
Sejak kecil anak-anak diajari bahwa ulama itu adalah pewaris Nabi. Kita sudah paham dengan hadits “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna.” (HR Abu Dawud).
Disadari para ulama di Aceh membentuk organisasi untuk berkiprah. Sebut saja, pada 5 Mei 1939, kalangan ulama yang antara lain inisiatif dari Abdurrahman Meunasah Meucap membentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Patut dikenang, organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berdiri dari Sabang ke Marauke mengambil ide dari pembentukan organisasi ulama di Aceh yang dididirikan pada tahun 1960-an yakni Majelis Ulama Aceh. Dalam berbagai hal, Aceh sering menjadi inspirasi bagi daerah lain seperti tampilnya kandidat independen untuk bupati/wali kota dan gubernur.
Ulama pewaris Nabi. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah ulama yang mengikuti jejak-jejak perilaku Rasulullah. Kita sadari, bahwa Nabi Muhammad SAW wafat tidak mewarisi harta benda. Cukup Quran dan Hadits yang wajib menjadi panutan hidup umat Islam selanjutnya. Kehadiran organisai MUI di Aceh kala itu sangat aktif apalagi pada masa kepemimpinan Prof A Hasjmy.
Membuka rekaman MUI di Aceh, sering ditemukan aktivitas organisasi tunggal ulama kala itu atau yang pada awal tahun 2000-an berubah nama menjadi Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Aceh terkesan sebagai tukang stempel pemerintah. Dalam bahasa lain, wadah organisasi lebih sering dihela ke kiri atau ke kan an sesuai dengan pesanan pemerintah. Mengeluarkan fatwa-fatwa yang seirama dengan denyut jantung pemerintah. Benar ulama ada mitra sejajar umara yang dalam hal ini ulil amri pemerintah. Dengan demikian, bukan segalanya harus seide dengan pemerintah yang lebih banyak memainkan angka statistic atau aneka politis. Tak kalah kala itu, organisasi ulama di Aceh cenderung menjadi tukang stempel pemerintah yang melangkah ke langkah politik praktis.
Kita sepakat perlu mempertahankan organisasi ulama termasuk Majelis Ulama Aceh (MUNA) yang lahir pasca MoU Helsinki 2005. Kebaikan yang tidak terorganisasi bisa dikalah oleh kejahatan yang terorganisi. Yang dibutuhkan ada keberpihakan organisasi kepada pihak dhuafa lebih dominan lagi. Kebijakan-kebijakan yang pro kepada rakyat jelata akan menjadi setitik air di samudera pasir. Sebut saja kiprah sederhana ulama yang diharapkan yakni melontarkan perilaku mempersulit pelayanan kepada masyarakat baik dari aspek kesehatan, ekonomi atau lain-lainnya adalah bagian dari kemungkaran.
Agar tidak terjadi fitnah yang bertaburan di atmosfir Serambi Mekkah, tak salah ulama mengingatkan umara atau jamaah (warga) untuk melakukan keterbukaan terutama yang berkaitan dengan urusan fulus bin uang.
Sekali lagi, ulama bukanlah tukang stempel atau peniup terompet terhadap keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Marwah organisasi yang mulia ini terletak ketika para ulama berani menyatakan tidak di depan umara berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !