
Perkembangan radio islami di Aceh tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama diberlakukannya syariat Islam. Kedua, perkembangan dunia modern dimana kebutuhan publik akan media semakin tinggi. Inilah yang kemudian memunculkan apa yang disebut dalam ilmu ekonomi dan pemasaran sebagai ‘ceruk’ atau ‘celah’ pasar, tempat bagi radio islami lokal di Aceh untuk mengukuhkan eksistensinya.
Berbicara radio islami hanya berkutat disekitar program, musik dan informasi yang islami dan tentu saja mendukung keberadaan syariat Islam, namun juga harus berhadapan bagaimana agar keberadaannya di tengah masyarakat yang haus akan informasi dunia islam bisa berkelanjutan. Artinya ia harus mampu tumbuh secara professional dan juga menguntungkan secara bisnis (profitable).
Radio Baiturrahman (98,5FM) yang merupakan sayap dakwahnya Masjid Raya Baiturahman dan Radio Seulaweut (91,0FM) sebagai corong Markaz Dakwah Al-Ishlah di Beurawe adalah dua radio yang mencoba bermain pada segmentasi ini. Namun dua radio ini ternyata belum menjadi mainstream bagi para pendengar di Aceh yang mayoritas adalah muslim dan bisa dikatakan ‘meunan-meunan mantong’.
Ada sejumlah kendala yang ditenggarai sebagai pemicu kondisi aktual tersebut. Kendala pertama, kenyataan para pendengar radio itu lebih sedikit dibanding para pemirsa televisi, apalagi di era digital dimana radio online (streaming) semakin menjamur. Plus fakta, umumnya para pendegar radio yang relatif sedikit itu anak muda yang lebih gandrung dengan radio model ‘urban’ seperti Flamboyan FM, Kiss FM dan Nicoya FM.
Sedang para orang tua dan mereka yang di gampong lebih suka mendengar radio tradisional berbasis berita dan nilai kedaerahan lokal. Sehingga radio seperti RRI, radio lokal atau Meugah FM 95, 3 (radio berbahasa Aceh) menjadi favorit.
Dan semua berebut segmen pasar yang sebenarnya juga kecil ini. Ini menuntun kita pada kendala kedua yaitu ekslusivisme dan kurang kreatifnya radio islami yang ada. Faktor ini merujuk kepada kurangnya upaya radio tersebut untuk menjangkau (outreach) segmen non-tradisional mereka dengan program-program ‘kejutan’ dan ‘unik’ dan daya trasmisi yang terbatas.
Jika Radio Baiturrahman dengan moto ‘Radio Keluarga Anda ’selama ini lebih dikenal sebagai radio yang cenderung tradisional dan merepresentasi selera pendengar mereka yang berumur. Maka Radio Seulaweut yang kemudian hadir paska tsunami lebih berani mengklaim, mereka ‘The First Islamic Radio’ di Banda Aceh dan mencoba merebut segmen pemuda muslim.
Namun, keduanya tetap saja berada dalam lingkaran ekslusif dan bahkan pasif, mengingat mereka merasa ‘nyaman’ dengan kondisi yang sudah ada sekarang. Sedangkan radio-radio lain terus berbenah, muncul dan bangkit menawarkan alternatif program kepada pendengar.
Kendala kemudian adalah, tidak adanya fokus dan variasi pada program. Radio Baiturrahman meskipun latar belakang sejarahnya sangat dekat dengan keberadaan Masjid Raya sebagai lambang betapa Islamya Aceh dan sudah lebih dulu eksis jauh sebelum formalisasi syariat Islam, tetapi dari sisi fokus program (selain berita, ceramah dan pengajian), khususnya musik, bisa dikatakan tidak tersegmen ke aliran musik religi islam. Masih juga diputarkan lagu-lagu non islami, atau lagu daerah yang tidak berkonten islami kepada penggemar setianya. Sehingga fokus mereka dipertanyakan.
Sebaliknya, Radio Seulaweut terjebak kepada suara anak muda aktivis dakwah yang kurang memperhatikan kebutuhan informasi atau berita pendengar. Meskipun mereka sudah mencoba menyelipkan informasi dunia Islam dalam program mereka, namun tetap saja hal ini tidak cukup untuk mengimbangi tembang nasyid yang mendominasi keseharian program.
Oleh karena itu, Radio Baiturahman sebagai ‘sang kakak’ dan Radio Seulaweut sebagai ‘sang adik’ harus fokus pada segmentasi masyarakat Muslim yang mayoritas dengan menawarkan program yang islami, mulai dari berita sampai program non-berita termasuk musik. Muatan lokal dalam setiap program yang islami ini juga harus diperhatikan. Karena radio islami harus bisa menentukan agenda, identitas keunikan dan karakteristiknya sebagai pendorong nilai kompetitif didepan publik dan radio lain. Dan, pada yang bersamaan penguatan profesionalisme dan pembenahan internal bisa dilakukan secara sinergis.
Nah, jika problematika ini sudah teratasi, maka pengiklan dari lembaga Islam akan datang dengan sendirinya dan radio islami tidak harus lagi mengeluhkan kendala bisnis atau fasilitas. Mereka bisa lebih mandiri secara finansial, termasuk mensejahterakan para personilnya. Dan radio islami pun tidak lagi terkungkung dengan tradisonalisme atau ekslusifisme, sehingga yang lain tidak lagi menganggap mereka sebagai radio berbasis komunitas belaka. Wallahu a’lam.
Berbicara radio islami hanya berkutat disekitar program, musik dan informasi yang islami dan tentu saja mendukung keberadaan syariat Islam, namun juga harus berhadapan bagaimana agar keberadaannya di tengah masyarakat yang haus akan informasi dunia islam bisa berkelanjutan. Artinya ia harus mampu tumbuh secara professional dan juga menguntungkan secara bisnis (profitable).
Radio Baiturrahman (98,5FM) yang merupakan sayap dakwahnya Masjid Raya Baiturahman dan Radio Seulaweut (91,0FM) sebagai corong Markaz Dakwah Al-Ishlah di Beurawe adalah dua radio yang mencoba bermain pada segmentasi ini. Namun dua radio ini ternyata belum menjadi mainstream bagi para pendengar di Aceh yang mayoritas adalah muslim dan bisa dikatakan ‘meunan-meunan mantong’.
Ada sejumlah kendala yang ditenggarai sebagai pemicu kondisi aktual tersebut. Kendala pertama, kenyataan para pendengar radio itu lebih sedikit dibanding para pemirsa televisi, apalagi di era digital dimana radio online (streaming) semakin menjamur. Plus fakta, umumnya para pendegar radio yang relatif sedikit itu anak muda yang lebih gandrung dengan radio model ‘urban’ seperti Flamboyan FM, Kiss FM dan Nicoya FM.
Sedang para orang tua dan mereka yang di gampong lebih suka mendengar radio tradisional berbasis berita dan nilai kedaerahan lokal. Sehingga radio seperti RRI, radio lokal atau Meugah FM 95, 3 (radio berbahasa Aceh) menjadi favorit.
Dan semua berebut segmen pasar yang sebenarnya juga kecil ini. Ini menuntun kita pada kendala kedua yaitu ekslusivisme dan kurang kreatifnya radio islami yang ada. Faktor ini merujuk kepada kurangnya upaya radio tersebut untuk menjangkau (outreach) segmen non-tradisional mereka dengan program-program ‘kejutan’ dan ‘unik’ dan daya trasmisi yang terbatas.
Jika Radio Baiturrahman dengan moto ‘Radio Keluarga Anda ’selama ini lebih dikenal sebagai radio yang cenderung tradisional dan merepresentasi selera pendengar mereka yang berumur. Maka Radio Seulaweut yang kemudian hadir paska tsunami lebih berani mengklaim, mereka ‘The First Islamic Radio’ di Banda Aceh dan mencoba merebut segmen pemuda muslim.
Namun, keduanya tetap saja berada dalam lingkaran ekslusif dan bahkan pasif, mengingat mereka merasa ‘nyaman’ dengan kondisi yang sudah ada sekarang. Sedangkan radio-radio lain terus berbenah, muncul dan bangkit menawarkan alternatif program kepada pendengar.
Kendala kemudian adalah, tidak adanya fokus dan variasi pada program. Radio Baiturrahman meskipun latar belakang sejarahnya sangat dekat dengan keberadaan Masjid Raya sebagai lambang betapa Islamya Aceh dan sudah lebih dulu eksis jauh sebelum formalisasi syariat Islam, tetapi dari sisi fokus program (selain berita, ceramah dan pengajian), khususnya musik, bisa dikatakan tidak tersegmen ke aliran musik religi islam. Masih juga diputarkan lagu-lagu non islami, atau lagu daerah yang tidak berkonten islami kepada penggemar setianya. Sehingga fokus mereka dipertanyakan.
Sebaliknya, Radio Seulaweut terjebak kepada suara anak muda aktivis dakwah yang kurang memperhatikan kebutuhan informasi atau berita pendengar. Meskipun mereka sudah mencoba menyelipkan informasi dunia Islam dalam program mereka, namun tetap saja hal ini tidak cukup untuk mengimbangi tembang nasyid yang mendominasi keseharian program.
Oleh karena itu, Radio Baiturahman sebagai ‘sang kakak’ dan Radio Seulaweut sebagai ‘sang adik’ harus fokus pada segmentasi masyarakat Muslim yang mayoritas dengan menawarkan program yang islami, mulai dari berita sampai program non-berita termasuk musik. Muatan lokal dalam setiap program yang islami ini juga harus diperhatikan. Karena radio islami harus bisa menentukan agenda, identitas keunikan dan karakteristiknya sebagai pendorong nilai kompetitif didepan publik dan radio lain. Dan, pada yang bersamaan penguatan profesionalisme dan pembenahan internal bisa dilakukan secara sinergis.
Nah, jika problematika ini sudah teratasi, maka pengiklan dari lembaga Islam akan datang dengan sendirinya dan radio islami tidak harus lagi mengeluhkan kendala bisnis atau fasilitas. Mereka bisa lebih mandiri secara finansial, termasuk mensejahterakan para personilnya. Dan radio islami pun tidak lagi terkungkung dengan tradisonalisme atau ekslusifisme, sehingga yang lain tidak lagi menganggap mereka sebagai radio berbasis komunitas belaka. Wallahu a’lam.
Penulis, Dosen IAIN Ar-Raniry
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !