
Lebih dari itu, terlepas dari asas legalitas tersebut, merupakan konsekwensi logis bagi setiap orang yang telah mengucap dua kalimah syahadah untuk mengatur berbagai aspek kehidupannya sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya Muhammad SAW sebagaimana dalam syariat Islam.
Dengan dasar pemahaman seperti ini, kewajiban pelaksanaan syariat Islam bagi setiap muslim di Aceh adalah perintah Allah dan RasulNya, serta tuntutan konstitusi negara. Hanya saja diperlukan pemahanan konprehensif terhadap syariat Islam itu sendiri, bahwa syarait Islam itu mencakup berbagai aspek kehidupan, relasi dengan Allah dan relasi dengan sesama manusia, alam raya, serta lat batee kayee batee.
Adalah pembonsaian yang nyata terhadap syariat Islam, apabila syariat Islam diarahkan dan atau diformalkan sebatas ritual atau hanya berkaitan dengan beberapa qanun yang terkenal selama ini, yakni tentang maisir (judi), khamar (miras, narkoba), khalwat (pergaulan dan bersunyi-sunyi antara laki-laki dan perempuan akil baligh yang bukan mahram) serta hijab (menutup aurat). Sejatinya apapun aktivitas dalam hidup dan kehidupan setiap muslim di Aceh, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, tata kerja birokrasi dan lain-lain harus dilakoni sesuai dengan syariat Islam.
Faktanya, seperti yang terlihat sekarang, agaknya kita dapat terhibur dengan satu istilah “maala yudraku kulluh laa yutrau kulluh” (apa yang tidak didapatkan seluruhnya, tidak ditinggalkan seluruhnya). Lebih memprihatinkan lagi, ketika Islam kaffah belum terwujud di Aceh, sebagian kecil yang telah diformalkan berdasarkan qanunpun, dengan rupa-rupa dalih dan modus operandi, atas nama ini dan itu banyak yang menentangnya.
Ancaman terhadap Kadis Syariat Islam Langsa baru-baru ini, adalah salah satu contoh wujud penentangan itu. Kasus brutalitas dan penganiayaan terhadap Tgk. Saiful Bahri yang sedang berkhutbah di atas mimbar masjid Keumala Pidie beberapa bulan yang lalu juga contoh dari penentangan terhadap penegakan syariat Islam di Aceh. Demikian pula yang saya alami ketika sedang berdakwah di atas mimbar dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar di satu gampong pedalaman Pidie. Dengan brutal sekelompok kaum fasis memaksa saya turun dari mimbar, namun saya tetap bertahan hingga mimbar hancur berantakan, jamaah histeris dan dakwahpun bubar.
Juga pengalaman yang saya alami, diancam akan dilakukan keributan dalam masjid kalau saya berkhutbah. Ini terjadi menjelang Pilkada lalu di Masjid Amud Kecamatan Glumpang Tiga Pidie. Saya kira kasus ancaman terhadap Kadis Syariat Islam Langsa, kualitasnya tidak jauh berbeda dengan perilaku brutalitas terhadap juru dakwah sebelumnya. Hanya yang berbeda, kasus ancaman terakhir itu radius dan segmen masyarakat yang menunjukkan kepedulian lebih luas.
Sedangkan kasus brutalitas sebelumnya sunyi senyap belaka, namun ketika masyarakat tidak peduli dengan kasus yang dialami Tgk. Saiful Bahri dan lain-lain, alhamdulillah kasus ancaman terhadap Kadis Syariat Islam Langsa mendapat perhatian luas. Memang demikianlah semestinya. Tidak kurang MPU Aceh begitu garang mengeluarkan pernyataan dan membela profesionalitas sang Kadis itu. Sayapun sepakat dan mendukung pernyataan dan sikap MPU serta siapapun yang memiliki komitmen dalam rangka tegak dan terlaksananya syariat Islam kaffah di Aceh.
Ghazali Abbas Adan : Anggota Majelis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Aceh.
0 coment:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !