
Berbagai diskusi serius hingga seminar di gelar di beberapa sudut kota di Aceh sebagai upaya menjaring aspirasi serta keadilan hukum bagi pemilik hak dalam setiap pemilu. GPMI-pun turut gelar acara tersebut di Grand Naggroe Hotel.
Hamdani Hamid, Ketua GPMI Aceh menyebut pihaknya menggelar seminar Ahad lalu (25/4) sebagai bentuk distribusi ide demokrasi nasional atas pro-kontra atau seot-samboet perkara yang hangat dalam dua bulan terakhir. Sebagai organ dakwah, GPMI Aceh, sebutnya, berupaya menghimpun pemikiran baru atas pro-kontra sehingga menghasilkan rahmat bagi umat Islam umumnya dan rakyat aceh khususnya. “Dan kami berkeyakinan bahwa ini juga merupakan proses memperjuangankan harapan-harapan ummat,” katanya.
Salah satu elemen sipil, Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dalam siaran persnya menyatakan, calon independen penting untuk Pilkada Aceh. Pilkada dengan keikutsertaan calon independen, sebut T. Banta Syahrizal selaku Manajer ACSTF, dipandang penting untuk upaya demokratisasi Aceh. Desakan agar calon independen dibolehkan kembali ikut untuk pilkada-pilkada kedepan di Aceh yang sedang digendrangkan oleh komponen sipil, janganlah dipandang sebagai bentuk titipan agenda dari para politisi yang ingin kembali berkompetisi dalam proses Pilkada namun kendaraan politiknya tidak ada. “Tapi ini adalah wujud dari konsistennya perjuangan komponen sipil terhadap peluang calon kepala daerah dari unsure perseorangan atau non partai,” imbuhnya.

Sementara itu, Mantan ketua Pansus RUUPA – DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan, pada seminar GPMI Aceh mengatakan bahwa saat penyusunan UU-PA, pasal 256 dalam konteks perundang-undangan dikategorikan sebagai pasal peralihan. Sehingga ditetapkanlah untuk calon independen di Aceh hanya satu kali pada Pilkada 2006, dan tidak berlaku lagi pada Pilkada berikutnya. Keputusan itu, kata dia, sudah menjadi pilihan rakyat Aceh saat awal-awal penggodokan draf UUPA hingga disahkan menjadi UU.
Tetapi, menurut Banta, komentar itu a histories dan mengaburkan fakta. Seluruh draft RUU PA usulan dari Aceh tidaklah membatasi calon independen hanya untuk satu kali Pilkada Aceh. Draft versi Pemerintah Aceh (melalui perumusan dari 3 Universitas), versi civil society, dan versi GAM, seluruhnya mengusulkan kuota calon independen. Dan tidak ada batasan hanya untuk Pilkada pertama sekali. “Pada saat perumusan di DPR RI – lah porsi untuk calon independen Aceh dibatasi hanya untuk Pilkada pertama kali,” ujar Banta tegas.
Penerbitan perpu
Pada arena seminar itu, Fery Mursyidan Baldan tetap memberikan ruang dan peluang keikutsertaan calon independen dalam Pilkada 2012. Menurutnya, dapat ditempuh dengan mengusulkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), tanpa hanya dengan melakukan peninjauan kembali (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), ke Mahkamah Konstitusi.
Ia berkeyaninan, bahwa sebenarnya pada putusan MK No. 5/PUU – V/2007, dibagian pendirian Mahkamah, point 3.15.11, sudah juga menyatakan jika pasal 256 dalam UU PA dilaksanakan, maka hanya menguntungkan calon perseorangan untuk pilkada pertama kali, dan akan merugikan calon perseorangan untuk pilkada kedua dan seterusnya.
Bahkan, lanjut Ferry, pembatasan ini akan menimbulkan akibat terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Aceh, karna warga negara di daerah yang lain sudah diperbolehkan mencalonkan diri secara perseorangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua UU Pemerintah Daerah (yang basis pengaturannya berujuk dari muatan calon independen untuk Aceh pada UU PA).
ACSTF meminta Pemerintahan Aceh untuk juga mengambil langkah-langkah strategis dengan mengusulkan lahirnya Perpu tentang aturan pelaksanaan pilkada Aceh dengan keikutsertaan calon independen, melalui pendekatan dengan Mendagri dan departemen terkait lainnya.

“Komponen strategis yang sedang menyiapkan proses Judicial Review ke MK diharapkan focus untuk pengajuan pada pasal calon independen saja. Karna jika terlalu banyak pasal yang dipermasalahkan, dan apalagi belum kuat basis legitimasi dari UUD 1945, akan menyebabkan hasil yang tidak optimal dari muatan yg ada dalam UUPA sekarang,” terang Banta Syahrizal.
Sudah Saatnya
“Saat ini, saatnya kita refleksi sekaligus merevisi UUPA, sebab Aceh masih terbatas kewenangan yang dimiliki dalam UUPA. Ketidak jelasan masih dituntut oleh rakyat Aceh, dan dalam waktu dekat akan turun PP tentang Sabang Pelabuhan bebas dan lainnya menyusul. Sebelumnya Aceh bangga dengan UU-PA, lantaran adanya Parlok dan di terimanya calon independen dalam pilkada yang lalu, tapi kini, justru kran demokrasi tersebut ditutup setelah provinsi lain di negeri ini memberlakukan hal yang sama. Maka sudah saat nya Aceh juga harus ada hak yang sama dalam mengajukan calon independen pada pilkada 2011 mendatang. Rakyat Aceh jangan khawatir akan judicial review,” sebutnya yang disambut tepuk tangan peserta seminar.
Lima Tugas
Pada kesempatan yang sama, Mantan Anggota DPR RI Ghazali Abbas Adan, turut menyampaikan perspektifnya. Ghazali menyitir Fiqhussiyaasah Al Islam yang terkenal Adh Dhuarurah Al Kamsah, bahwa ada lima hal yang jadi tugas penguasa saat dirnya mengkritisi pemerintahan saat ini.
Yang pertama, menjaga eksistensi agama dengan menunjukkan keteladanan serta melindung pemeluk agama dalam menjalankan syariat agamanya. Kedua, menjaga harkat, martabat, darah dan nyawa manusia dari tindakan kesewenangan-wenangan. Ketiga, tugas melindungi harta milik pribadi serta bersama (asset pemerintah) untuk kemudian dikelola secara professional untuk kemakmuran dan kemashlahatan rakyat. Keempat, menjaga kecerdasan dan kualitas masyarakat yang memiliki budaya belajar yang tinggi. Dan kelima, bertugas menjaga kepastian hukum berkaitan dengan interaksi social masyarakat. Kesemua ini penting dilakukan dalam menjaga serta melindungi teritorial dan rakyat yang hidup di bawah penguasaanya.
Soal judicial review pasal 256 UUPA, Ghazali yang kini menjabat ketua parlok PASS, menyakini bila Mahkamah Konstitusi Jakarta mengabulkan keinginan elemen sipil Aceh, maka rakyat Aceh tidak akan merasa rugi. Bahkan, lanjutnya, bersuka cita lantaran banyak pilihan dalam pilkada yang demokratis, tanpa terror dan intimidasi serta diikuti banyak peserta yang berkualitas. “Outputnya, lebih dapat diandalkan untuk jadi pemimpin Aceh,” sebut Ghazali. (dha)
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !