Adat bak Poteu Meureuhôm,
Hukôm bak Syiah Kuala,
Qanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Lakseumana.
Hadih maja di atas sudah lazim kita simak. Secara garis besar artinya yakni persoalan adat-istiadat, sistem pemerintahan diurus oleh raja yakni Poteu Meureuhôm. Persoalan hukum diatur oleh ulama yakni Teungku Syiah Kuala. Dalam bahasa lain, setiap aturan di Aceh sudah ada lembaga yang mengurusnya dan mereka itu saling berkait. Kalau dalam sebutan manajemen modern, sejak dulu sudah ada pembagian tugas yang jelas.
Sejalan dengan hadih maja itu, di Sumatera Barat juga dikenal sebutan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Ada yang menyatakan, kutipan ini sejalan yang berlaku di Aceh karena dulu Minang adalah bagian dari Kerajaan Aceh. Maka jadilah sebutan nanggroe menjadi nagari di Minang dan lain-lain. Perihal apakah ini benar atau tidak, sejarawan yang lebih paham. Yang jelas, antara Aceh dengan Minang memiliki persamaan yang sama yakni sama-sama kuat dalam bidang Islam.
Begitulah pada akhirnya adat istiadat di Aceh pun secara garis besar melebur dalam Islam. Sebelum Islam berlabuh di Tanoh Endatu ini, masyarakat menganut agama Hindu. Buktinya bisa disaksikan dari bentuk Masjid Indrapuri di Aceh Besar yang dibangun di atas reruntuhan pura. Pada waktu bersamaan, adat istiadat yang telah bersemi pun beralih menjadi adat istiadat yang Islam. Segala adat budaya di Aceh disesuaikan dengan syariat.
Merujuk hadih maja di atas, maka budaya-budaya yang berkembang di Aceh sudah disesuaikan dengan syariat. Tidak ada baju adat istiadat di Aceh yang memperlihatkan dada ke atas. Semua nyaris tertutup karena baju adat juga berkaitan dengan situasi perang ketika itu. Maka baju adat untuk perempuan memakai celana panjang. Hal demikian jarang kita jumpai pada baju adat di Nusantara lainnya.
Dalam kaitan dengan budaya Aceh, maka pelaksanaan lima tahun sekali Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 6 yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Jumat pagi, 20 September adalah langkah positif untuk melestarikan adat istiadat Aceh. Kekayaan adat budaya yang hidup dan berkembang di Bumi Cut Nyak Dhien sekaligus menjadi aset kekuatan Indonesia.
Kita sepakat melalui tema PKA ke 6 yakni Aceh satu dalam sejarah dan Aceh satu dalam Budaya semakin memperkuat tembok perdamaian yang masih rentan ambruk. Kita sadar, PKA ini bukan lahir dari suasana damai. Justru agenda budaya ini diselenggarakan setelah Tanah Rencong ini banjir darah akibat peristiwa DI/TII 1953. Untuk mengembalikan semangat ruh hidup serta keyakinan menatap masa depan yang lebih baik, maka pemimpin di Aceh mengelar PKA pada tanggal 12-23 Agustus 1958 di gedung Balai Teuku Umar di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Ada keinginan bersama, melalui pelaksanaan budaya, maka sesama orang Aceh bisa saling memaafkan agar luka akibat konflik bisa diselesaikan secara bermartabat tanpa kehilangan wajah. Pada waktu bersamaan, melalui semangat-semangat dari kebudayaan tersebut, maka penduduk bisa melangkah untuk masa kini dan depan lebih cepat. Kadangkala pendekatan melalui kebudayaan dalam menyelesaikan persoalan lebih cepat dan adil daripada membawa ke meja pengadilan. Kita bisa menyimak kata-kata bijak yang memberi tatanan dalam kehidupan. Bagaimana pun, pedoman hidup umat Islam yakni tetap pada Quran, Sunah dan sebagainya.
Akhirukalam, usai menyaksikan selamat menghayati makna aneka kebudayaan aneuk nanggroe. Berbeda-beda etnik diciptakan untuk saling mengenal. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. "Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. al-Hujurat [49]: 13) Murizal Hamzah
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !