
Menurutnya, upaya memberantas narkoba tidak harus dilakukan pemerintah tetapi bisa diupayakan bersama-sama oleh setiap desa. Dia lalu bercerita tentang kampungnya, Paya Tengoh, “Mulanya ada kasus, ditemukan sekelompok pecandu narkoba. Lalu muncul inisiatif melahirkan qanun gampong. Tak disangka setelah itu kampung kami menjadi desa percontohan dan mematuhi segala peraturan yang telah dirancang bersama,” katanya.
Qanun tersebut tidak hanya menyoal perkara narkoba. Tetapi juga soal tata kesopanan, termasuk cara berpakaian. Sekarang ini, menurut cerita Baharuddin, tidak lagi ditemukan remaja puteri yang memakai pakaian ketat di kampungnya. Tidak juga ditemukan pemuda dengan kaca minuman atau sejenisnya. Masyarakat sudah rukun dan menjunjung tinggi qanun yang telah dirancang. “Jika ditemukan remaja puteri yang masih memakai pakaian ketat, maka yang dihukum adalah orang tuanya, pertama kali melanggar disuruh bersihin menasah dan pekarangannya, denda dua sak semen. Kali kedua disuruh bersihin menasah dan mesjid kecamatan, kali ke tiga tidak ada tawar menawar lagi langsung dikeluarkan dari kampung tersebut,” tuturnya.
Begitulah pandangan Baharuddin. Pertanyaan kemudian, sudah benarkah solusi dan upaya yang telah dilakukan masyarakat Aceh dalam menyelamatkan generasi muda masa kini, sebagaimana yang diutarakan Baharuddin? Sementara semakin diselamatkan, semakin masyarakat terjun dan terlibat ke dalam hal-hal negatif. Apakah benar pemerintah sebaiknya tidak usah campur tangan saja? Toh, jika diselidiki tidak ada satu desa pun yang bebas dari penyalahgunaan narkoba. Lalu dimana arti sosialisasi anti penyalahgunaan narkoba yang digembar-gemborkan?
Ini tentu menjadi diskursus kita bersama. Pun tidak sedikit uang habis dalam upaya sosialisasi dan penyuluhan.
Pertanyaan ini kemudian menggelitik ingatan saya. Pada 15 Oktober 2009, dalam sebuah Sosialisasi Pencegahan Bahaya Narkoba di Banda Aceh bersama Polda Aceh, seorang peserta asal Bireuen dengan polos bertanya, “Kenapa ketika pemusnahan barang bukti narkoba berjenis ganja, yang dibakar hanya batangnya. Daunnya kemana?”
Saya ingat benar, jawaban pemateri kala itu. Sambil tersenyum pemateri menjawab, “Karena terlalu lama disimpan, mungkin daunnya sudah gugur.”
Ini menjadi pemikiran kita bersama, apakah upaya yang telah dilakukan pemerintah Aceh tetap dilanjutkan sesuai dengan tehnik dan tata cara seperti yang telah dilakukan atau sebaiknya, dengan cara kembalikan kedesa seperti yang pernah dilakukan oleh desa Paya Tengoh Kecamatan Simpang Keramat Kabupaten Aceh Utara? (jannah)
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !