Headlines News :
Home » » Kaya dengan Al-Quran

Kaya dengan Al-Quran

Written By MAHA KARYA on Friday, July 26, 2013 | 7/26/2013

Kaya dengan Al-Quran
Oleh Muhammad Yakub Yahya
 
Ayat yang mengajarkan, bahwa Ramadhan bulan diturunkan Al-Quran, kita baca dalam QS. Al-Baqarah 185. Setelah ayat “Syahru ramadhaana unzila fiihil qur`aanuu…,”  Allah ajarkan kita yang di Aceh dan di dunia, bahwa doa kita ini mesti banyak dan tulus --di samping usaha agar kaya-- lewat ayat,  “Wa idzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa innii qariib, ujiibu da’wataddaa’i idzaa da’aani….” 

Banyak syarat agar Allah mengamini doa kita, atasan dan staf. Di antaranya, kita penuhi juga dulu hak Allah. Tawadhu' (rendah hati), tadharru' (merendah)  sesaat dan seusai amin itu, juga diwajibkan sepanjang kita berdoa. Kita yang sok, sombong, urusan sama manusia saja ditampik pintaan kita, apalagi itu bait-bait doa pada Allah, Zat yang hanya berhak Al-Mutakabbir.

Ciri kita yang menolak kebenaran, dan ini indikasi kesombongan ini, antara lain, kita yang merawat kesombongan di hati: kepada orang yang patuh dan jujur kita anggap kampungan dan ketinggalan; tapi buat orang bangsat dan licik kita sebut hebat dan maju. Terhadap orang yang curang dalam berlalu lintas kita  kasih jempolan; tapi menilai kolot orang yang taat aturan di jalan raya. Menyindir tidak ada kerjaan untuk warga yang bolak-balik ke masjid dan mushalla; tapi menyebut dia yang sok sibuk itu ulet, kerja keras, dan pandai menghargai waktu.

Mengangkangi suara azan secara terang-terangan; tapi diam-diam menyahuti suara setan. Meragukan berita al-Qur`an dan hadits Nabi secara diam-diam; tapi meyakini betul berita koran secara gamblang. Merasionalkan sunnah Nabi lalu mendebatkan dan membencinya, tapi di saat yang sama melogikakan yang bid‘ah, lantas membangga-banggakan dan mensosialisasikan; dan mengajak menyepakati suatu Sunnatullah dan Rasul-Nya itu aneh; tapi memandang lumrah-lumrah saja gaya sesat ala Barat. Rasulullah diutus untuk kaum jahiliah yang menjungkirbalikkan nilai-nilai: yang luhur dan mulia dinilai hina, dan yang zalim dan keji dipandang hebat.

Kita sombong juga, jika gampang menuduh hanya gara-gara berbeda kitab dan guru kita, gara-gara 'lain bendera', beda riwayat hadis dengan kita. Kini bagi kita yang awam, masih kabur antara 'sunnah' dengan 'bid‘ah' dan antara aspek ibadah dengan khurafat, pada beberapa contoh. Bagi kalangan yang mengamalkan dengan tulus kadangkala rentan dikritik, bagi yang mengkritik pun hanya pandai menyalahkan orang, yang ia sendiri tanpa bisa menunjukkan teladan mulia yang lain.

Orang sombong, sok benar sendiri, biasa lancang menghakimi, misalnya dengan tuduhan telah mengada-adakan hal yang baru (baca: al-bid‘ah) terhadap apa yang belum ada pada masa Nabi, ke jidat orang lain. Siapa pun kita, yang hobbi memberi nilai, maunya fair dalam menilai, kalau memang kita sudah dibaiat sebagai pemberi stempel atau cap atas wajah, atas ibadah saudara kita.

Kepada masyarakat yang malas shalat, kita memeluk menciumnya, tanpa label haram. Untuk muazzin yang suara jelek, kita ejek, atau kita gugat bahwa kenapa sama anak-anak disuruh azan, atau azan kenapa orang tua; sedangkan kita yang muda-muda bersuara emas, lari menjelang shalat. Kalau bertemu masjid dan meunasah yang tidak terurus kita bergumam, kenapa tak ada manusia yang berazan, mana orang-orang; padahal kita juga orang. Semakin panjang tabiat kita, cuap-cuap kita, busuk hati kita pada saudara yang lain, yang dengan perangai 'suka usil', sok itu, beralasan sekali Allah menolak bait-bait doa kita, meski di bulan suci.

Dalam satu bagian pidato pembukan MTQ ke 31 di Kota Subulussalam, Ahad malam (23/6), Wagub Aceh Muzakir Manaf, menyinggung fenomena sosial keagamaan di daerah ini yang perlu menjadi perhatian bersama. Soal, maraknya pembangunan masjid. Menurutnya, Pemerintah senantiasa mendukung pembangunan masjid serta pengembangan kegiatan keagamaan lainnya. Namun, amat disayangkan, jumlah jamaah yang shalat terkesan amat sedikit. Untuk itu, ke depan harus menjadi perhatian bersama untuk memakmurkan rumah Allah. Kita salut, dan rindu berimam dengan pemimpin, berjamaah lima waktu bersama "Zikir" --nama duet, pasangan Gubernur (yang menutup MTQ Ahad malam, 30/6), dan Wagub Aceh yang membuka even besar itu.

Mualem menyindir, dulu sewaktu maghrib, sering terdengar gempita anak-anak dan anggota keluarga mengaji. Sayangnya, kearifan lokal ini telah mulai tercabut dari akar budaya Aceh. Aktivitas mengaji ba’da magrib sudah tergantikan nonton TV (televisi) dan duduk di warung kopi. Akibatnya, banyak generasi muda buta huruf Alquran. Kita juga rindu, terutama kita di partai dan pemerintah, bawahan dan atasan, mari teladankan kita yang jelata, dengan mengaji usai maghrib berjamaah, bukan menonton TV dan nongkrong, mengupat dan cang panah, di warung kopi.

Penulis adalah Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin