Headlines News :
Home » » Peluang & Tantangan Syariat Islam

Peluang & Tantangan Syariat Islam

Written By MAHA KARYA on Saturday, June 26, 2010 | 6/26/2010

Khatib: Drs. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd

Terminologi-terminologi syariat Islam tentunya sudah tidak asing lagi dalam pembahasan-pembahasan tentang syari’at Islam, pada kesempatan ini khatib mengambil beberapa pendapat para cendikiawan muslim mengenai makna syari’at islam, menurut asy-Syarif al-Jurjani, syariat berarti tunduk patuh merealisasikan ubudiyah dalam bentuk melaksanakan seluruh komitmen, menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar terhadap berbagai cobaan.

Adapun Prof. DR. Yusuf al-Qaradhawi mendefenisikan syariat sebagai apa saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui dalil-dalil Al-Qur`an maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti ijma’, qiyas dan lain sebagainya.

Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya.

Tetapi, ia juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan, bahkan lebih komplek dari itu semua mencakup semua tindak tanduk manusia dalam hidup dan kehidupan ini. Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. telah menyebutkan bahwa syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din (agama). Karena ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan. Dan karena melaksanakan ad-Din dalam kemenyeluruhannya adalah wajib maka demikian jugalah kaitannya dengan pendidikkan dan sosial budaya.

Penerapan syaria’t Islam di Provinsi tercinta kita ini dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain dengan cara bertahap, dimulai dari diri sendiri dengan kesalehan individualis, selanjutnya, kesalehan keluarga, masyarakat, hingga akhirnya tercapai kesalehan dalam berbangsa dan bernegara.

Khatib melihat bahwa penerapan syariat Islam di Aceh harus selalu dimulai dari sisi Individu dan keluarga tanpa menepikan metode-metode lainnya, karena khatib berpendapat bahwa akar pendidikan yang paling efektif berasal diri individu itu sendiri dengan dukungan dari sang keluarga, individu yang baik tentunya akan memberikan pengaruh bagi keluarga yang bai pula, untuk selanjutnya mempengaruhi kesalehannya dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Dari sisi individu, setiap orang yang sudah mukallaf (dewasa) sudah terbebani hukum taklif baik ia laki-laki maupun perempuan.Artinya pada saat itu seseorang wajib melakukan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Kewajiban mejalankan perintah adalah “fardhu ‘ain”. Maksudnya kewajiban yang melekat pada diri seseorang, yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain, seperti shalat. Ibda` binafsik (memulai dari diri sendiri), sesuatu yang sangat mulia, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka......(Q, al-Tahrim:6)

Di sinilah fungsinya aqidah (keimanan) seseorang. Iman itu diibaratkan seumpama mesin pada sebuah kenderaan, tanpa mesin kenderaan tidak bisa bergerak. Seperti itu pula iman seseorang, ketika iman tiada,manusia tidak lagi malu, ia akan berbuat apa saja, untuk memenuhi selera nafsunya. Karena malu itu kawan seiring dari iman. Maka ketika ada iman, seseorang akan malu melakukan kemaksiatan, malu tidak menutup aurat, malu mengambil milik orang lain, malu menipu, melakukan korupsi dan lain-lain.

Dari aspek keluarga. Keluarga merupakan basis pertama dan utama bagi setiap anak dalam menyerap berbagai “nilai” dari orang tuanya. Kebiasaan dan contoh teladan (uswatun hasanah)dalam keluarga akan sangat membantu dalam mensosialisasikan sekaligus penerapan syari’at Islam. Penerapan di sini bukan dengan sanksi dan ‘uqubat, tetapi hanya dilakukan melalui internalisasi dan penanaman nilai kesadaran seperti aqidah, ibadah dan akhlaq. Orang tua menjadi figur publik bagi si anak. Fungsi keluarga “religius” harus benar-benar dijaga.Rasulullah Saw, bersabda: (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi).

Dalam kaitan ini pula Rasulullah Saw, menyuruh anak-anak berumur tujuh tahun untuk shalat dan bila sudah berumur sepuluh tahun tidak juga melakukannya dapat diberi sanksi ( dalam arti mendidik). Bahkan menurut Islam, keharusan itu sudah bisa dimulai sejak umur mumayyiz. Rasulullah Saw, juga menjelaskan Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik dalam memperlakukan keluargaku.(HR.Ibn Hibban).
Tantangan Penerapan Syariat Islam
Kewajiban menjalankan ajaran Islam secara totalitas merupakan tuntutan Islam kepada para pemeluknya. Untuk mewujudkannya membutuhkan sebuah lembaga pemerintahan yang mengawalnya. Maka upaya mengajak untuk menjalankan syariat islam dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara senantiasa digaungkan

Namun, upaya dakwah ini mengalami banyak tantangan dan hambatan. Sebagiannya berasal dari luar (eksternal), dan sebagiannya dari dalam (internal). Upaya melemahkan dakwah syariat Islam ini pun semakin hari semakin gencar. Bentuk-bentuk yang digunakan sangat beragam. Ada yang dengan jelas-jelas menghina syariat yang tidak cocok diterapkan pada zaman modern ini.

Ada juga yang menggunakan berbagai cara mencari bentuk-bentuk dan celah-celah di mana ssyariat Islam bisa dianggap lemah. Penerapan syari’at ini tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, karena penerapan syaria’t ini tetap akan menemui hadangan karang terjal kemunafikan pihak-pihak tertentu yang tentunya ragu bahkan tidak yakin dengan keberadaan syaria’at islam yang kaffah.

Dari beberapa literatur yang khatib coba ikhtisarkan, terdapat beberapa kendala dan tantangan utama dalam penerapan syari’at Islam di Provinsi tercinta ini. Pertama, kendala Kultural Sosiologis, dalam hal ini ternyata banyak sekali internal umat islam sendiri yang belum mau menerima keberadaan syariat islam sebagai mana telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya dalam AlQur’an dan Sunnah yang semestinya menjadi pegangan utama dalam hidup dan kehidupan ini. Hai ini terbukti dari rendahnya semangat masyarakat dalam mengaplikasikan syarat islam dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam Aceh khususnya masih merasa asing dengan syari’at yang sebenarnya telah diturunkan 14 abad yang silam.

Kedua, Kendala Fikrah dan Filosofis,Banyaknya pandangan negatif terhadap hukum islam, sehingga menimbulkan phobia yang berlebihan terhadap hukum Islam, sehingga banyak orang yang tidak yakin akan efektifitas hukum islam itu sendiri. Dari segi filosofis, tenyata masih banyak juga diantara kita yang berpendapat bahwa Hukum Islam terlalu kejam, dan tidak adil, ketinggalan zaman, bertentangan dengan cita hukum nasional bahkan bertentangan dengan HAM, dan berbagai paradigma negatif lainnya yang masih mengakar dalam mayarakat ilmiah kita. Padahal Islam tidak hanya konsep pidana, Islam tidak hanya Konsep Hudud, tetapi syaria’t Islam ini sangat luas, berkaitan dengan tingkah laku dan tindak tanduk manusia dalam hidup dan kehidupan ini.


Phobia-phobia akan hukum islam sangatlah komplek terjadi, menimbulkan kecurigaan berlebih terhadap syari’at islam, padahal Islam itu sendiri lahir sebagai rahmatan lil ’alamin. Khatib berpendapat, kekacauan yang terjadi dewasa ini dalam kehidupan masyarakat, maraknya pencurian, perampokan, penzinaan dan penyakit masyarakat lainnya disebabkan oleh belum diterapkan Islam secara kaffah. Penerapan syari’at islam hanya pada masalah-masalah tertentu. Maka khatib mengajak mari kita benar-benar mengenal terlebih dahulu syari’at Islam yang kaffah ini, sehingga kita tidak lagi takut akan syariat ini yang jelas merupakan pedoman kehidupan yang diberikan oleh Sang Rabbi Allah SWT.

Kendala Ketiga, Kendala Yuridis Syari’at Islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat.

Proses legalisasi syari’at Islam dalam bentuk rancangan undang-undangnya dapat disampaikan dari kalangan eksekutif maupun legislatif atau pihak lain yang ditunjuk, sebagai naskah usulan kalangan akademisi. Kemudian rancangan undang-undang tersebut diproses menjadi undang-undang atau peraturan lain sehingga mempunyai daya ikat serta memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Upaya formalisasi syari’at Islam ini tentu saja memerlukan dukungan pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang kekuasaan.

Dengan kekuatan politik hukum dan sistem hukum yang ada, maka pemerintah dapat membuat kebijakan terhadap keberlakuan syari’at Islam ini menjadi hukum positif. Dengan tersedianya subtansi hukum Islam yang mencakup segala aspek kehidupan, maka dapat diadopsi menjadi keragaman dan pengayaan hukum nasional karena selama ini sistem hukum nasional umumnya masih bersumber dari hukum adat dan hukum Barat.

Masih kurangnya legislasi syari’at islam baik dalam bentuk Undang-Undang, Qanun, pergub dan lain sebagainya menyebabkan tumpulnya beberapa qanun yang telah disahkan, dan terkendalanya beberapa tugas yang telah dinormakan, wewenang WH misalnya yang seperti macam ompong karena belum jelas kewenangan mengelidiki dan penangkapan sehingga terbentur dengan para aparat lainnya yang lebih berkuasa.

Keempat, Kendala Akademis Program-program pemerintah dalam mengislamisasi pendidikan di aceh patut diberi ancungan jempol, karena khatib sangatlah yakin pendidikan merupakan jalur utama suksesnya penerapan syari’at islam di Provinsi kita ini. Akan tetapi program tersebut harus benar-benar berjalan efektif. Karena ternyata hasil dari pendidikan dewasa ini belum sesuai dengan keinginan islam.

Budaya remaja yang masih membantah orang tua, budaya remaja yang meninggalkan shalat berjama’ah bahkan meninggalkan shalat, budaya remaja yang berpesta pora di awal tahun baru, budaya remaja yang mencoret-coret pakaian setelah pengumuman UN, dan banyak budaya-budaya negatif remaja -budaya lainnya yang tidak mungkin disebutkan disini yang bukan merupakan budaya dan kebiasaan yang diinginkan oleh islam, agama yang sangat menjunjung tinggi akhlakul karimah. Ini adalah diantara bukti penerapan syari’at islam dengan metode pendidikan masih jauh dari keberhasilan.

Menjadikan suasana dan lingkungan sekolah Islami, baik melalui profil seorang guru maupun anak didik merupakan suatu hal yang sangat urgen. Seperti halnya di dalam keluarga, maka figur si anak adalah gurunya. Guru yang sopan, arif dan bijaksana sedikit banyaknya akan sangat berpengaruh pada anak didik, sebaliknya seorang guru yang tidak disiplin, kasar, tidak berakhlaq juga akan sangat mempengaruhi mentalitas dan prilaku seorang anak.

Dalam ungkapan bahasa Indonesia disebutkan: Kalau guru kencing berdiri, si anak akan kencing dalam keadaan berlari. Penerapan syari’at Islam, sebenarnya tidaklah berat bila kondisi sehari-hari anak di kondisikan seperti itu misalnya pakaian yang menutup aurat, pakaian tidak ketat, prilaku sopan baik sesama siswa maupun antara siswa dengan guru.

Eksistensi pendidikan – sejak tingkat TK sampai Perguruan Tinggi merupakan salah satu komponen keistimewaan Aceh, harus dibumikan di Serambi Makkah. Mari kita benah dengan sebaik-baiknya sehingga pendidikan dapat kita jadikan alat utama dalam penegakan syari’at Islam.

Kelima, Kendala Kasalehan Birokrasi Khatib teringat akan sebuah sabda Rasulullah SAW dari Abu Said, yang diriwayatkan oleh Muslim, yang berbunyi: Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.

Pengertian tangan dalam hadis di atas ditafsirkan oleh para ulama sebagai kekuasaan, dewasa ini, kekuasaan sangat tercermin dari struktur hirarki birokrasi, stuktur ini tidaklah berhenti pada seorang Gubernur, Sekda, Kepala kementerian Agama, Kepala Dinas Syariat, tetapi lebih jauh dari pada itu, memiliki pengertian semua sturuktur yang mempunyai bawahannya. Gubernur membawahi semua struktur pemerintahan di Provinsi, Bupati, di kabupten, Camat di Kecamatan, Kepala Dinas terhadap Para Kepala bidangnya, begitu seterusnya.

Coba kita bayangkan jika semua pemimpin yang mempunyai kekuasaan ini melaksanakan amar makruf nahi mungkar sebagaimana diinginkan dalam hadis tersebut di atas, mengajak bawahan untuk shalat tepat pada waktunya, mengajak bawahan berpakaian Islam, mengajak bawahan untuk melakukan perintah Allah dan mengajak mereka untuk meninggalkan semua larangan Allah dengan intenstas kekuasaan yang dimiliki masing-masing pemimpin, tentunya khatib sangat yakin akan tercipta Birokrasi yang islami, sebagai perwujudan masyarakat islami. Dukungan pemerintah sangatlah dibututuhkan dalam menggapai masyarakat tentram, aman dan damai dalam bingkai syari’at Islam yang kaffah.

Sebelum mengakhiri khutbah ini, ada baiknya kita simak kembali taushiyah Al-Alusi dalam Tafsirnya Rûhul Ma’?n?, ia mengatakan : Bila sebuah negeri tidak mau dan tidak akan mau menerapkan syari’at Islam kaffah, maka negeri itu selalu dalam keadaan huru hara, tidak tenteram, membuat rakyatnya dalam kekhawatiran.

Kaum muslimin, jamaah jum’at yang berbahagia! Demikianlah sekilas dan konsep pemikiran tentang penerapam syari’at Islam, antara peluang dan Tantangan di Provinsi Aceh, mudah-mudahan bermanfaat hendaknya. Amin Ya Rabbal Alamin !
Khatib, Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh
Share this article :

0 coment:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Alamat:Komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. - Kontak. Telp:+62852 8244 0074 - Email: gema_btr@yahoo.co.id
Copyright © 2014. Gema Baiturrahman Online - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template Editing by Saifuddin