Headlines News :
Home » » Membangun Fondasi Peradaban Aceh

Membangun Fondasi Peradaban Aceh

Written By MAHA KARYA on Monday, October 8, 2012 | 10/08/2012

Perbaikan akhlak manusia adalah tujuan terbesar Muhammad diangkat oleh sebagai Nabi dan Rasul. Akhlak juga merupakan komponen yang fundamental dalam Islam di samping Syari’ah dan Akidah. Agama tanpa akhlak adalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Allah Swt mengumpamakan Islam itu sebagai sebuah pohon, yaitu aqidah sebagai akarnya, syariah sebagai pohon dan rantingnya, sedangkan akhlak sebagai buah dari pohon tersebut. 

Di dalam firman-Nya:  “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit; Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat; Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. Ibrahim ayat 24-26). 

Maka akhlak sesungguhnya merupakan fondasi sebuah peradaban. Kita mendukung setiap upaya pemerintah yang ingin melakukan pembangun berbasis moral. Jika Aceh ingin menuju kejayaan dan kebesarannya kembali, maka mau tidak mau membangun fondasi akhlak adalah syarat utama.

Pentingnya pembangunan berbasis akhlak adalah hal yang mendesak apabila kita melihat kondisi terakhir bangsa ini yang sedang dihimpit oleh berbagai kenestapaan yang mendera karena hancurnya akhlak para aparatur negara. Para elit negeri ini terus saja menampilkan budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara. Praktek korupsi yang menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus membudaya sehingga tidak heran jika sebuah lembaga nirlaba international, 'The Fund for Peace' dalam situs resminya meletakan Indonesia di urutan ke 63 dari 178 negara sebagai negara gagal. Survei “The Fund for Peace” menggunakan indikator hukum, politik, ekonomi, sosial, dan HAM. Hasilnya, Indonesia bukan hanya akan gagal. Tetapi juga bisa hilang dari peta dunia.

Di level Aceh, Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh merilis sebanyak Rp 1,7 triliun dana publik selama tahun 2011 terindikasi korupsi (Serambi Indonesia, Jumat, 9 Desember 2011). Kasus-kasus merugikan masyarakat dan negara yang diperankan oleh aparatur negara seakan menjadi hal yang biasa. Beberapa kepala daerah dan kepala dinas di Aceh terindikasi korupsi, beberapa diantaranya sudah mendekam dibalik jeruji besi. Di sisi lain, pembahasan RAPBA oleh legislatif setiap tahun selalu terlambat sehingga setiap tahun pula anggaran APBA selalu harus masuk SILPA. Kondisi ini konon kabarnya merupakan ekses dari adanya kepentingan besar para wakil rakyat di legislatif terhadap APBA. Talik ulur yang terjadi adalah karena kepentingan mereka sendiri. Bukan kepentingan rakyat. Ini merupakan salah satu akhlak yang tercela yang diperankan oleh legislatif Aceh.

Kerusakan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah juga terlihat jelas misalnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ulah tangan manusi sebagai akibat ketika akhlak telah rusak, seperti penebangan hutan secara illegal (illegal loging), penambangan yang tidak mengindahkan prosedur, dan pembuangan sampah sembarangan yang mengakibatkan kerusakan besar yang sifatnya mikro yaitu timbulnya bencana, seperti banjir, dan tanah longsor, atau yang sifatnya makro yaitu pemanasan global. 

Pemanasan global telah menyebabkan perubahan cuaca dan iklim. Kerusakan akhlak yang dipernakan oleh pemerintah yang seharusnya bisa diminimalisir oleh pemerintah ini telah menyebabkan masyarakat kita hidup dalam penderitaan.Selain kerusakan di level pemerintah, kerusakan juga terjadi di level masyarakat. Tindakan kekerasan yang semakin sering terjadi, tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pembunuhan, perampokan, pergaulan bebas, pencabulan, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. 

Karena terlalu sering hal ini kita dengar sampai-sampai kita terbiasa dan kita seakan menganggapnya legal dan sesuai dengan norma kesusilaan. Padahal kita hidup dalam negara yang diklaim sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar sedunia. Juga diklaim sebagai negara hukum, negara bermoral, negara dengan masyarakatnya yang religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menjukkan hati.

Namun demikian, banyaknya kerusakan akhlak yang terjadi sesungguhnya bukan karena kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial. Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tentram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat(Imam Mustafa, 2008). Maka disinilah fungsi akhkal dalam mewujudkan indahnya Islam.
Jalur pendidikan
Kalau kita kaji secara mendalam, pada dasarnya kehancuran akhlak bangsa ini ini merupakan ekses panjang pasca penjajahan Belanda yang berhasil melakukan sekulerisasi pendidikan di nusantara, pendidikan agama di satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain. Akibat dikotomi ini sehingga Islam dipahami hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan spriritual. Agama sebagai sumber moralitas menjadi terpinggirkan dari realitas kehidupan dan sistem pendidikan. Maka jalan terbaik untuk memperbaiki akhlak adalah jalur pendidikan.

Kita mungkin berfikir sulit untuk mengubah mental generasi tua saat ini menuju akhlak yang dicita-citakan Rasulullah, tapi kita punya kesempatan besar untuk bisa membentuk akhlak generasi muda Aceh sesuai dengan akhlak Islam. Dan jalurnya adalah lewat pendidikan Islam yang mengintegrasi nilai-nilai Islam dalam semua aspek pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran di sekolah harus di format ulang agar sesuai dengan konteks lokal Aceh yang mendambakan syari’at Islam mengatur semua sendir kehidupan kita. Sudah saatnya pula kita memproduksi sendiri buku-buku mata pelajaran di sekolah yang di desain khusus agar terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.

Sementara di sisi lain, dalam mengubah akhlak aparatur negara, pemimpin baru Aceh harus mengawalinya dari diri sendiri, keluarga dan kelompok kita. Karena Rasulullah mengajarkan kita bahwa jika kita ingin mengubah orang maka kita harus terlebih dahulu merubah diri hal-hal yang paling dekat dengan kita. Pemimpin baru Aceh harus lebih banyak mendengar dan bekerja daripada berbicara. Dengarlah pendapat rakyat saat ada kesempatan berbicara dengan mereka. Ikuti semua petunjuk Ulama. Hiduplah secara sederhana selagi kita memiliki kekuasaan karena hal itu akan menjadi teladan mulia bagi masyarakat kita. Semarakkan pengajian-pengajian dan hidupkan shalat berjamaah di setiap instansi pemerintah hingga ke level gampong. 

Teuku Zulkhairi, Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin