Setiap amal perbuatan manusia butuh ikhlas sebagai pra-syarat diterimanya amal kebaikan tersebut di hadapan Allah swt. Ikhlas itu pada dasarnya bersifat internal; tidak nampak, beramal jernih, semata-mata hanya karena Allah SWT. Tanpa bercampur dengan keterpaksaan, tekanan atau untuk kebutuhan mendongkrak popularitas belaka. Apalagi untuk kepentingan “tuhan” yang lain. Perbuatan yang dilakukan seseorang atas dasar pencitraan diri semata (berharap pengakuan), tanpa ada qasad memajukan orang lain untuk mencapai citra baik yang sama jauh dari predikat orang yang ikhlas.
Sikap orang yang ikhlas mestinya, jika ia memberi, memberi karena Allah semata. Jika ia menasehati, menasehati karena Allah semata. Jika ia membangun, membangun karena Allah semata. Jika ia membuat kebijakan, membuatnya karena Allah semata. Jika ia melayani, melayani karena Allah semata. Jika ia mencintai, mencintai karena Allah semata. Jika ia menyayangi, menyayangi karena Allah semata. Jika ia membenci, membenci karena Allah semata dan seterusnya.
Coba kita bayangkan! Seandainya upaya kita membuat, memperbaiki badan jalan, mendirikan/merehab gedung pelayanan, memberi, menyampaikan berbagai rupa bentuk bantuan JKA, raskin, beasiswa dan lain-lain), memberi pelayanan, membahas qanun, melaksanakan musrenbang berjenjang, dan lain-lain kebaikan untuk tujuan bukan karena Allah, tetapi untuk kepentingan pribadi, golongan atau kepentingan thagut, apa jadinya dunia ini? Apa jadinya Aceh yang kita cintai ini? Tentu kita akan gagal! Ikhlas adalah jalan internal untuk kita dapat tersenyum memandang keberhasilan di hari esok. Bukan lebih banyak karena keberhasilan tersebut, tetapi lebih karena kekuatan kita menghalau kegagalan dengan keikhlasan.
Oleh karena ikhlas ini bersifat internal maka sulit untuk mengukur apakah seseorang telah berbuat, beramal, bekerja dengan ikhlas atau tidak. Allah swt saja Yang Maha Tahu keikhlasan seseorang karena Dia bersifat ‘Aliim bidzaatishshuduur. Manusia tidak tahu sama sekali kecuali ada tanda-tanda yang terbuka (qarinah-qarinah) melalui ungkapan atau sikap erilaku. Seseorang yang datang kepada kita, misalnya, dengan mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah ia berikan atau ia menjanjikan sesuatu yang bersifat sah/benar tetapi tidak ia sikapi, tunaikan sesuai dengan janjinya dapat kita ketahui bahwa kebaikan yang telah ia berikan/janjikan itu bukan karena Allah.
Dalam pandangan atau asfek ilahiyyah kenyataan tersebut berarti tidak ikhlas dan dalam pandangan atau asfek insaniyyah berarti tidak jujur. Begitu pula, dapat diketahui keikhlasan melalui ungkapan atau sikap yang baik sebagaimana praktek Ali dan Isterinya dalam ayat di atas yang menjadi pertanda keikhlasan internal dirinya dengan Tuhan dan kejujuran (eksternal dirinya dengan hamba melalui ucapan dan sikap yang nyata). Di sinilah pertautan antara keikhlasan dan kejujuran. Kejujuran ini adalah pengejawantahan dari keikhlasan. Orang yang ikhlas sudah pasti dia jujur karena dia tidak dapat menyembunyikan dirinya dari Tuhan.
Empat sifat Nabi Muhammad saw seluruhnya bersifat lahiriah (eksternal); dapat dilihat oleh umatnya (orang lain). Shiddiq, amanah, tabligh, fathanah seluruhnya jelas nampak pada kepribadian Nabi, tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. Manusia dapat melihat, merasakan sendiri dan bahkan menilai karena terang-benderang; tidak abu-abu, apalagi gelap. Sifat seperti itu muncul hanya dari jiwa yang ikhlas. Shiddiq (jujur) muncul dari kedalaman hati berinteraksi dengan dan karena Tuhan. Keikhlasan adalah sumber kejujuran. Nabi bersabda: “Iman itu bukan simbol, tetapi terpatri hati (kepada Allah) dan dimunculkan (dijujurkan; shaddaq) dalam tataran praksis”.
Tanpa ikhlas seluruh amal menjadi sia-sia belaka, hanya memberatkan fisik tanpa ada atsar sedikitpun dalam psikis, secara lahiriyahnya mengerjakan tetapi kondisi bathiniyah meronta menolak perbuatan tersebut. Ibnu qayyim al Jauziyah membuat perumpamaan kondisi orang-orang yang beramal tanpa didasari rasa ikhlas bagaikan musafir yang mengisi kantong perbekalannya dengan kerikil dan pasir, hanya memberi beban berat tapi tidak membawa manfaat”.
Jika keikhlasan dan kejujuran tidak lagi menjadi hiasan hidup umat Islam maka kita akan celaka. Kecelakaan yang besar adalah krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan akan mendorong kepada penyelesaian masalah secara mandiri dan akan jauh dari taat asas dan kemaslahatan bersama. Untuk menghindari kecelakaan inilah saya kira Nabi Muhammad saw menampilkan dirinya sebagai orang yang secara sesungguhnya bersifat jujur, terpercaya, transparan dan cerdas dalam kehidupan lahiriah sehingga muncul kepercayaan (trust) dari umatnya. Dahulu pemimpin Aceh pun begitu dipercaya oleh masyarakatnya sehingga mampu mengumpulkan emas dengan sukarela untuk membeli Seulawah Airways dan disumbangkan untuk kepentingan negara
Sikap orang yang ikhlas mestinya, jika ia memberi, memberi karena Allah semata. Jika ia menasehati, menasehati karena Allah semata. Jika ia membangun, membangun karena Allah semata. Jika ia membuat kebijakan, membuatnya karena Allah semata. Jika ia melayani, melayani karena Allah semata. Jika ia mencintai, mencintai karena Allah semata. Jika ia menyayangi, menyayangi karena Allah semata. Jika ia membenci, membenci karena Allah semata dan seterusnya.
Coba kita bayangkan! Seandainya upaya kita membuat, memperbaiki badan jalan, mendirikan/merehab gedung pelayanan, memberi, menyampaikan berbagai rupa bentuk bantuan JKA, raskin, beasiswa dan lain-lain), memberi pelayanan, membahas qanun, melaksanakan musrenbang berjenjang, dan lain-lain kebaikan untuk tujuan bukan karena Allah, tetapi untuk kepentingan pribadi, golongan atau kepentingan thagut, apa jadinya dunia ini? Apa jadinya Aceh yang kita cintai ini? Tentu kita akan gagal! Ikhlas adalah jalan internal untuk kita dapat tersenyum memandang keberhasilan di hari esok. Bukan lebih banyak karena keberhasilan tersebut, tetapi lebih karena kekuatan kita menghalau kegagalan dengan keikhlasan.
Oleh karena ikhlas ini bersifat internal maka sulit untuk mengukur apakah seseorang telah berbuat, beramal, bekerja dengan ikhlas atau tidak. Allah swt saja Yang Maha Tahu keikhlasan seseorang karena Dia bersifat ‘Aliim bidzaatishshuduur. Manusia tidak tahu sama sekali kecuali ada tanda-tanda yang terbuka (qarinah-qarinah) melalui ungkapan atau sikap erilaku. Seseorang yang datang kepada kita, misalnya, dengan mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah ia berikan atau ia menjanjikan sesuatu yang bersifat sah/benar tetapi tidak ia sikapi, tunaikan sesuai dengan janjinya dapat kita ketahui bahwa kebaikan yang telah ia berikan/janjikan itu bukan karena Allah.
Dalam pandangan atau asfek ilahiyyah kenyataan tersebut berarti tidak ikhlas dan dalam pandangan atau asfek insaniyyah berarti tidak jujur. Begitu pula, dapat diketahui keikhlasan melalui ungkapan atau sikap yang baik sebagaimana praktek Ali dan Isterinya dalam ayat di atas yang menjadi pertanda keikhlasan internal dirinya dengan Tuhan dan kejujuran (eksternal dirinya dengan hamba melalui ucapan dan sikap yang nyata). Di sinilah pertautan antara keikhlasan dan kejujuran. Kejujuran ini adalah pengejawantahan dari keikhlasan. Orang yang ikhlas sudah pasti dia jujur karena dia tidak dapat menyembunyikan dirinya dari Tuhan.
Empat sifat Nabi Muhammad saw seluruhnya bersifat lahiriah (eksternal); dapat dilihat oleh umatnya (orang lain). Shiddiq, amanah, tabligh, fathanah seluruhnya jelas nampak pada kepribadian Nabi, tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. Manusia dapat melihat, merasakan sendiri dan bahkan menilai karena terang-benderang; tidak abu-abu, apalagi gelap. Sifat seperti itu muncul hanya dari jiwa yang ikhlas. Shiddiq (jujur) muncul dari kedalaman hati berinteraksi dengan dan karena Tuhan. Keikhlasan adalah sumber kejujuran. Nabi bersabda: “Iman itu bukan simbol, tetapi terpatri hati (kepada Allah) dan dimunculkan (dijujurkan; shaddaq) dalam tataran praksis”.
Tanpa ikhlas seluruh amal menjadi sia-sia belaka, hanya memberatkan fisik tanpa ada atsar sedikitpun dalam psikis, secara lahiriyahnya mengerjakan tetapi kondisi bathiniyah meronta menolak perbuatan tersebut. Ibnu qayyim al Jauziyah membuat perumpamaan kondisi orang-orang yang beramal tanpa didasari rasa ikhlas bagaikan musafir yang mengisi kantong perbekalannya dengan kerikil dan pasir, hanya memberi beban berat tapi tidak membawa manfaat”.
Jika keikhlasan dan kejujuran tidak lagi menjadi hiasan hidup umat Islam maka kita akan celaka. Kecelakaan yang besar adalah krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan akan mendorong kepada penyelesaian masalah secara mandiri dan akan jauh dari taat asas dan kemaslahatan bersama. Untuk menghindari kecelakaan inilah saya kira Nabi Muhammad saw menampilkan dirinya sebagai orang yang secara sesungguhnya bersifat jujur, terpercaya, transparan dan cerdas dalam kehidupan lahiriah sehingga muncul kepercayaan (trust) dari umatnya. Dahulu pemimpin Aceh pun begitu dipercaya oleh masyarakatnya sehingga mampu mengumpulkan emas dengan sukarela untuk membeli Seulawah Airways dan disumbangkan untuk kepentingan negara
Drs Tgk H Ridwan Qari
Khatib Masjid Raya Baiturrahman 7 Juni 2013
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !