Menurutnya, kondisi tersebut berseberangan dengan peran sejati masjid. Di samping sebagai tempat ibadah, masjid juga bisa menjadi sumber ekonomi bagi ummat. Ini tidak bermakna menjadikan masjid dan jamaah sebagai objek bisnis, tetapi masjid dapat menjadi pelopor pendidikan bisnis.
Ia mencontohkan, masjid bisa membuat sebuah lembaga pendidikan yang tujuannya tidak hanya mengembangkan sumber daya manusia, tetapi juga bisa menghasilkan keuntungan finansial bagi masjid. “Sekarang kita lihat masjid belum semuanya profesional. Imam siapa saja boleh. Padahal imam sebaiknya memiliki bacaan al-Qur’an yang bagus. Makmum jadi khusyu,” kata dia.
Agar profesional, lanjut Zardan, pengurus masjid sebaiknya digaji. Ini nantinya akan menggerakkan masjid mencari pendapatan sehingga roda ekonominya jalan. “Kalau tidak ada sumber dana, darimana gaji untuk bayar imam, muadzin, petugas kebersihan masjid. Tidak mungkin di ambil dari celengan dan sumbangan-sumbangan dari para jamaah,” terangnya.
Sumber pendanaan masjid bisa disiasati. Seperti Masjid Raya Baiturrahman yang memiliki Radio Baiturrahman. Di samping menyiarkan semua agenda atau acara-acaranya yang syar’i, ada iklan-iklan yang sifatnya berbayar. Sekian persen keuntungannya masuk kas masjid. Juga dari biaya parkir jamaah.
Ia mengakui, Masjid Raya Baiturrahman merupakan masjid yang memiliki alokasi khusus dari pemerintah. Maka, kondisi keuangannya tidak terlalu mengkahwatirkan. “Tetapi untuk masjid-masjid lain tidak ada. Kita harapkan ke depan, masjid itu kalau bisa di kelola secara profesional. Ada struktur organisainya,” terang Zardan.
Di sisi lain, peran masjid dalam mensosialisasikan ekonomi syariah pun masih sangat kurang. “Padahal masjid itu tempat kita mensyiarkan Islam. Bukan hanya tauhid dan ubudiyah saja tetapi juga tentang ekonomi,” tegas Zardan.
Pemasukan jum’atan
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Drs Maimun Ibrahim mengatakan, perputaran uang di masjid cukup tinggi sekali. Sekurang-kurangnya saban jum’at pasti ada pemasukan uang. Apalagi di masjid-masjid perkotaan. “Setidaknya satu juta setiap jum’at pasti ada. Sumber ekonomi atau perputaran uang di masjid sebenarnya tinggi sekali,” sebut Maimun.
Tetapi itu dalam lingkup uang setoran jamaah. Sementara uang yang bersumber dari pengelolaan kegiatan masjid, dirasanya masih kurang. Ia membandingkan dengan sejumlah masjid di Jawa, pemasukan dananya dari kegiatan-kegiatan yang dikelola khusus oleh masjid. Di beberapa tempat di Jawa, ada masjid yang menyediakan tempat khusus upacara pernikahan. “Juga ada penginapan khusus,” katanya.
Binaan ekonomi Islam sangat dibutuhkan masyarakat kita. Potensi untuk mengembangkan ekonomi produktif masjid sebenarnya besar sekali. Jika dana masjid yang ada disisihkan untuk pemberdayaan ekonomi ummat, hasilnya akan bagus. Seperti apa yang dipraktikkan pengelola masjid di Desa Lamteh. Di sana, sudah mulai dikembangkan kegiatan sumbangan lembu untuk kemakmuran masjid. Lembu itu di pelihara, disembelih dan hasil penjualannya dipakai untuk mensejahterakan masjid. Kalau lembu itu sudah banyak, keuntungannya akan berlipat.
Maimun mengaku saat ini sedang mengadakan penelitian terkait penggunaan dana pemberdayaan masjid yang ada di kota banda Aceh. “Mudah-mudahan pengelolaannya bagus. Jika digunakan untuk ekonomi masjid saya kira sangat luar biasa,” katanya. Eriza
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !