Wawancara : Hj. Abriati Yusuf. SE, Ketua Pimpinan wilayah Fatayat NU Aceh
Seiring dengan perjalanan waktu, peran dan posisi perempuan di ranah publik semakin baik. Perempuan tidak lagi identik dengan “pegawai domestik”. Banyak program-program pemberdayaan perempuan digulirkan. Tapi sudahkah perempuan dianggap terberdayakan? Bagaimana sebenarnya peran perempuan saat ini di sektor publik? Berikut petikan wawancara Eriza dengan Hj. Abriati Yusuf. SE.
Bagaimana peran perempuan saat ini?
Di banding dulu, peran perempuan sekarang ini sudah lebih bagus. Menurut saya, sekitar 60 % perempuan sekarang sudah bisa memposisikan dirinya di garda depan, tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Perempuan sekarang sudah lebih baik. Perempuan sudah keluar dari kepitan “sumur, kasur dan dapur”.
Kalau kita lihat dari sisi pendidikannya?
Umumnya perempuan Aceh sudah berpendidikan, baik secara formal maupun non formal. Sudah banyak yang menempuh perguruan tinggi. Tidak seperti dulu. Ada juga yang berasal dari didikan pesantren. Nah, pesantren ini juga bagian dari tempat belajar sehingga lepas belajar juga akan lahir perempuan-perempuan terdidik.

Kiprah perempuan di ranah publik?
Sudah banyak yang berkiprah di ranah publik. Baik di desa maupun di kota, perempuan sudah ada inisiatif untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan, tidak dipenjara oleh budaya atau pun larangan dari keluarga. Perempuan sekarang ingin maju dan banyak mendengar, apa lagi setelah tsunami. Banyak kita lihat lembaga-lembaga perempuan yang muncul dan datang ke desa-desa. Disitu nanti akan ada pemberdayaan ekonomi, dari pemberdayaan tersebut si perempuan yang diberdayakan bisa membantu keluarga dan suaminya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalnya untuk buat kue, diajarkan menjahit dan lain-lain. Bahkan sekarang sudah ada yang namanya desa siaga, yang mengharapkan perempuan itu bisa lebih mandiri. Kemandirian disini bukan kemandirian yang dipaksakan oleh laki-laki tetapi atas kesadaran dan kemauan sendiri untuk membantu keluarganya, yang penting apa pun yang dilakukan itu halal.
Tapi yang jadi soal, dalam adat istiadat yang masih berkembang di sebagian kita, ada sejumlah lelaki yang tidak bisa menerima kiprah perempuan. Ini masih ada dalam masyarakat kita. Baik di desa maupun di kota. Ada laki-laki yang susah jika isterinya lebih maju. Takut nanti bisa-bisa diatur oleh isterinya.
Padahal perempuan yang baik itu meski pintar tidak akan mengatur. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai perempuan yang bekerja dan seorang isteri serta ibu bagi anak-anaknya. Perempuan itu tetap akan menjadi perempuan dan tidak akan berubah jadi laki-laki.

Model pemberdayaan yang masih harus dijalankan dan dibutuhkan perempuan saat ini?
Perempuan itu sangat perlu diberdayakan. Pemberdayaan perempuan bukan hanya pemberdayaan ekonomi tapi harus kita lihat secara global dan luas. Pemberdayaan perempuan juga bisa melalui sifat gotong royong masyarakat, pembinaan dalam kesehatan juga termasuk pemberdayaan. Jika ada yang harus kita ubah, itu adalah pola pikir perempuan sekarang untuk tidak lagi bekerja hanya jika dibayar. Misalnya dalam hal pembersihan desa. Dulu waktu ada NGO, semua perempuan dan bahkan laki-laki mau membersihkan desanya hingga bersih karena ada pembayaran, tetapi setelah tidak ada lagi NGO coba saja lihat sekarang desa-desa sudah kotor kembali. Pola pikir inilah yang harus kita ubah. Memang susah merubah pola pikir ini. Tetapi ini semua tugas kita. Pemberdayaan kesehatan dan ekonomi sudah banyak kita lakukan. Untuk hal lainnya pola pikir ini dulu yang harus kita ubah.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !