Pegiat HAM Aceh, Affan Ramli menyatakan, meski dirinya menganggap wajar desakan AI atas nama pembelaan HAM, ia juga menyesalkan sikap Amnesty International yang terlampau agresif menyerang kebudayaan lokal. “Ini merupakan kendala serius bagi aktivis HAM,” sebut Affan. Semestinya, menurut Affan, Amnesty International lebih dulu membuka ruang dialog.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Muslim Ibrahim, juga sangat menyayangkan desakan AI. Menurutnya, permintaan itu tidak pada tempatnya. Peraturan hukum cambuk sudah menjadi hukum positif. Muslim pun membantah jika dikatakan hukuman cambuk berseberangan dengan undang-undang di Indonesia.
Ia menjelaskan, hukum cambuk adala yang diterapkan di Aceh dilegalkan qanun yang merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sehingga tidak ada yang bertentangan dengan peraturan nasional mana pun.
Dikatakan, esensi dari pelaksanaan hukuman cambuk bukanlah pada pelaksanaan hukumannya, melainkan efek jera dan edukasi kepada masyarakat yang melawan hukum. Selain itu, dari sisi keagamaan, ini adalah peraturan yang memang berlaku bagi warga yang beragama Islam dan hukuman tersebut tidak berlaku bagi warga non-Islam. “Seharusnya mereka bisa melihat dari segi aturan agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk di Aceh,” katanya.
Terlalu ikut campur
Pakar hukum Unsyiah, Dr H Taqwaddin SH SE MS menganggap, Amnesy International terlalu ikut campur dalam masalah domestik Aceh. Semestinya sebagai lembaga luar, AI tidak perlu ikut campur. Menurutnya, kebutuhan hukum di Aceh yang tahu hanyalah orang Aceh sendiri.
Di sisi lain, terang Taqwaddin, hukum cambuk bukan hanya berlaku di Aceh. Di negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, juga diberlakukan hukuman cambuk. “Tapi mengapa Aceh paling disorot dalam hal itu? seperti ada hal lain dalam ikut campurnya AI di sini,” terka Taqwaddin.
Mantan ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini juga menyatakan, HAM bisa dianggap universal dan untuk Indonesia, khususnya Aceh, harus melihat kondisi nasional dan lokal. Banyak aktivis penggiat HAM yang tidak mengerti permasalahan ratifikasi HAM yang diikuti Indonesia. Indonesia punya kedaulatan hukum sendiri dan HAM harus menyesuaikan diri dengan kondisi lokal tersebut.
“Hukum cambuk merupakan hukum positif di Aceh dan harus diikuti sebagi warga negara. Permasalahan adanya tumpang tindih antara implementasi hukum, bagi saya memang merupakan satu hal yang harus dibenahi,” jelasnya.
Ia menuturkan, hukuman cambuk ada aturannya. Esensi dari hukum cambuk bukanlah untuk menimbulkan jera, tapi lebih kepada membuat malu. Jika berbicara tentang pelanggaran HAM, setiap hukuman yang dilakukan merupakan pelanggaran HAM karena terdapat perampasan kemerdekaan. Ketika hukuman cambuk dilakukan bukan memberikan rasa sakit yang berlebihan, tapi rasa malu yang dikirim atas hukuman tersebut. Diharapkan, rakyat akan takut melakukan tindakan melanggar hukum.
Taqwaddin mengakui sejak berlakunya keistimewaan Aceh, terutama tentang penggunaan syari’at Islam, belum ada perubahan kondisi sosial yang signifikan di Aceh. Dari itu, kita harus memperkuat syari’at Islam, dan yang utama dibenahi adalah masyarakat Aceh sendiri. Setelah itu baru masuk ke ranah hukum formil dan materil. Hukuman adalah senjata terakhir.
“Tidak perlu melakukan dikotomi. Semuanya harus berjalan simultan. Syari’at Islam juga mengatur perkara kesejahteraan, ekonomi, dan pendidikan,” cecar Taqwaddin. fiqh
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !