
Jauh sebelum adanya Indonesia, Aceh sebenarnya pernah terkenal sebagai sebuah negara berdaulat dan maju sebagai satu dari lima kerajaan Islam besar di dunia, khususnya pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alama (1607-1636). Pasca Iskandar Muda, kerajaan Aceh semakin surut sehingga diperangi oleh Belanda sejak tanggal 26 Maret 1873 yang dikenal dengan perang Aceh. Sejak itulah Aceh terus bergelimang dengan perang sehingga tidak sempat membenah kehidupan bangsa yang lebih layak.
Perang yang memakan waktu lama itu akhirnya disudahi dengan lahirnya Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, di mana Aceh dengan mudah digabungkan ke dalam wilayah Indonesia. Dari sinilah bermula Aceh menjadi wilayah Indonesia setelah lama menjadi negara berdaulat.
Ternyata setelah bergabung dengan Indonesia, perlakuan Indonesia terhadap Aceh yang sangat tidak patut dan etis. Sehingga, Aceh sempat memberontak secara besar-besaran pada masa orde lama (orla) dan orde baru (orba). Pemberontakan Aceh pertama dipelopori oleh Tgk Muhammad Daud Beureu’eh dengan gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indoensia (DI-TII). Sementara pemberontakan kedua diprakarsai oleh murid kesayangannya Dr Muhammad Hasan Tiro yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Selama Aceh bergabung dengan Indoensia, beberapa langkah yang dilakukan untuk Aceh nampak sangat merugikan Aceh. Padahal Aceh diminta bantuan besar untuk memerdekakan Indonesia oleh Soekarno melalui ulama dan pemimpin kharismatik Teungku Muhammad Daud Beureu’eh kala itu. Namun setelah Indonesia merdeka, Aceh malah dianaktirikan. Sejumlah kebijaksanaan yang tidak bijaksana atau kearifan yang tidak arif telah dialami Aceh.
Beberapa kebijakan Jakarta yang dinilai tidak bijak untuk Aceh adalah menghancurkan kepemimpinan Persatuan Ulama Seluruh Aceh(PUSA), meminta bantuan Aceh memerangi Belanda, membiarkan syariat dan menegakkan komunis, serta menggabungkan provinsi Aceh dengan Sumut. Selain itu, juga kebijakan salah kaprah Indonesia terhadap DI/TII Aceh, membentuk sayap Partai Komunits Indonesia (PKI) di Aceh, dikurasnya hasil LNG Arun, menghentikan operasional kereta api, menutup pelabuhan bebas Sabang, menutup Kodam I/ Iskandar Muda, memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) hingga memberlakukan Darurat Militer dan Sipil.
Itulah sekilas isi buku berjudul “ Aceh dan Inisiatif NKRI” karangan Hasanuddin Yusuf Adan yang diluncurkan ke publik pada acara Musyawarah Wilayah Dewan Dakwah Aceh di Dhaka Hotel, Sabtu, 16 Juli 2011. Buku setebal 252 itu dibedah oleh Sekretaris Jenderal Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), H Amlir Syaifa Yasin, MA.
Hal lain yang tak kalah bepengaruh adalah berkenaan dengan syari’at Islam. Buku ini menuliskan bahwa Aceh sudah membuktikan bagaimana hebatnya kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda Meukuta Alam yang menjalankan syari’at Islam secara kaffah. Ketika berhadapan dengan hukum, raja Aceh itu segera menjatuhkan sangsi sesuai hukum Isalam, walaupun untuk anak kandungnya sendiri.
Dijelaskan buku itu, Aceh dahulu pernah mengislamkan semenanjung Malaysia, Pattani, Brunai Darussalam, Filipina Selatan, Pulau Jawan dan Pulau Kalimantan. Kini Aceh ditakdirkan Allah menjadi sebuah provinsi kecil dalam wilayah Indonesia yang proses pengembangan Islam tidak lagi semudah dahulu.
Kegelisahan Sejarah
Sekjen DDII Pusat, H Amlir Syaifa Yasin, MA selaku pembedah buku tersebut mengatakan, buku “Aceh dan Inisiatif NKRI” itu lebih kepada kegelisahan sejarah dan romantismenya dari sosok Hasanuddin Yusuf Adan. Sehingga, buku tersebut banyak menyelipkan kekecewaan dan penderitaan Aceh setelah bergabung dengan Indonesia.
“Buku ini adalah kegelisahan masyarakat terhadap lintasan sejarah, ada romantismenya ada juga penderitaan setelah bergabung dengan Indonesia. Sejarah memang harus menjadi cermin, tapi untuk membangun masa depan, tidak boleh larut dengan sejarah,” ujar Amlir sembari menyebutkan faktor emosi penulis ikut bermain dalam buku tersebut.
Amlir juga mengkritisi tentang banyaknya sebutan bangsa Aceh dan bangsa Indonesia dalam buku itu, sehingga terkesan seolah-olah antara Aceh dan Indonesia belum terintegrasi. Terlepas dari nostalgia sejarah, Amlir mengaku lebih tertarik terhadap tema tentang deskripsi Aceh masa depan yang ditulis dalam buku cetakan Adnin Foundation Publisher tersebut.
Deskripsi Masa Depan
Dalam melihat masa depan, Hasanuddin melihat bahwa upaya peningkatan ekonomi masyarakat Aceh mesti menjadi prioritas utama. Di samping itu, ada juga deskripsi tentang keharusan penegakan Hak Asazi Manusia (HAM) serta penyelesaian sisa-sisa pekerjaan terhadap korban tsunami dan korban konfik.
Lantas, bagaimana terkait implementasi syari’at Islam di bawah kepemimpinan gubernur/wakil gubernur saat ini? Menurut buku itu, tinjauan dari sisi wawasan kelompok GAM, perjuangannya untuk memerdekan Aceh dari Indonesia bukan untuk menjalankan syari’at Islam.
Ditinjau dari sosok Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, mereka adalah tokoh-tokoh yang berlatang belakang pendidikan agama. Namun, Irwandi terlihat lebih cenderung ke medis dimana ia merupakan lulusan Master of Science College Veterinary Medicine Oregon State University. Setelah hampir berakhir memimpin Aceh, ternyata mereka belum ada upaya keras dan serius untuk menjalankan dan memajukan syari’at Islam. Bahkan sang gubernur masih saja menolak menandatangai qanun jinayah yang sudah disahkan DPR Aceh pada September 2009. Akibatnya, semua operasional syari’at Islam di Aceh terkendala karena aturannya yang lumayan lengkap itu belum ditandatangani olehnya.
Berbeda dengan Irwandi, Muhammad Nazar terlihat selalu berpenampilan syariah, namun langkah kongkrit kerjanya belum terlihat bersyari’ah. Maknanya, berbicara masalah syari’at Islam di bawah kepemimpinan Irwandi-Nazar masih jauh dari harapan. Padahal ketika maju menjadi calon gubernur/wakil gubernur, keduanya pernah menandatangani surat kesiapan menjalankan syari’at Islam. (kur-gbo)
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !