(Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS. An-Nisa’: 105)
Rasul dibimbing oleh Allah supaya janganlah menjadi pembela terhadap orang yang berkhianat. Dalam cerita ini, yang berkhianat tentu orang Islam, sementara orang Yahudi tidak tahu apa-apa.
Misalnya, ada sepetak tanah, gara-gara dia famili kita lalu kita bela dia, padahal dia berkhianat mengambil harta waqaf. Mengambil harta orang. Tapi gara-gara famili kita, langsung kita bela, tidak boleh! “Janganlah kamu menjadi pembela terhadap orang-orang yang berkhianat.”
Dalam ayat di atas, Allah mengatakan ketentuan hukum itu harus disesuaikan dengan kitabullah, dengan Quran. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu Alquran dengan sebenarnya.” Disebut asshidqu sudah berulang-ulang. Jadi al-haq tidak akan berubah lagi. Kematian itu sesuatu yang haq, tidak akan berubah lagi selama masih ada dunia ini, sejak Nabi Adam sampai akhir masa: al mautu haqqun.
“Kami menurunkan kepadamu Alquran dengan sebenarnya untuk kamu menetapkan hukum dengan apa yang kamu lihat, yang kamu dapat dari Allah.” Ini artinya apa? Jika seseorang menetapkan hukum Allah, maka melihat Alquran, dia harus berpikir bagaimana menerapkan ayat Al Quran terhadap suatu peristiwa.
Jadi tidak semena-mena, ambil ayat ini, ini keputusan hukumnya. Tidak demikian. Kita lihat dulu ayatnya dan bagaimana pula Rasulullah bersabda. Jadi ada proses, tidak semena-mena ambil Quran. Jika ada ada yang beragama Islam dan nonmuslim kita baca bagaimana ketentuan Alquran. Umat manusia pada hakikatnya satu, jadi jangan gara-gara berbeda agama lantas kita memihak kepada agama Islam yang melakukan kesalahan.
Jadi sabab nuzul ayat di atas: ada seseorang anshar menitip barangnya pada seseorang yang bernama Thu’mah. Di dalam kantong itu ada pedang, dia pergi jauh, agak lama baru dia pulang. Rupanya Thu’mah itu melihat: “Ini apa dalam kantong. Ada tepung disini, ada pedang.” Ketika orang itu kembali, dia buka kantong itu, dia tidak melihat lagi pedangnya.
Lalu, dia bertanya kemana pedang sementara tepung masih ada. Thu’mah mengatakan tidak tahu. “Saya tidak tahu, kan tadi kamu letakkan di tempat saya, sudah, sekarang kamu ambil, begitulah keadaanya, saya nggak tahu,” katanya. Bahkan Thu’mah mengatakan, benda itu ada pada orang Yahudi. Dia menuduh Yahudi yang menacurinya, sementara orang Yahudi tidak tahu apa-apanya. Yahudi itu bernama Zait bin Samin.
Pemilik barang tetap menuntut tanggungjawab tempat penitipan barang, “Untuk apa kamu bilang sama Yahudi.” Jadi ia ingin membuat suatu pelanggaran yang kemudian pelanggaran itu ditimpakan kepada orang lain. Kemudian yang aneh, kaum atau qabilah dari Thu’mah datang beramai-ramai mengatakan Thu’mah itu orang baik kepada Rasulullah. Akhirnya Allah memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa yang salah Thu’mah.
Rasul dibimbing oleh Allah supaya janganlah menjadi pembela terhadap orang yang berkhianat. Dalam cerita ini, yang berkhianat tentu orang Islam, sementara orang Yahudi tidak tahu apa-apa.
Misalnya, ada sepetak tanah, gara-gara dia famili kita lalu kita bela dia, padahal dia berkhianat mengambil harta waqaf. Mengambil harta orang. Tapi gara-gara famili kita, langsung kita bela, tidak boleh! “Janganlah kamu menjadi pembela terhadap orang-orang yang berkhianat.”
Dalam ayat di atas, Allah mengatakan ketentuan hukum itu harus disesuaikan dengan kitabullah, dengan Quran. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu Alquran dengan sebenarnya.” Disebut asshidqu sudah berulang-ulang. Jadi al-haq tidak akan berubah lagi. Kematian itu sesuatu yang haq, tidak akan berubah lagi selama masih ada dunia ini, sejak Nabi Adam sampai akhir masa: al mautu haqqun.
“Kami menurunkan kepadamu Alquran dengan sebenarnya untuk kamu menetapkan hukum dengan apa yang kamu lihat, yang kamu dapat dari Allah.” Ini artinya apa? Jika seseorang menetapkan hukum Allah, maka melihat Alquran, dia harus berpikir bagaimana menerapkan ayat Al Quran terhadap suatu peristiwa.
Jadi tidak semena-mena, ambil ayat ini, ini keputusan hukumnya. Tidak demikian. Kita lihat dulu ayatnya dan bagaimana pula Rasulullah bersabda. Jadi ada proses, tidak semena-mena ambil Quran. Jika ada ada yang beragama Islam dan nonmuslim kita baca bagaimana ketentuan Alquran. Umat manusia pada hakikatnya satu, jadi jangan gara-gara berbeda agama lantas kita memihak kepada agama Islam yang melakukan kesalahan.
Jadi sabab nuzul ayat di atas: ada seseorang anshar menitip barangnya pada seseorang yang bernama Thu’mah. Di dalam kantong itu ada pedang, dia pergi jauh, agak lama baru dia pulang. Rupanya Thu’mah itu melihat: “Ini apa dalam kantong. Ada tepung disini, ada pedang.” Ketika orang itu kembali, dia buka kantong itu, dia tidak melihat lagi pedangnya.
Lalu, dia bertanya kemana pedang sementara tepung masih ada. Thu’mah mengatakan tidak tahu. “Saya tidak tahu, kan tadi kamu letakkan di tempat saya, sudah, sekarang kamu ambil, begitulah keadaanya, saya nggak tahu,” katanya. Bahkan Thu’mah mengatakan, benda itu ada pada orang Yahudi. Dia menuduh Yahudi yang menacurinya, sementara orang Yahudi tidak tahu apa-apanya. Yahudi itu bernama Zait bin Samin.
Pemilik barang tetap menuntut tanggungjawab tempat penitipan barang, “Untuk apa kamu bilang sama Yahudi.” Jadi ia ingin membuat suatu pelanggaran yang kemudian pelanggaran itu ditimpakan kepada orang lain. Kemudian yang aneh, kaum atau qabilah dari Thu’mah datang beramai-ramai mengatakan Thu’mah itu orang baik kepada Rasulullah. Akhirnya Allah memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa yang salah Thu’mah.
Tugas utama para ulama, cerdikpandai dan umara, bagaimana prinsip-prinsip ajaran Islam dibidang kekuasaan dan politik bagi kemakmuran umat dan rakyat
ReplyDelete