"Wahai manusia, Allah adalah Tuhan yang yang menjadikan kalian sebagai pemimpin-peminpin (pengelola) di bumi. Allah menjadikan nasib kalian berbeda-beda, sehingga sebagian kalian melebihi sebagian lainnya. Dan itu semua untuk menguji kalian"(QS. Al-An'am: 165).
Pernyataan Allah ini sangat jelas berkaitan dengan salah satu fungsi manusia, yakni sebagai pemimpin (pengelola) di bumi, dengan status dan tingkatan yang berbeda. Dan dengan fungsi ini Allah juga menguji kita sebagai manusia. Ini adalah konsep dinul Islam berkaitan dengan kepemimpinan. Bahwa ia bukanlah kebanggaan dan dijadikan ajang memburu dan meningkatkan status sosial.
Dengan ideologi dan pemahaman seperti ini, dalam upaya menggapainya dilakukan melalui cara-cara yang benar, beradab dan demokratis. Selanjutnya dijadikan instrumen (wasilah) pengabdian dan pelaksanaan tugas, amanah dan tanggungjawab sesuai dengan status dan tingkatan (maqam) jabatan itu.
Last but not least, Rasulullah Muhammad SAW pembawa dinul Islam telah memberi contoh dari kepemimpinannya, yakni terpercaya dan bertanggungjawah (amanah), benar ucapan dan tindakan (memiliki integritas) dan jujur (shidiq), aspiratif, komunikatif, ramah dan transparan (tabligh), serta cerdas, berilmu dan profesional (fathanah).
Sebaliknya, apabila jabatan itu merupakan kebanggaan, lazimnya niscya untuk mencapainya ditempuh berbagai cara, tidak peduli dengan rambu-rambu, peraturan dan undang-undang, dengan pongah mempertontonkan perilaku dhalim fasistik, bahkan doktrin dinul Islampun diterjangnya.
Setali tiga uang dengannya (sabe puk, sapeue peh), apabila juga dengan sadar ikut mengambil manfaat dari perilaku dhalim fasistik itu. Setelah tercapai serta merta pakai kaca mata kuda, yakni satu arah pandangan dan tujuan, tahta, harta dan wanita, koruptif, kolutif dan nepotistik.
Di antara kebutuhan dan hak dasar manusia, demikian pula manusia/rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, ialah niscaya dalam hidup dan kehidupannya tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan. Hal ini secara jelas terdapat dalam dinul Islam (QS, Quraisy: 3-4).
Pada tataran praktis ketentuan dan doktrin al-Quran ini sultan (penguasa) lah yang harus mewujudkannya, dan ia merupakan wewenang/ otoritas yang diberi oleh Allah, sebagaimana dikatakan Khalifah Usman bin Affan: "Sesungguhnya Allah telah memberi kepada sultan apa yang tidak diberi kepada al-Furqan (innallaaha yaza-'u bis-sulthaani maa laa yaza-'u bilqur-aan)". Quran merupakan konsep/doktrin tertulis, dan sultan diberi wewenang/otoritas untuk mengimplementasikannya.
Yang namanya sultan (penguasa, pemimpin) adalah sultan untuk dan mengayomi, memberi perhatian serta melindungi seluruh manusia (baca: rakyat) yang hidup dan tinggal dalam teritori kepemimpinannya, apapun entis, suku dan agamanya. Demikian pula heterogenitas aspirasi dan afiliasi politik pada infrastruktur politik yang sah dan legal, niscaya dapat menikmati kebutuhan dan hak dasar kamanusiaannya tersebut, yakni tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan, dan aman dari ketakutan. Tidak boleh diskrimatif, pilih kasih, saboh bak talak, saboh bak tapak (satu dijunjung dan disanjung, satu dihina dan diinjak).
Pertama, tenang beribadah. Ibadah itu tidak hanya berkaitan dengan beberapa jenis ritual personal, tetapi ia adalah nama yang merupakan cakupan semua yang dicintai dan diridhai Allah dari ucapan/ perkataan dan/ atau tindakan/ perbuatan, batin dan lahir. Shalat, zakat, puasa, haji, berperilaku baik/benar, melaksanakan amanah, menyambung silaturahmi, persaudaraan, menepati janji, amar ma'ruf nahi munkar, menentang kemunafikan, kedlaliman/perilaku fasistik, berbuat baik kepada tetangga dan semua manusia (al-aadamiyyiin), binatang (al-bahaa-im), berdoa, berzikir dan membaca al-Quran adalah juga ibadah (Dr Yusuf Qaradhawy, Al-'Ibaadatu fil-Islam, 1988, halaman 50).
Sikap dan tugas pemimpin harus mengayomi dan melindungi setiap rakyatnya ketika berusaha mencari kacintaan dan keridhaan Allah melalui ibadah-ibadah tersebut, di antaranya sendiri-sendiri dan berjamaah melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan/ atau menentang kemunafikan, kedhaliman/ perilaku fasistik misalnya. Dalam waktu yang bersamaan sesuai dengan hukum yang berlaku, pemimpin harus bertindak tegas, transparan dan tanpa pandang bulu terhadap siapapun serta anasir manapun yang mengganggu, menentang, dan mendzaliminya.
Kedua, sejahtera dalam kehidupan. Isu dan janji mensejahterakan rakyat merupakan materi yang tidak pernah ketinggalan disuarakan di panggung kampanye dan ditulis dalam baliho, spanduk dan rupa-rupa alat peraga kandidat, baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif. Tetapi giliran pelaksanaan sudah kelabakan dan apoh-apah. Agaknya dampak dari kehidupan yang begitu berat itu muncul tindakan nekat sementara hamba Allah yang imannya lemah seperti kasus pencurian hewan dengan cara meracuni, menyembelihnya untuk dijual. Ini sesuatu yang tidak terbayangkan terjadi di Aceh dan mungkin belum pernah terjadi di tempat lain.
Ketiga, aman dari ketakutan. Hal ini masih jauh dari harapan rakyat kebanyakan, kendati tidak semua berani "berteriak". Kecuali beberapa gelintir tertentu yang menikmati hidup yang aman, makmur dan sejahtera. Diakui atau tidak fenomena belum aman dari ketakutan masih menghantui rakyat Aceh hari ini.
Betapa hak dan kebutuhan dasar rakyat di Aceh untuk tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan yang juga merupakan doktrin dinul Islam, belum terwujud, bahkah terus dalam ancaman. Karenanya, harapan dan dambaan kita sebagai rakyat Aceh, kiranya pemerintahan Zikir menunjukkan kualitas dan kapasitasnya sebagai pemimpin berdasarkan dinul Islam, yakni amanah, shidq, tabligh dan fathanah. Pemimpin yang pro seluruh rakyat yang tinggal dan hidup di seluruh zona-zona di Aceh, apapun suku dan agamanya, demikian pula heterogenitas aspirasi dan afiliasi politik mereka.
* Mantan Anggota DPR RI
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !