Headlines News :
Home » » Trilogi Politik Syarak Jelang 2014

Trilogi Politik Syarak Jelang 2014

Written By MAHA KARYA on Sunday, March 17, 2013 | 3/17/2013

Oleh Affan Ramli

Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid sebagaimana diberitakan berbagai media massa, mengkhawatirkan Pemilu 2014 dikuasai para pemodal besar. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu, karena demokrasi modern memang didesain untuk memindahkan kekuasaan dari kaum bangsawan ke kelas pemodal. Jikapun pengusaha tidak mencalonkan diri dalam pemilu 2014, tetap saja para politisi dan partai politik dibiayai para pemodal. Maka parpol setelah memenangkan Pemilu bekerja melayani pemodal melalui regulasi-regulasi dan kebijakan pembangunan. Inilah “cacat bawaan” demokrasi modern. Apakah Syariat punya jalan keluarnya?

Pertanyaan ini semakin relevan seiring dengan pemikiran terkini yang disampaikan oleh kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Prof. Syahrizal Abbas. Bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ke depan akan mengatur tata cara mengelola pemerintahan yang baik dan Islami. Tulisan ini untuk mendiskusikan lebih jauh apakah konsep pemerintahan islami yang diusung oleh Dinas Syariat Islam nantinya dapat mengoreksi ‘cacat bawaan’ demokrasi modern.

Saya menemukan tiga serangkai konsep kunci dalam politik Syarak, yaitu hukum, hukumah, dan hukama. Ketiganya dari akar kata yang sama, hakama (ha, kaf, mim). Rancang bangun politik Aceh jika ingin memenangkan rakyat (bukan penguasa modal) harusnya dibangun di atas fondasi ketiganya. Saya ingin meletakan fondasi pemikiran sistem politik terbaik berbasis syarak yang akan diusung Dinas Syariat Islam Aceh. Kata Syarak dalam 'politik syarak' di sini meminjam istilah populer dari dokumen Qanun Syarak Kerajaan Aceh.

Hukum
Peradaban Kesultanan Aceh Darussalam menyediakan empat konsep (terms) terkait aturan sah, yakni adat, qanun, reusam, dan hukom. Dari cara pemisahannya memperjelas makna ‘hukum’ bukanlah aturan. Dari banyaknya aturan berlaku, tidak semua bisa disebut hukum. Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh majlis rakyat sebagai hasil pemufakatan dan kompromi-kompromi politik disebut qanun. Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah (eksekutif) dan memiliki sanksi bagi pelanggarnya disebut adat. Aturan-aturan yang mengatur prosedur tetap atau protokoler (tidak ada sanksi bagi pelanggarnya) disebut reusam. Dan aturan-aturan bersumber dari wahyu atau disimpulkan dari wahyu oleh para para fuqaha (ahli fiqh), urafa (ahli irfani/makrifat), dan hukama (ahli hikmah/filsafat) disebut hukom.

Dari kedekatan kata ‘hukum’ dan ‘hikmah’(ilmu tertinggi setelah wahyu), hukum merupakan tesis-tesis atau penyimpulan-penyimpulan pemikiran para pemilik ilmu hikmah (para filsuf dan ahli makrifat). Sebagiannya dikristalkan dalam bentuk aturan-aturan dan pedoman praktis. Terkait hal ini filsuf muslim ternama abad ini Taqi Misbah Yazdi menjelaskan, pembuatan dan pengesahan aturan-aturan dilakukan berbasis pada kriteria ketuhanan dan ilmiah, bukan kesepakatan mayoritas.

Aturan-aturan bernilai hukum karenanya tidak diproduksi oleh parlemen, tetapi oleh sekumpulan ahli hikmah lagi faqih. Posisi hukum dalam hirarki aturan di Aceh harus kembali ditempatkan pada puncak, seperti ungkapan: adat bersendikan hukum, hukum bersendikan syarak. Qanun-qanun (produksi parlemen) dan adat-adat (produksi eksekutif) bukan saja merujuk pada hukum, bahkan diinspirasi dan dijiwai oleh nilai-nilai dan spirit keadilan dalam kandungan hukum. Qanun-qanun dan adat-adat bisa saja dibuat atas pesanan pemodal (perusahaan-perusahaan kapitalis) yang membiayai partai politik pemenang Pemilu, tapi hukum dan lembaga pembuatnya terlindungi dari negosiasi-negosiasi “rendahan” seperti itu.

Hukumah
Konsep hukumah (pemerintahan) sangat menentukan apakah hukum dapat melayani kebutuhan manusia, menyelesaikan kesulitan rakyat, dan membela hak-hak mayoritas rakyat Aceh yang terdhalimi atau tidak. Sebagus apapun hukum, qanun, dan adat yang bisa diproduksi Aceh, tidak banyak berguna ketika konsep hukumahnya bermasalah. Hukum dan qanun akan menjadi ‘macan kertas’ tanpa implementasi, bila konsep hukumahnya seperti saat ini. Hukum Syarak hanya bisa hidup di tangan hukumah islamiah.

Sayangnya dalam sejarah peradaban Islam, hukumah merupakan isu yang paling langka dibahas dan didiskusikan para ulama. Politik penguasa kedinastian (sejak umawi sampe kesultanan Aceh Darussalam) tidak menyediakan situasi kondusif bagi perbincangan bebas tentang konsep hukumah yang baik. Beberapa ulama klasik dibiarkan menulis tentang Daulah Islamiah (negara Islam), bukan hukumah Islamiah (pemerintahan Islam). Daulah Islamiah bisa saja tidak menggunakan konsep hukumah Islamiah. Kekuasaan kaum bangsawan dan pengistimewaan darah biru dibenarkan dalam teori Daulah Islamiah, tapi tertolak dalam konsep hukumah Islamiah yang menjunjung tinggi kesetaraan manusia.

Dalam pandangan saya, pemerintahan Islami dapat dibincangkan dari tiga aspek: struktur, kebijakan, dan perilaku. Secara struktur, hukumah Islamiah adalah pemerintahan yang dipimpin hukama (filsuf, cendikia, faqih, ahli makrifat) yang di tangan mereka hukum-hukum diproduksi. Lembaga hukama dalam tata negara (atau tata-negeri Aceh) mestilah berada pada posisi tertinggi. Dalam tamadun Aceh, hukama tersusun dari Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil. Namun sistem kesultanan tidak memungkinkan kekuasaan tertinggi sepenuhnya berada di tangan hukama.

Dari sisi kebijakan, pemerintahan Islami adalah pemerintahan yang menunaikan kewajiban-kewajibannya memenuhi hak-hak rakyat menurut Syariat. Hak-hak rakyat mayoritas yang seringkali dikebiri dalam sistem politik demokrasi liberal mendapat pembelaan serius dalam kebijakan pemerintahan islami. Kebijakan-kebijakan pembangunan (dalam qanun dan adat) memenangkan kepentingan komunal dan melawan privatisasi atas aset-aset bersama. Dari sisi perilaku, pemerintahan Islami adalah pemerintahan yang dikelola (baik politisi maupun birokrat) dengan standar akhlak Islam. Pelayanan publik sejak pembangunan infrastruktur, prosedur tetap sampai sikap dalam mengurus urusan-urusan rakyat dibangun berbasis integritas akhlak islami.

Hukama
Hukama bentuk plural dari kata hakim atau alhakim. Quran menggunakan gelar alhakim secara istimewa seperti istimewanya ilmu hikmah. Gelar alhakim dilekatkan oleh Quran kepada Luqman. Maka hukama pada dasarnya adalah kumpulan orang-orang dengan kualitas sekelas Luqman Alhakim atau mendekatinya. Hukum (rujukan bagi qanun, adat, reusam) dan hukumah harus diserahkan kepemimpinan tertingginya ke tangan kaum hukama.

Gagasan ini secara panjang lebar diuraikan Muhsen Qarawiyon dalam teori politiknya ‘wilayatul hakim’ (otoritas tertinggi pemilik ilmu hikmah). Adapun ilmu hikmah adalah ilmu tertinggi setelah wahyu. Sebagian filsuf Islam menjelaskan ilmu hikmah dengan model Hikmah Muta’liayah Mulla Sadra, yaitu gabungan dari ilmu-ilmu rasional (filsafat), Irfani (gnostik), Kalam (teologi), dan Mistisisme.

Premis-premis dasar teori ‘wilayatul hakim’ adalah masyarakat manusia sarat dengan tazahum (pertentangan dan gesekan kepentingan) yang penyelesaiannya harus diserahkan kepada satu otoritas (pemeintahan), dan pemerintahan bekerja membangun qawanin (jamak dari qanun) sebagai kerangka kerja penyelesaiannya. Kandungan dan implementasi Qawanin harus menjamin keadilan, dan keadilan hanya bisa diketahui dengan ilmu hikmah. Maka otoritas harus diserahkan kepada alhakim atau hukama (para pemilik ilmu hikmah) atau orang yang lebih arif diantara manusia sekelilingnya.

Dalam peradaban politik Aceh, kualitas hukama terdapat pada Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil yang diisi oleh orang-orang bergelar keilmuan Teungkue Chiek dan Syaikh. Saat ini, lembaga Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil dapat dibentuk ulang bersama Wali Nanggroe, namun Aceh kesulitan menemukan orang-orang yang punya kualitas keilmuan dan akhlak berkelas hukama untuk mengisinya.

Salah satu agenda strategis menjawab persoalan ini adalah menghidupkan kembali institusi-institusi Dayah Chiek di semua kabupaten/kota. Tentu saja dengan kurikulum dan sistem pendidikan Dayah Chiek terdahulu yang sudah melahirkan orang-orang sekelas Tgk Chiek Ditiro, Tgk Chiek Pante Kulu, Tgk Chiek Tanoh Abee, dan banyak lagi yang lain. Hanya orang-orang sekelas Tgk Chiek inilah yang dapat mengisi lembaga hukama.

Apakah para tgk chiek dengan mudah bisa dibeli oleh pengusaha (perusahaan kapitalis) seperti dibelinya para politisi pemenang Pemilu? Bagi saya, hukama adalah orang-orang yang tak terbelikan. Pemerintahan di tangan mereka akan memenangkan kepentingan rakyat. Kegelisahan Farhan Hamid dapat diselesaikan dengan konsep Politik Syarak ini, bukan dengan memperbaiki aspek teknis dari Pemilu.
 
Penulis Buku Merajam Dalil Syariat
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin