Dr Tgk. H. Syamsul Rijal, M.Ag
Dosen Filsafat Islam pada
Dosen Filsafat Islam pada
Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry Aceh
Meminta maaf atas kekhilafan yang dilakukan adalah pekerjaan baik dan lebih mulia adalah mereka yang memberikan kemaafan tanpa diminta atas kekhilafan yang telah dilakoni, oleh karena itu memaafkan itu adalah bijak. Bagaimanapun sisi kehidupan dalam manusia berinteraksi tidak tertutup kemungkinan terjadi gesekan akibat kepentingan yang berbeda dan diperburuk lagi menyeret mereka kepada dialog dan wacana ke lembah pertikaian, keadaan buruk ini sejatinya menjadi solutif ketika hadir kata maaf dan akan lebih tepat saling memaafkan sehingga jalan Instrospeksi diri terbuka dan ukhuwwah terjalin dengan baik. Perintah menjaga ukhuwwah adalah sesuatu yang esensial dalam berIslam, bahkan kondisi ini menjadi cermin dimana komunitas Islam itu berada.
Kenyataan empiris menunjukkan dan berlaku bahwa dalam interaksi sosial di tengah komunitas yang tumbuh dan berkembang dipicu dengan kehidupan yang kompetetif melahirkan situasi kehidupan penuh dengan persaingan untuk mencapai tujuan yang menjadi asa kehidupannya. Mereka yang mengedepankan keinginan semata lupa dengan entitas normatif serta moralis akan terjebak dengan pencapaian tujuan yang semu. Sebaliknya, mereka yang memiliki nilai nilai normatif sebagai dasar berpijak akan lebih terlindungi dari sikap melampaui batas dalam pencapaian keinginan dimaksud, pantastis memang, namun itulah realitas sebuah kehidupan.
Kehidupan itu adalah perjuangan, dan perjuangan untuk kehidupan itu penuh dengan kompetisi, mereka yang berkompetisi secara sehatlah yang akan mampu merasakan nikmat kehidupan yang esensial, yaitu kehidupan yang berada di bawa redhaNya. Pergulatan anak manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mengabaikan entitas normatif memiliki kecenderungan akan melakukan apa saja yang di dalam benaknya itu dapat mengantarkan kepada tujuan kesenangan yang akan dicapai. Sebaliknya, terdapat juga diantara mereka lebih mengedepankan subtansi normatif-religie sebagai dasar gerakan kehidupannya sehingga mereka mencapai suasana kehidupan sesungguhnya, yaitu kehidupan yang mendapatkan berkah serta ridha-Nya.
Nah dalam sebuah format kehidupan yang mengabaikan entitas normatif, ketika mereka terjebak dalam persaingan hidup mereka lebih memilih persaingan yang tidak sehat, sehingga terdorong untuk saling menista, menjelekkan, mengupat, mencaci kaki, dan bahkan memfitnah agar tujuan kehidupan itu tercapai. Dalam sisi kehidupan ini terciptalah tatanan komunitas yang tidak sehat, dimana antar interaksi transpersonal saling berburu cita dengan jalan menjatuhkan pesaingnya dalam cara cara yang tidak wajar dan bahkan tidak benar.
Wahai manusia, saatnya anda di waktu terkini mengevaluasi kembali apa yang telah anda lakukan, temukanlah entitas kekhilafan dengan bersegeralah memperbaikinya serta memperbanyak aktifitas saleh untuk sebuah proses mempercepat mendapatkan maghfirahNya, itulah dinamika serta sikap hidup yang esensial menuju kehidupan yang diredhaiNya.
Terkait dengan prihal kohesi-sosial interpersonal yang tidak sehat selama ini, adalah bijak menyegerakan diri meminta kemaafan dan adalah juga mulia mengambil sikap memaafkan segala kesalahan terhadap orang orang yang telah berbuat kesalahan terhadap anda, itupun dalam kadar entitas kesalahan yang dapat dimaafkan, terkait dengan piutang dan atau kesalahan yang tidak termaafkan bicarakanlah (rekonsiliasi) dengan lemah lembut dan bijak segera mencari solusi sehingga tidak larut dengan mendendam asa. Karena itu sesuatu yang dapat merusak sendi ukhuwwah yang telah digariskan dalam berIslam harus dijaga dengan baik, semua anda adalah bersaudara, jagalah persaudaraan itu dalam situasi bagaiama pun jua karena di sana terdapat nilai hikmah besar dalam menjalani misteri kehidupan ini.
Kehidupan transpersonal seseorang dengan lainnya acapkali tidak sejalan dengan keinginan wacana yang dikehendaki sehingga pada gilirannya memantik perselisihan dan bahkan menggiring kepada pertikaian yang menyebabkan rusaknya hubungan transpersonal yang seharusnya. Kehadiran manusia dalam kenyataan realitas yang kita amati adalah terdiri dari berbagai etnisitas serta ragam kelamin membuka peluang interaksi agar mereka dapat saling berkenalan berinteraksi berbagi asa mengisi kehidupan yang baik dan mulia, namun semua strata sosial yang dimiliki itu adalah bernilai sama di sisi Allah kecuali mereka yang memiliki entitas Taqwa (baca: inaa akramakum indallah atqakum).
Hentikan semua pertikaian kehidupan ini, kembalilah ke jalan persahabatan dengan mengisi kehidupan berbasiskan persaudaraan, saling isi mengisi serta bahu membahu dengan segenap potensi yang ada adalah lebih bijak ketimbang mengedepankan pertikaian, perselisihan, dan wacana keinginan yang tidak sehat di dalam mengisi formasi kehidupan. Adalah setiap insan memiliki nilai kearifan kehidupannya di dalam atmosfir pergaulan yang mendera kekhilafan dalam berperilaku saatnya kembali kepada nuansa kemaafan, bukankah entitas memaafkan itu bagian integratif dari nilai subtansial dari pribadi yang berTaqwa (Q. 3:134). Sebagai rekomendasi diskursus tausiyah ini adakah patut direnungkan sebuah ungkapan kata bijak yang menyebutkan bahwa “qimat al-akhlaq an ta’fu, wa anta qadir ala al-intiqam”, ya benar, nilai esensial dalam prilaku mulia itu adalah ketika seseorang memiliki kemampuan memberikan kemaafan terhadap orang lain di saat mana seseorang itu berkemampuan juga mendendam asa atas kekeliruan yang dilakukan terhadapnya.
Bersegeralah dalam logika sigap memberi kemaafan, demikian juga berupaya untuk memperoleh kemaafan itu sendiri, sehingga subtansi kehidupan yang dilakoni itu tetap dalam wacana yang mencerminkan entitas persaudaraan dalam berIslam. Wahai segenap insani yang sedang menjalani proses kepribadian menunju entitas manusia berTaqwa via serangkaian ibadah Ramadhan, jangan abaikan bahwa memaafkan itu bijak dan perlu.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !