Diantara bukti kekuasaan Allah SWT adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia melalui perantaraan lisan. Anugerah lisan ini wajib kita syukuri dengan senantiasa berkata benar. Kita juga wajib menjaga tutur kata supaya tetap benar dan hendaknya dapat menjadi contoh bagi sesama manusia. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat As-Syu’ara 84: “dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”.
Salah satu kemampuan yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya adalah kemampuan lisan untuk menuturkan keinginannya kepada orang lain. Bahkan ada orang yang terpesona karena lisannya mampu menguntaikan kata-kata indah, sehingga ia dipuji orang. Namun, pada sisi lain lidah dapat pula membawa petaka dan musibah bagi pemiliknya. Kita dengar dan baca di media massa, banyak orang yang terperangkap bahkan dituntut secara hukum karena tidak mampu menjaga lisannya.
Kita patut mempertanyakan kenapa hal itu terjadi? Mengapa lisan beralih fungsi dari pembawa rahmat menjadi pembawa bencana? Bagaimana seharusnya mengontrol lisan dan menjaganya untuk selalu berkata benar dan lahir pula perbuatan yang benar?
Salah satu alat yang bisa digunakan untuk menghancurkan jati diri, kesucian dan kemuliaan seorang muslim adalah penggunaan bahasa yang keras dan tensi tinggi dalam berbicara dangan lawan bicara. Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 19: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.
Dalam ayat lainnya Allah Ta’ala berfirman, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaf: 18).
Dalam kaitan ini, lisan adalah raja atas semua anggota tubuh. Semua tunduk dan patuh kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh ikut lurus. Jika ia bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuh.
Nabi SAW bersabda: "Apabila anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada lisan, seraya berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami, karena kami mengikutimu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila kamu bengkok, maka kami pun bengkok'." (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Imam An-Nawawi yang wafat pada tahun 676 H. berkata, "Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari semua perkataan, kecuali perkataan yang maslahat di dalamnya telah jelas. Dan ketika perkataan itu mubah, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat maslahat maka disunnahkan untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang mubah akan terseret menuju keharaman atau kemakruhan. Bahkan ini menjadi hal yang umum di dalam adat kebiasaan, sedangkan keselamatan maka tidak ada sesuatu pun yang menyamainya."
Al-Imam Asy-Syafi'i berkata, "Apabila seseorang ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Apabila telah jelas maslahatnya, maka dia berbicara, dan apabila ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya."
Al-Imam asy-Syafi'i juga pernah berpesan kepada muridnya Ar-Rabi', "Wahai Ar-Rabi', janganlah kamu berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu, karena apabila kamu berbicara satu kata, maka ia akan memilikimu, sedangkan kamu tidak dapat memilikinya."
Ketahuilah bahwa ghibah termasuk perbuatan yang paling buruk dan paling tersebar di antara manusia, sehingga mereka tidak selamat darinya melainkan hanya segelintir orang saja. Batasan ghibah yaitu engkau memperbincangkan saudaramu dengan sesuatu yang jika hal itu didengar atau sampai ke telinganya, maka dia merasa tidak senang, baik itu mengenai badan, nasab, perilaku, perbuatan, ucapan atau dalam urusan agamanya, bahkan sampai pakaian yang dia kenakan, rumah tinggal, dan kendaraannya.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan ijma' ulama. Dan telah jelas dalil-dalil yang sharih tentang keharamannya dari Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma'. Allah Ta’ala berfirman, "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela." (Al-Humazah: 1).
Kata-kata yang manis memang terbukti bisa menghipnotis manusia. Ia bisa menghanyutkan manusia dalam buaiannya. Pendapat ini bertitik tolak pada fitrah manusia yang selalu ingin dihargai atau bahkan dipuji. Tutur kata yang manis juga bisa memotivasi orang lain untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan mungkar.
Sebuah kritikan yang tajam, namun dibungkus dengan tutur kata yang halus lebih bisa diterima oleh orang yang dikritik. Dan sebaliknya, penyampaian dakwah kebenaran secara vulgar dan kasar kepada umat manusia terkadang akan berakibat sebaliknya. Metode tersebut tidak hanya kurang efektif, bahkan bisa memunculkan sikap antipati dari objek dakwah. Allah memberikan dalam kelembutan sesuatu yang tidak diberikanNya dalam kekerasan.
Inti dakwah Islam adalah saling nasihat menasihati, nasihat bagi Allah, Rasulullah, para pemimpin, dan kaum muslimin. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Tolonglah saudaramu yang zhalim dan dizhalimi."
Dan cara menolong saudara yang zhalim adalah menasihatinya agar tidak melakukan kezhaliman dan kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kelembutan, tidaklah terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah ia terlepas dari sesuatu melainkan ia akan menodainya." (HR. Muslim).
Pesan Rasul di atas memberi petunjuk tuntas bagaimana kita menjaga Lisan dengan melekatkan pada lisan kita kelembutan, ketegasan dan kebenaran sehingga manfaat lisan dapat menjaga kita di dunia dan memberikan kebahagian hidup di akhirat kelak. Amiin ya rabbal a’alamin.
Khatib Jum'at 8 Juni 2012 Dr. H. Muhibbuththabary, M.Ag
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !