Headlines News :
Home » » Menggali Hikmah di Balik Musibah

Menggali Hikmah di Balik Musibah

Written By MAHA KARYA on Friday, July 12, 2013 | 7/12/2013

"Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barang siapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – QS At-Taghabun: 11.
 
Suatu waktu langit kota Madinah yang cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap, angin bertiup kencang. Penduduk bertanya-tanya, gerangan apa yang akan terjadi? Sekonyong-konyong bumi bergetar, beberapa pohon bertumbangan. Khalifah Umar bin Khaththab, yang melihat kejadian itu, dengan cepat keluar dari kediamannya. Demikian juga beberapa sahabatnya yang lain.
 
Sesampai di jalan ia menancapkan tongkat dan berkata dengan suara yang menggelegar, ”Wahai bumi, engkau saksikanlah, apakah aku pemimpin yang tidak adil? Ajaib. tiba-tiba alam berubah cerah dan gempa bumi tersebut tidak lagi berlanjut.
 
Tentu kita tidak menyangsikan keshalihan dan ketaqwaan Khalifah Umar. Dia menegur bumi yang akan mencederai rakyatnya, dan Allah SWT mengabulkan keinginan Khalifah Umar, sehingga ben¬cana gempa bumi tidak berlanjut. Doa seorang yang sangat dikasihi dan dicintai Allah tentu berbeda dengan doa kita se¬bagai manusia awam.
 
Apa pun kejadian yang menimpa alam semesta, termasuk manusia, sebagai ciptaan Allah SWT, tentu tidak terlepas dari izin Allah SWT. Berbagai teori ilmu pengetahuan hanya mampu menganalisis secara tekhnis bencana yang bakal terjadi, tapi tidak bisa memastikan kapan terjadinya. Itulah yang kita saksikan dari bencana-bencana yang terjadi di dunia ini, mulai dari gempa bumi, tsunami, angin topan, meletusnya gu¬nung berapi, banjir bandang, hingga yang lainnya.
 
Ilmu pengetahuan telah memberikan sinyal bahwa suatu daerah merupakan daerah yang potensial bencana. Misalnya patahan beberapa lempeng yang nantinya akan menjadi daerah rawan gempa. Begitu juga daerah rawan tsunami, daerah rawan meletusnya gunung berapi. Tugas manusia adalah waspada dan menjauhi daerah tersebut agar korban bisa diminimalisir, bahkan kalau bisa sampai pada tingkat nol.
 
Sunatullah di dunia fana ini tentu tidak bisa menihilkan bencana dan musibah, karena memang begitulah aturan yang ditentukan oleh Allah SWT. Tapi di balik itu tentu tugas manusia untuk berusaha se¬maksimal mungkin menghindar. Setelah itu manusia juga bisa belajar dari apa yang sudah terjadi, mengambil ibrah, menggali hikmah. Karena di balik setiap musibah, insya Allah banyak hikmah yang bisa didapat.
 
Gempa bumi yang terjadi akhir-akhir ini  di Bener Meriah dan Aceh Tengah misalnya menjadi pelajaran dunia bagaimana perilaku masyarakat  menghadapi alam yang memang rentan bencana. Hal itu bisa kita bandingkan dengan perilaku masyarakat Indonesia yang juga sering tertimpa bencana.
 
Peringatan Allah SWT
Hal pertama yang harus kita yakini sebagai orang beriman, setiap kejadian, apa pun, tidak terlepas dari izin Allah SWT. Kalau kita berkca pada kisah-kisah terdahulu ketika Nabi dan Rasul masih hidup di tengah-tengah umatnya, sering terjadi bencana ditimpakan kepada suatu kaum karena ingkarnya mereka akan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul yang hidup di tengah mereka.
 
Hal ini bisa kita lacak dari riwayat bencana yang menimpa umat Nabi Nuh AS, lalu kejadian yang menimpa umat Nabi Hud AS, umat Nabi Luth AS, kisah Nabi Syu’aib AS, kisah Nabi Musa AS. Intinya, bencana ditimpakan oleh Allah SWT karena pembangkangan yang dilakukan ketika diajak beriman dan mengikuti jalan lurus yang dibawa oleh setiap rasul pada setiap umatnya.
 
Mari kita simak kisah umat Nabi Nuh AS yang dihantam bencana banjir besar. Allah SWT menurunkan bencana banjir kepada umat Nabi Nuh karena mereka ingkar kepada Allah SWT walau Nabi Nuh tidak jemu-jemunya mengingatkan mereka agar beriman dan patuh kepada Allah SWT Dalam surah Nuh, Allah SWT berfirman, Nuh berkata, ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari dari kebenaran. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka kepada iman agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya ke mukanya dan mereka tetap mengingkari dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka kepada iman dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka lagi de¬ngan terang-terangan dan dengan diam-diam’.” – QS Nuh (71): 5-9.
 
Berbagai upaya yang dilakukan Nabi Nuh tidak bisa meluluhkan kekerasan hati umatnya. Sehingga akhirnya Allah SWT menurunkan adzab-Nya. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT, ”Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapatkan penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” – QS Nuh (71): 25.
 
Allah SWT memerintahkan agar Nabi Nuh dan pengikutnya membuat perahu yang sangat besar. Mereka yang beriman disuruh naik ke dalam perahu, sedangkan mereka yang ingkar mencemooh. Mereka menyangka bahwa Nabi  Nuh telah gila. Tidak ada pertanda alam apa-apa kok membuat perahu.
 
Kisah Nabi Nuh ini bisa juga kita baca dalam surah Al-A’raf , ”Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya kalau kalian tidak menyembah Allah, aku takut kalian akan ditimpa adzab hari yang besar (Kiamat).
 
Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata, ’Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.’Nuh menjawab, ’Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun, melainkan aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasi¬hat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui.
 
Dan apakah kalian tidak percaya dan heran bahwa datang kepada kalian peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kalian bertaqwa dan supaya mendapat rahmat.’
Maka mereka mendustakan Nuh kemudian Kami selamatkan dia dari orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta mata hatinya.” – QS Al-A’raf: 59-64.
 
Banyak kisah bencana dalam Al-Qur’an yang menimpa umat manusia terdahulu menjadi ibrah bagi umat manusia sekarang. Bencana yang datang, selain sebagai peringatan, juga bisa dipetik hikmahnya.
 
Amanah
Faktor lain yang juga penting pada situasi bencana ini adalah kepercayaan. Para korban percaya bahwa mereka akan dibantu. Mereka percaya bahwa pemerintah sedang bekerja serius untuk menyelesaikan masalah. Dan yang paling penting, pemerintah tidak melakukan penyelewengan dalam penyaluran bantuan.
 
Kepercayaan itulah sumber energi un¬tuk kesabaran mereka. Mereka tahu bahwa bantuan akan dibagikan secara adil. Tidak ada pihak yang mendapat lebih, sedangkan yang lain mendapat kurang. Mereka juga percaya bahwa pengelolaan atas bantuan dilakukan dengan benar, sehingga tidak ada bantuan yang terbuang percuma karena tak terurus.
 
Semua itu juga tidak terjadi secara instan. Pemerintah, tak peduli partai apa pun yang berkuasa, telah menunjukkan kinerja positif dalam setiap kejadian bencana. Setiap kekurangan yang timbul dievaluasi untuk dilakukan perbaikan. Dalam bahasa yang lebih normatif, bangsa Jepang, rakyat dan pemerintahnya, ada¬lah bangsa yang amanah. Rakyat mem¬percayai pemerintah, dan pemerintah mengelola amanah itu dengan baik.

Apa yang kita saksikan di Jepang saat ini adalah soal yang sederhana belaka. Masalahnya, mampukan kita berpegang teguh untuk mempraktekkan soal yang sederhana itu? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Pada rakyat dan pada pemerintah kita.
 
Dalam kasus Aceh, pada pemerintah maupun masyarakat belum terlihat aplikasi modernitas dalam manajemen bencana yang ada. Sebagai contoh, dalam kurun waktu empat tahun terakhir semenjak diundangkannya UU No. 24 Tahun 2007, investasi teknologi dalam infrastruktur bencana dapat dikatakan sangatlah minim, tanpa dukungan anggaran memadai, hanya 0,5 persen dari porsi APBN/APBD. Kecilnya anggaran tersebut tidak mencerminkan bahwa ne¬gara waspada akan bencana di masa mendatang dan hanya berpikir pragmatis terhadap kejadian bencana yang terjadi selama ini.
 
Selain itu, masyarakat juga masih mempunyai sikap hanya siap siaga jika bencana itu benar-benar datang dalam kehidupan mereka. Masyarakat masih terbalut tradisionalisme yang mengasumsikan bahwa manusia adalah subordinat alam.
 
Kita juga perlu berpikir rasional bahwa tidak selamanya bencana itu merupakan ketidakpatuhan manusia atas hukum alam, namun alam mengajarkan kepada manusia bahwa alam semesta senantiasa bergerak dinamis menuju titik keseimbangan sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu pasti. Bencana dapat dilihat sebagai peringatan dini bagi manusia untuk bersama dengan alam menuju titik keseimbangan tersebut.

Negara perlu melihat bahwa bencana merupakan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan kita. Cara berpikir modern perlu diterapkan dalam manajemen bencana, sehingga tak perlu risau dalam melihat bencana sebagai sesuatu yang negatif. Bencana adalah sesuatu yang harus dihadapi dalam modernisasi zaman.

Begitulah alam semesta dengan segenap perilakunya, yang tentu tidak terlepas dari aturan Sang Sutradara Agung, Allah SWT. Tugas manusia adalah  menggali hikmah di balik setiap peristiwa, kejadian, bencana, dan musibah yang terjadi, sambil terus-menerus memperbaiki diri agar selaras dengan jalan lurus-Nya. (Marmus dbs)
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin