Oleh : Drs. Tgk. H. Fauzi Saleh
Rasulullah sosok yang berakhlak mulia. Kerendahan hatinya menjadikan beliau terus dikenang di hati umat. Ternyata, kesederhanaan tidak menjadikan kesengsaraan, kerendahan dan ketawadhu’an justru menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat, dihormati dan dihargai.
Ketawadhu’an hakikatnya adalah ketundukan hati kepada Allah, merendahkan hati kepada sesama dengan menyebar kasih sayang. Tidak ada orang yang merasa dirinya lebih afdhal dibandingkan yang lain. Sifat ini merupakan anugerah Allah kepada hamba yang memuliakan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana firman Allah Qs al-Syu’ara: 215: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”
Di antara ketawadhu’an Rasulullah adalah rendah hati kepada sesama. Posisi puncak Rasulullah SAW berangkat dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Inilah yang kemudian diistilah dengan tawadhu’. Sifat tawadhu’ dihadirkan banyak dalam kisah Rasululllah SAW sebagai contoh bagi umatnya. Sebuah riwayat dari Ibn Mas’ud menyebut, seorang lelaki berbicara dengan Nabi SAW pada hari penaklukan Mekkah. Lelaki itu merasa takut. Nabi SAW bersabda: janganlah engkau takut. Saya hanya seorang pria Quraisy yang makan daging kering.
Cuplikan di atas menggambarkan bagaimana Rasulullah memposisikan dirinya kepada rakyat jelata. Pesan kisah ini adalah manusia tidak boleh menunjukkan gigi kekuasaan dan kehebatan kepada sesamanya. Sebaliknya, kemitraan dan kebersamaan menjadi pilar dalam pergaulan antara satu dengan lainnya. Rasulullah SAW sebenarnya telah diangkat Allah pada maqaman mahmuda (tempat yang terpuji). Dalam posisi yang tinggi itu, Rasul SAW justru bersifat rendah hati. Hal ini yang menempatkan Rasul SAW di dalam qalbu umatnya.
Sifat lain, sederhana dalam memilih pekerjaan. Dalam proses pembentukan ketawadhu’an ini, Rasul SAW sejak awal dibekali dengan persiapan-persiapan termasuk model kegiatan untuk memperoleh rezeki. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “tidaklah seorang Nabi diutuskan melainkan sebagai pengembala kambing. Para sabahat bertanya: bagaimana dengan engkau, Ya Rasulullah? Saya juga mengembala kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath.”
Rasulullah SAW berangkat dari kesederhaan termasuk dalam mencari rizeki. Profesi seperti ini seolah menjadi pengontrol bagi dirinya untuk selalu merendahkan hati kepada siapa pun, karena beliau sendiri pernah mengembala dengan upah yang sangat minimal. Di sisi lain, Allah sedang melatih kesabaran dalam menanggung beban kehidupan agar menjadi orang yang bijak.
Setelah itu, beliau juga menghargai kaum yang lemah. Tidak semua orang bisa berbicara dengan bahasa kerendahan, bersikap ramahtamah, apalagi bercengkerama dengan mereka yang tak punya. Sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia, orang-orang kaya membatasi pergaulannya dengan mereka yang miskin. Kondisi ini sebenarnya mempersempit diri sebagai hamba Allah yang dianjurkan untuk ta’arafu (berkenalan), bermitra dan tolong menolong. Kemampuan kerjasama ini pula yang membedakan manusia dengan makhluk lain di alam jagat raya ini.
Ketawadhu’an Rasulullah SAW juga diekpresikan dalam bentuk kepeduliannya kepada kaum dhu’afa. Tidak ada tempat untuk berkeluh dan mengadu atas kepedihan dan kesusahan yang menimpa mereka. Rasul SAW datang menghibur hati yang lara, membangkitkan suasana dan membangun kegembiraan dan kebahagiaan.
Di sisi lain, Rasul juga menghargai anak-anak. Memang secara rasional, anak-anak belum bisa berkontribusi terhadap orang lain. Namun perlu dicatat, mereka adalah generasi yang perlu dididik dan dibina sedemikian rupa. Ketika seseorang menghargai anak-anak, berarti orang tersebut seolah sedang mengajarkan kepada mereka etika muamalah untuk saling menghormati sesama dan mendudukkan manusia – siapapun orangnya – pada posisi yang wajar dan sejajar. Kelebihan antara satu dengan lainnya hanya pada sisi ketakwaan, bukan pada tataran usia, harta benda dan tahta.
Kesederhaan Rasul SAW dalam rumah tangga
Lebih dari apa yang dijelaskan di atas, Rasul sangat menghargai dan menyayangi keluarganya. Untuk itu, beliau tidak segan melakukan apa saja yang kiranya dapat membantu beban keluarga. Pada zaman di mana kaum perempuan diremehkan, dicaci, dihina dan dimarginalkan, Rasul SAW tampil untuk memberikan penghargaan, kemulian dan kehormatan. Rasul SAW memang sang pelopor kebaikan, inisiator kemuliaan dan pendobrak kejahatan dan kedhaliman.
Dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata: Seseorang bertanya kepada ‘Aisyah: apakah Rasulullah SAW mengerjakan sesuatu di rumahnya? ‘Aisyah menjawab: “Ya, Rasulullah SAW mengesol sandalnya, menjahit pakaiannya dan mengerjakan sesuatu di rumahnya sebagaimana kalian”. (Hadits dikeluarkan Ahmad dalam Musnadnya)
Ketawadhu’an dan kerendahan hati akan memberikan dampak individual dan sosial baik dalam tataran duniawi maupun ukhrawi. Di ntara hikmah ketawadhu’an ini adalah: Pertama, menggapai ketinggian dan kemuliaan. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk mengalah tapi bukan untuk kalah, merendahkan hati tapi bukan kehinaan tetapi justeru dengan itu manusia menggapai kemuliaan.
Kedua, tawadhu’ melahirkan keadilan, kasih sayang dan kecintaan. Tawadhu (kerendahan hati) akan mendidik pribadi untuk adil kepada Tuhan, dirinya dan masyarakat. tidak mudah keadilan itu digadaikan untuk kenikmatan sesaat. Tawadhu’ juga melahirkan sensitifitas dan kepedulian terhadap sesama. Sifat ini seolah membisikkan kepada manusia bahwa belum ada kelebihan seorang hamba bila tidak mampu berbuat terbaik dan berkontribusi kepada sesamanya. Nilai sebuah kehidupan tergantung sejauh mana manusia mampu berkontribusi untuk orang lain.
Pesan-pesan tersebut secara eksplisit ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini: Rasulullah SAW berkhutbah pada suatu hari seraya bersabda: “Allah swt mewahyukan kepadaku untuk agar kalian saling merendahkan hati sehingga tidak ada seseorang menyombong diri kepada orang lain dan tidak ada melampaui batas seseorang kepada lainnya” (Hadits dikeluarkan Muslim).
Teladan ketawadhuan Rasulullah SAW semoga menjadi tuntunan yang mampu mengiringi kehidupan ini dalam meniti dan menata hidup yang lebih baik dan bahagian di dunia dan akhirat. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu meneladani dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, amin Ya Rabbal ‘Alamin.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !