menjadi beberapa partai (golongan). Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka masing-masing” (Al Mukminun 52-53)
Khatib adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !