
Allahlah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang beriman. Dengan anugerah iman itu kita senantiasa bisa memuji dan bersyukur kepadaNya. Sambil bershalawat ke hadirat Nabi Muhammad SAW, pemberi pencerahan kepada kita semua melalui statemen dan prilakunya.
Berbagai pemberitaan tentang penyelewengan, baik di media massa atau pun media eletronik senantiasa menggugah keprihatinan kita. Kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah iman kita tidak lagi berfungsi atau sudah demikian mengerucut dalam diri kita? Apakah manusia muslim telah lepas dari kontrol iman dalam berkata dan berbuat, ataukah persaingan hidup yang begitu keras selama ini telah menghilangkan perasaan rasional manusia sehingga dengan mudahnya melakukan berbagai perbuatan menyimpang dari ajaran Islam?
Al-quran dan Sunnah mengisyaratkan -paling tidak- terdapat dua hal pokok yang menjadi penyebab penyimpangan dan penyelewengan ummat terhadap ajaran Rasulullah.
Pertama, keangkuhan yang dilahirkan oleh keterpedayaan kemewahan dunia. Sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al-Jasiyah: 35)
Manusia dalam perspektif ayat di atas menyeleweng dan menyimpang adakalanya bukan karena ketidaktahuan terhadap ajaran dan norma dalam masyarakat, akan tetapi keangkuhan menyebabkan mereka tertipu dengan kemewahan dunia.
Kedua, ketidaktahuan, baik informasi yang keliru, maupun tidak diterimanya informasi sama sekali. Al-Quran berulang kali mengisyarakat hla ini diantaranya dalama surat Al-‘Araf 131: “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Reaktualisasi Iman

Dua faktor penyebab penyeleweangan moralitas di atas dapat diatasi dengan terapi iman, recovery iman dan reaktualisasi iman dalam kehidupan masyarakat muslim. Hal ini seperti diutarakan dalam kitab Manhaj al-quran al-Karim fi al-Ishlah al-Mujtamah Qasas fi ilmi al-quran yang menjelaskan beberapa upaya reaktualisasi iman dalam jiwa dan kehidupan manusia beriman.
Pertama, iman merupakan landasan kebahagian. Kebahagian tuntutan sekaligus tujuan hidup setiap manusia muslim. Ibnu Qayyim dalam kitab madari as-salikin berkata; dalam hati telah terjadi perpecahan, dalam hati terdapat kegamangan, dalam hati terdapat kesedihan. Semua itu hanya dapat dihandle dengan kedekatan kita dengan Allah SWT
Kedua, iman merupakan landasan bagi akhlak mulia, menepati janji, sabar, adil, saling menasehati dalam kebenaran, sikap pemaaf adalah pancaran Iman. Teorinya iman akan membuat atasan mengahargai bawahannya, bawahan melaksanakan amanah atasannya, dan berbuat baik kepada tetangga.
Ketiga, iman merupakan basis bagi ketenangan jiwa dan hati, dalam surat ar-Ra’du ayat 28: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Ungkapan bizikrillah; al-Qurthuby menafasirkan, bahwa zikrillah dapat diupayakan melalui, menyebut nama Allah dengan lisan, membaca al-Quran, mengingat hari kiamat, anugerah Allah, qadha, dan ketentuan Allah.
Keempat, iman menumbuhkan keyakinan tentang rezeki. Seperti dalam Surat Hud ayat 6: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
al-Qurthuby juga menyatakan hakikat rezeki adalah sesuatu yang membuat manusia bertahan hidup. Ketika manusia menyadari hakikat rezeki, maka ia tidak akan melakukan upaya illegal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Rezeki yang diperolehnya pun akan senantiasa ia belanjakan sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang layak sehingga kekayaan membawa rahmat bukan membawa petaka bagi hidupnya di dunia dan kelak di akhirat.

Kelima, Iman menghidupkan jiwa keberanian, menganggap biasa kematian. Seperti Firman Allah dalam an-Nisa ayat 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”
Kematian adalah mutlak dan tak satu pun manusia luput darinya. Kesiapan menghadapi mati akan sangat ditentukan oleh produktifitas kerja kita sehari-hari, mana yang lebih maksiimal antara perbuatan negatif dan positif. Paradigmanya adalah semakin maksiimal kita berbuat baik maka semakin siap dan tegar bahkan siap dalam menghadapi kematian sebagai Husnul Khatimah yang kita peroleh.
Untuk itu, marilah kita menghindarkan diri dari dua penyebab penyelewengan manusia berupa keangkuhan dan kebodohan dengan menjadikan Iman sebagai landasan antisipatif. Wallahua’lam.
Khatib, Dr. H. Muhibbuththabary, M.Ag
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !